Dua makhluk melata menyengat Yogya pekan lalu: Scorpions dan Whitesnake. Yang pertama adalah kelompok hard rock dari Jerman, satunya lagi dari Inggris dengan vokalisnya David Coverdale yang masih dikenang oleh sejumlah orang untuk penampilannya di Jakarta 45 tahun silam bersama Deep Purple. Mereka tampil gemuruh di Stadion Kridosono, mengungguli deru pesawat terbang yang frekuensinya cukup tinggi melintas di atas stadion siap landas di bandara tak jauh dari situ.
Jelas mereka sudah tua. Semua orang sejatinya menjadi tua dengan seketika dikarenakan tak seberapa lama kita lahir selalu ada kelahiran baru yang membuat kita lebih tua. Saya menyukai rock karena membuat saya merasa muda, lebih muda dari David Coverdale, Klaus Meine, ataupun Mas Ian Antono dari God Bless yang menjadi salah satu band pembuka.
Ada seloroh, generasi rock zaman itu adalah generasi yang menolak tua. Benar. Kelewat banyak yang ingin kami pertahankan dalam elan kemudaan yang tak terhindarkan perlahan-lahan tenggelam, hilang, dan hanya ada dalam kenangan.
Kebebasan zaman itu menjadikan remaja bahkan anak-anak cepat tahu segalanya, termasuk yang sepatutnya diketahui manusia dewasa, cepat pintar, tahu misalnya bahwa renang tak bakal membuat hamil. Skeptis terhadap segalanya termasuk terhadap orang tua, kalau pernyataan tadi diungkapkan pada zaman itu pasti akan ditanggapi: hanya ikan hamil karena mereka gituan di air. Maka mari minum bir, jangan air.
Tidak mendengarkan mereka, yakinlah, kita tidak akan kehilangan apa-apa. Bahkan lebih tenteram, kalem, damai, bahagia.
Zaman ini informasi sangat deras, alih-alih membuat cerdas sebaliknya malah bikin resah, gelagapan kehilangan napas. Berita atau news pada era media digital dibuat secara sengaja untuk menarik perhatian kita terhadap hal-hal yang tidak perlu dan relevan untuk diri kita. Apa urusan kita dengan pendangdut Depok kaget dengan korona; mobil SUV laris di Jepang; bos kartel Kolombia ditembak polisi; kambing kepala dua mengembik di Garut; dan seterusnya. Belum lagi agitasi, propaganda, dan kebohongan yang terus-menerus dilancarkan penguasa untuk menundukkan nalar sehat rakyat.
Pada gilirannya, banjir bandang berita telah membuat kita merasa tak berdaya, istilahnya dalam dunia psikologi, learned helplessness. Kita dijebak oleh industri media masuk ke dalam ruang dan waktu mereka, menjadikan kita kehilangan fokus serta kehilangan ruang dan waktu kita sendiri.
Rolf Dobelli dalam manifesto ”Stop Reading the News” mengutip investor legendaris Warren Buffett. Buffett memakai istilah circle of competence (lingkaran kompetensi). Sesuatu yang di luar lingkaran kompetensi kita, abaikan saja. Tak penting besar atau kecilnya lingkaran, yang utama kita tahu batas diri sendiri. Dalam ilmu silat yang tak beda ilmu surat, menjaga harmoni dan keselarasan diri sendiri, tidak terpancing aksi lawan.
Sebenarnya sesuatu yang relevan dengan diri kita sifatnya sangat personal, tidak bisa ditentukan oleh media, presiden, DPR, atau siapa saja termasuk ilmuwan gadungan dan pemuka agama yang ngomong sembarangan. Tidak mendengarkan mereka, yakinlah, kita tidak akan kehilangan apa-apa. Bahkan lebih tenteram, kalem, damai, bahagia.
Baca buku, ambil jarak tidak hanya pada kegaduhan berita tapi juga pada diri sendiri.
Lalu bagaimana kita bisa mendapat informasi? Dari dulu pun ada yang bisa diistilahkan sebagai meta-informasi. Informasi yang sifatnya tidak hanya merujuk pada fakta atau sesuatu yang kita kira fakta, melainkan sesuatu yang mencerahkan, yang membimbing kita untuk mampu membuat keputusan yang tepat bagi hidup kita sendiri.
Di mana mencarinya? Tidak di berita online. Baca buku, ambil jarak tidak hanya pada kegaduhan berita tapi juga pada diri sendiri.
Saya yakin para pahlawan saya dalam dunia rock tidak tenggelam dalam kubangan informasi yang tidak penting. Hanya dengan itu mereka bisa melihat dunia dengan bening, sebening siulan Klaus Meine yang seketika menyihir ribuan penonton di Kridosono. Siulan itu adalah intro dari lagu yang diciptakan oleh Scorpions, yang dengan jernih menggambarkan perubahan tata dunia kala itu disertai ajakan untuk saling mencintai.
Ya, kalian tahu lagu yang saya maksud: ”Wind of Change”.
I follow the Moskva
Down to Gorky Park
Listening to wind of change
Dst.
Seluruh penonton bernyanyi. Kami bahagia, andai tidak terbangun dan sadar bahwa sekarang ini era milenial. Zaman di mana orang mencari uang dengan cara apa saja, termasuk jualan agama. Love peace diganti simbol-simbol yang membunuh perbedaan dan gencar menebarkan kebencian.