Kehendak besar untuk maju dan ekonomi tumbuh berkelanjutan sukar diraih tanpa menjadikan laut dan daerah kepulauan motor pembangkit kegiatan perekonomian.
Oleh
Suwidi Tono
·5 menit baca
Sejak Deklarasi Djuanda 1957, Indonesia telah meneguhkan dan dapat pengakuan internasional sebagai archipelago state (negara kepulauan) dari United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982. Verifikasi United Nations Conferences on the Standardization of Geographical Names di New York, 2017, menetapkan Indonesia resmi memiliki 16.056 pulau. Garis pantai RI sepanjang 99.093 kilometer persegi, luas daratan 2,012 juta kilometer persegi, luas lautan 5,80 juta kilometer persegi di mana 2,7 juta kilometer persegi di antaranya termasuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Perjuangan panjang para pendahulu dalam menegaskan konsepsi negara kepulauan ironisnya belum mengejawantah dalam tata kelola internal di daerah-daerah kepulauan dengan karakteristik wilayah lautan lebih luas daripada daratan dan di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau sehingga menjadi kesatuan geografis dan sosial budaya. Bahkan tak ada satu pun UU atau peraturan yang mengatur dan mendefinisikan kekhususan daerah kepulauan.
Pembangunan bias daratan hendak dikoreksi lewat kebijakan poros maritim, tol laut, dan membangun dari pinggiran. Pendekatan ini tak cukup berdaya guna tanpa perubahan esensial dalam mengenali kebutuhan dan keragaman, potensi sekaligus keunikan sosial-ekonomi-budaya daerah kepulauan. Ketertinggalan akibat keterbatasan sarana-prasarana dan pelayanan dasar itu menyebabkan distorsi pembangunan sebagaimana tecermin dari rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia dan capaian indikator pembangunan lainnya.
Banyak provinsi memiliki ratusan bahkan ribuan pulau, meniscayakan strategi pembangunan dan kebijakan tertentu untuk mendorong kemajuan dan keadilan distribusi sumber daya. RUU Daerah Kepulauan yang disusun atas inisiatif DPD tahun 2017 dan kini jadi prioritas Prolegnas 2020, memasukkan 8 provinsi dan 85 kabupaten/kota untuk diusulkan sebagai daerah kepulauan.
Data Kemendagri menyebutkan kondisi geografis 8 provinsi itu: Bangka Belitung memiliki 950 pulau dan 166 desa tepi laut, Kepulauan Riau 2.408 pulau dan 361 desa tepi laut, NTB 864 pulau dan 301 desa tepi laut, NTT 1.192 pulau dan 1.011 desa tepi laut, Sulawesi Utara 668 pulau dan 778 desa tepi laut, Sulawesi Tenggara 651 pulau dan 947 desa tepi laut, Maluku 1.422 pulau dan 914 desa tepi laut, Maluku Utara 1.474 pulau dan 941 desa tepi laut.
Banyak provinsi memiliki ratusan bahkan ribuan pulau, meniscayakan strategi pembangunan dan kebijakan tertentu untuk mendorong kemajuan dan keadilan distribusi sumber daya.
Rakyat daerah kepulauan belum sejahtera karena ketakmampuan memanfaatkan SDA. Jarak pulau-pulau relatif jauh dari pusat ekonomi dan keterbatasan fasilitas untuk pengembangan potensi lokal. Jika kebijakan dan penganggaran masih menggunakan pendekatan seperti sekarang, ketimpangan dan ketertinggalan akan kian parah.
Kapasitas fiskal daerah itu rata-rata rendah, ditunjukkan oleh kemampuan menghimpun pendanaan sendiri lewat pendapatan asli daerah (PAD) yang jauh di bawah daerah bukan kepulauan. Rata-rata PAD daerah kepulauan 2018 hanya 12,3 persen dari total APBD, dan daerah bukan kepulauan dua kali lipatnya, 24,3 persen.
Keterbatasan fiskal ini kian timpang dan tak adil karena kucuran dana perimbangan berupa dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dana alokasi khusus (DAK) sampai 2017 memberikan bobot tinggi untuk variabel jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Kendati mulai 2018 luas wilayah lautan diberi bobot 100 persen dalam formula DAU, ketimpangan celah fiskal terlalu lebar untuk diatasi dengan pola pendanaan konvensional yang berlaku dan jadi konsensus selama ini.
