”Quo Vadis” Diplomasi Ekonomi dan Investasi
Sekalipun fungsi koordinasi berjalan baik, dengan tak adanya sektor prioritas diplomasi, tak akan dapat dilaksanakan sesuai harapan Presiden.
Permintaan Presiden Jokowi kepada para dubes RI (9/1/2020) untuk ”menjadi duta investasi dengan melakukan diplomasi ekonomi”, meskipun tak baru, tetap membawa konsekuensi yang tak ringan.
Di masa-masa sebelumnya, diplomasi ini dikemas sebagai diplomasi perdagangan, pariwisata, dan investasi (trade, tourism, and investment/TTI), yang sudah jadi kredo bagi diplomat Indonesia. Dalam konteks kekinian, permintaan itu menjadi semakin penting dan relevan.
Sepintas format diplomasi ekonomi ini memang lebih fokus dibandingkan dengan TTI. Menyatukan perdagangan dan pariwisata ke dalam keranjang ekonomi seakan menjadikannya lebih inklusif, termasuk bagi bidang lain.
Dengan demikian, konsep ini diharapkan dapat menjawab ”ketidakpastian dan kesulitan pertumbuhan” sebagaimana diakui IMF. Namun, format diplomasi ekonomi ini sebenarnya justru menjadikan cakupannya lebih luas sehingga memunculkan masalah baru.
Namun, format diplomasi ekonomi ini sebenarnya justru menjadikan cakupannya lebih luas sehingga memunculkan masalah baru.
Pertama, memasukkan semua sektor ekonomi (perdagangan, keuangan, perindustrian, pertanian, dan sebagainya) dalam satu keranjang mengandung arti semua sektor itu, yang menjadi portofolio Kemenko Perekonomian, harus menjadi prioritas.
Kedua, hal sama terlihat dalam bidang investasi yang kini menjadi portofolio Kemenko Kemaritiman dan Investasi (kelautan, pariwisata, energi, dan sebagainya). Ketiga, diplomasi ekonomi dan investasi ini akan membuat diplomasi Indonesia justru kedodoran karena tidak ada prioritas.
”Binatang langka”
Masalahnya, dengan prioritas TTI saja, dari masa pascareformasi hingga akhir kabinet Indonesia Kerja 2019, diplomasi ekonomi belum dapat berjalan lancar dan mencapai hasil maksimal karena kesulitan koordinasi. Padahal, Pasal 28 (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri jelas menetapkan menlu sebagai ”koordinator dan penyelenggara hubungan luar negeri dan politik luar negeri”.
Kesulitan ini antara lain terlihat dalam hal, pertama, kementerian/lembaga (K/L) beserta pemangku kepentingannya cenderung berjalan sendiri-sendiri dengan program-program kegiatan luar negerinya. Kedua, diplomasi ini akan memerlukan koordinasi erat di antara kedua kemenko dan Kemenlu.
Ketiga, hal ini akan memerlukan jalur birokrasi dan waktu lebih panjang dalam implementasinya. Keempat, akan menimbulkan ketidakjelasan siapa yang jadi penanggung jawab dan sektor mana yang menjadi prioritas, kecuali investasi. Dengan demikian, koordinasi menjadi kata kunci penyelesaian masalah-masalah di atas dan inilah yang justru mencemaskan.
Sudah lama dan berlarut-larut diketahui bahwa koordinasi di antara K/L serta pemangku kepentingan merupakan ”barang langka” yang menjadi endangered species. Ketika TTI menjadi prioritas, rapat-rapat koordinasi yang diadakan di level eselon II (tingkat direktur) saja jarang dapat menghasilkan keputusan yang mengikat untuk dilaksanakan.
Sudah lama dan berlarut-larut diketahui bahwa koordinasi di antara K/L serta pemangku kepentingan merupakan ”barang langka” yang menjadi endangered species.
Dari 20 pejabat eselon II yang diundang, misalnya, rapat sering kali hanya dihadiri 3-4 pejabat eselon II, selebihnya diwakili oleh eselon III, IV, atau bahkan staf non-struktural. Akibatnya, sebagian besar peserta rapat akan lebih banyak mendengar, mencatat, melaporkan, dan berjanji mengirimkan masukan pada rapat berikutnya. Sebagian juga baru diminta mewakili K/L-nya beberapa saat sebelum rapat.
Ironisnya, hal ini biasanya terulang kembali pada rapat lanjutan, yang seharusnya membahas progres dan tindak lanjut. Lebih ironis lagi, rapat berikutnya juga biasanya dihadiri peserta baru yang tak ikut di rapat sebelumnya sehingga pembahasan harus ”mulai dari nol”.
