Dapat dimaklumi jika pendukung demokrasi di Malaysia kini kecewa dengan situasi politik negaranya. Buah proses demokrasi melalui pemilu tahun 2018 telah menguap.
Oleh
·2 menit baca
Dapat dimaklumi jika pendukung demokrasi di Malaysia kini kecewa dengan situasi politik negaranya. Buah proses demokrasi melalui pemilu tahun 2018 telah menguap.
Fajar baru politik ”Negeri Jiran” merekah pada Mei 2018 saat pemilu, salah satu elemen utama demokrasi, menghasilkan kemenangan koalisi oposisi Pakatan Harapan. Hasil ini membawa Malaysia memasuki era baru saat, untuk pertama kali dalam lebih dari enam dekade, dominasi Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO)—bersama koalisi Barisan Nasional—di pemerintahan tumbang. Harian ini, yang meliput langsung pemilu dengan tingkat partisipasi di atas 82 persen kala itu, merasakan betul antusiasme dan harapan warga Malaysia mendambakan perubahan di negara mereka.
Belum dua tahun fajar perubahan berjalan. Pekan lalu, lanskap politik Malaysia berubah total. Diawali dengan bubarnya koalisi Pakatan Harapan, disusul mundurnya PM Mahathir Mohamad, harapan pendukung demokrasi di Malaysia untuk melihat kelanjutan perubahan pun sirna saat Raja menunjuk Muhyiddin Yassin sebagai PM baru. Para aktivis demokrasi kecewa saat mengetahui naiknya Muhyiddin ke pucuk kekuasaan diboncengi UMNO, kekuatan hegemoni politik yang berhasil dirobohkan dalam pemilu tahun 2018.
Koalisi Pakatan Harapan bubar setelah 37 anggota parlemen dari partai penyokongnya—termasuk Muhyiddin—bermanuver dengan keluar dari koalisi itu. Di tengah keterbelahan Pakatan Harapan, UMNO, yang saat itu berada di kubu oposisi, bermanuver mendukung Muhyiddin. Begitu Muhyiddin ditunjuk Raja Malaysia sebagai PM baru, UMNO memperoleh momentum kembali masuk dalam pemerintahan, hanya kurang dari dua tahun setelah terpental.
Dari Negeri Jiran, kita mencermati dan bisa belajar banyak hal, termasuk ongkos-ongkos politik yang harus dibayar akibat manuver dan ketidaksetiaan para politisinya.
Situasi tersebut secara simbolis terwakili, seperti dilaporkan harian ini, Rabu (4/3/2020), oleh unggahan foto mantan Presiden UMNO dan mantan PM Najib Razak di media sosial yang tersenyum dan memberi acungan jempol. Najib saat ini menjalani lima persidangan kasus korupsi dana perusahaan investasi negara, 1MDB, yang—menurut perkiraan Departemen Kehakiman AS—menyebabkan raibnya dana 4,5 miliar dollar AS. Najib berulang kali menyangkal bahwa dirinya bersalah dalam dakwaan-dakwaan terhadap dirinya.
Dengan perubahan konstelasi politik ini, banyak pihak mengkhawatirkan nasib persidangan kasus megakorupsi dana 1MDB itu dihentikan. PM Muhyiddin menegaskan, pemerintahannya akan melanjutkan pemberantasan korupsi. Warga Malaysia menunggu bukti nyata janji dan penegasan itu.
Bak cerita berseri drama panggung politik Negeri Jiran yang masih terus berlanjut, Rabu kemarin, Muhyiddin—sadar posisinya bisa digugat melalui mosi tidak percaya oleh Mahathir dan kawan-kawannya yang mengklaim meraih dukungan mayoritas di parlemen—menunda sidang parlemen, yang seharusnya dimulai pada 9 Maret ini, hingga 18 Mei 2020. Dari Negeri Jiran, kita mencermati dan bisa belajar banyak hal, termasuk ongkos-ongkos politik yang harus dibayar akibat manuver dan ketidaksetiaan para politisinya.