Apalagi DAK afirmasi untuk daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan relatif kecil dibandingkan DAK reguler dan penugasan untuk daerah bukan kepulauan. Alokasi DBH berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) jelas tak tepat jadi instrumen meningkatkan APBD daerah kepulauan karena keragaman dan keterbatasannya.
Rekognisi dan afirmasi
Urgensi UU Daerah Kepulauan sesungguhnya berpangkal dari fakta empiris negara sejak lama tak hadir dalam penguatan tata kelola di wilayah kepulauan. Ada kekosongan hukum untuk pengelolaan terutama aspek penyelenggaraan pemerintahan berbasis pulau, kewenangan tambahan atas urusan khusus, dan dukungan fiskal.
Eksistensi kekhususan dan keragaman itu butuh pengakuan dan perlakuan khusus dalam tiga unsur utama: pengaturan ruang (wilayah pengelolaan dan rentang kendali pemerintahan), urusan (tambahan kewenangan atas irisan urusan tertentu) dan uang (pendanaan khusus). Secara substansial, perlakuan khusus itu bersifat afirmatif (desentralisasi asimetris berbasis karakter geografis) dan rekognitif (pengakuan dan penghormatan atas keragaman dan kekhususan realitas sosial dan geografis).
Perubahan itu tak perlu mengubah rezim pemerintahan jadi bersifat khusus atau istimewa, apalagi harus mengamendemen UU No 23/2014 tentang Pemda, tapi dapat diakomodasi lewat pembentukan landasan hukum untuk memperkuat pengaturan atas tiga komponen utama: ruang, wewenang, dan pendanaan. Pembuatan landasan hukum baru yang tak menyimpang dari prinsip otonomi dan pengaturan tersendiri sebagai wujud pluralisme hukum cukup mewadahi makna desentralisasi asimetris. Apalagi kini disadari, otsus tak menjamin perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah.
Papua dan Aceh bukti nyata kucuran dana belasan triliun rupiah setiap tahun melalui dana otsus lamban mengikis kemiskinan karena program dan alokasi dana kurang tepat sasaran serta lemah asistensi dan pendampingan. Fenomena korupsi termasuk dalam kelemahan ini.
Apalagi kini disadari, otsus tak menjamin perbaikan kesejahteraan rakyat dan kemajuan daerah.
Pengakuan atas ruang, pelimpahan sebagian urusan (wewenang tambahan) dan pendanaan khusus untuk daerah kepulauan merupakan moderasi ”jalan tengah” dengan mempertimbangkan sistem hukum dan kapasitas fiskal pemerintah di satu sisi, dan aspirasi daerah kepulauan yang terus mengemuka sejak Deklarasi Ambon 11 Agustus 2005.
Agar pengaturan hukum atas daerah kepulauan kelak berdampak signifikan mengurangi ketertinggalan dan kemiskinan, perlu ”pagar pembatas” antara lain alokasi secara tepat dana khusus kepulauan (DKK) di sektor prioritas terutama SDM lokal, kelembagaan, sektor ekonomi kelautan. Inventarisasi sektor ekonomi yang perlu dapat perhatian dan penekanan mencakup: perikanan tangkap dan budidaya, industri pengolahan hasil laut dan bioteknologi, pertambangan energi dan sumber daya mineral, pariwisata bahari, jasa kelautan.
Instrumen DKK harus dipastikan optimal untuk mendorong produksi dan nilai tambah di sektor hulu kelautan, selanjutnya memiliki keterkaitan tinggi dengan sektor hilir (industri pengolahan dan ekspor). Akselerasi pembangunan nasional lewat pemanfaatan potensi daerah kepulauan dapat jadi titik tolak integrasi kebijakan kebudayaan kelautan, tata kelola kelautan, keamanan maritim, ekonomi kelautan, dan kebijakan lingkungan kelautan.
Hasil riset banyak lembaga menunjukkan, sumbangan kelautan kurang dari 20 persen PDB dan penyerapan tenaga kerja di bawah 10 persen. Anomali di negara berkarakteristik geografis dua pertiga wilayah berupa lautan, potensi lestari perikanan tangkap minimal 12,5 juta ton/tahun, budidaya perikanan laut 12 juta hektar, dan sumber daya hasil laut non- ikan begitu berlimpah, butuh determinasi kebijakan dan tata kelola yang kompatibel dengan kebutuhan.
Kehendak besar untuk maju dan ekonomi tumbuh berkelanjutan sukar diraih tanpa menjadikan laut dan daerah kepulauan motor pembangkit kegiatan perekonomian.
(Suwidi Tono Koordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Pemimpin Redaksi Majalah Media Otonomi 2004-2010)