Promosi ala kadarnya
Dalam pelaksanaannya, diplomasi ekonomi dengan prioritas pada TTI juga berjalan ala kadarnya. Pasar non-tradisional (Asia Tengah/Barat, Eropa Timur, Amerika Latin, dan Afrika) yang seharusnya menjadi sasaran masih tetap tak tersentuh, sementara fokus tetap pada pasar tradisional (Amerika Utara, Eropa Barat, Asia Timur, dan Australia).
Walaupun K/L terkait konon memiliki peta perencanaan roadshow (pameran/ekshibisi dan kunjungan bisnis), pelaksanaannya hanya akan berputar di kota-kota besar Amerika, Eropa, Australia, Jepang, dan China. Padahal, ibaratnya, tanpa promosi sekalipun, Indonesia akan tetap jadi salah satu tujuan utama mereka.
Dalam promosi pariwisata, contohnya pada ekshibisi berskala kecil (seperti bazar atau festival kampus), Malaysia Truly Asia dan Amazing Thailand sering kali tampil all out. Sementara Wonderful Indonesia hanya diwakili KBRI dengan stan dan display ala kadarnya, berasal dari stok kantor atau barang milik para diplomatnya.
Lebih menyedihkan, ketika KBRI meminta bahan (brosur/leaflet) pariwisata, kerap terjadi surat permintaan yang berkali-kali dikirim tak dijawab. Jadi, dengan terpaksa KBRI mengirim wakilnya langsung ke K/L terkait dan hanya dapat brosur 2-3 kotak bekas mi instan!
Padahal, jangan ditanya berapa banyak kunjungan, baik dalam bentuk penjajakan, diskusi, studi banding, maupun misi dagang, telah dilakukan, termasuk oleh K/L yang tak memiliki kepentingan langsung dan pemda. Maka, jangan heran kalau Indonesia masih tetap tertinggal dari negara tetangga, baik dalam jumlah wisatawan maupun devisa yang dihasilkan. Jangan heran pula kalau harapan Presiden agar pariwisata kita bisa mengalahkan negara tetangga (Kompas, 18/2/2020) tak bisa terwujud.
Maka, jangan heran kalau Indonesia masih tetap tertinggal dari negara tetangga, baik dalam jumlah wisatawan maupun devisa yang dihasilkan.
Promosi investasi juga sebenarnya menghadapi masalah lama yang secara konsisten berulang. Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat Indonesia atraktif, misalnya pembangunan infrastruktur, penyederhanaan izin, dan insentif pajak, investor tampaknya masih enggan untuk datang. Kepastian hukum, masalah tanah, isu perburuhan, ditambah ketidaksinergian kebijakan dan wewenang pemerintah pusat dan daerah membuat calon investor ”gerah”.
Dalam jumlah prosedur yang harus dilalui untuk mendirikan usaha, Indonesia kalah dari Brunei Darussalam, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Dari sisi waktu, kalah dari Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Vietnam (CNBC Indonesia, 26/9/2019). Dengan kenyataan ini, diplomat Indonesia bagai ”maju ke medan laga tanpa amunisi”; dapat dikatakan, diplomasi ekonomi dan investasi Indonesia sudah ”kalah sebelum perang”.
Prioritas tetap diperlukan
Meski sudah dicanangkan, sudah sepatutnya Kemenlu tetap memegang kendali dalam koordinasi dan pelaksanaan diplomasi ini sesuai UU No 37/1999. Dalam praktik diplomasi dewasa ini, perwakilan diplomatik akan tetap jadi ujung tombak tak tergantikan dalam melaksanakan multi-economic diplomacy, terutama promosi dagang dan kontrak investasi, pemberian dukungan politik, serta pembentukan legislasi ekonomi (Tatoul Manasserian, Economic Diplomacy: from Theory to Real Life).
Berdasarkan pengalaman TTI saja, ketidakjelasan konsep diplomasi ekonomi ini dengan sendirinya membuat koordinasi semakin sulit, kalau bukan mustahil dilaksanakan maksimal. Sekalipun fungsi koordinasi berjalan baik, dengan tak adanya sektor prioritas diplomasi, tak akan dapat dilaksanakan sesuai harapan Presiden.
Sekalipun fungsi koordinasi berjalan baik, dengan tak adanya sektor prioritas diplomasi, tak akan dapat dilaksanakan sesuai harapan Presiden.
Di tengah dunia yang berubah cepat dengan persaingan ketat, dinamika pembangunan ekonomi globalisasi secara langsung akan memengaruhi semua bentuk, metode, serta sarana dan prasarana diplomasi ekonomi. Dengan contoh di atas saja, yang diperlukan bukan hanya konsep diplomasi yang jelas, melainkan juga kesiapan sikap dan mental pemangku kepentingan untuk menghindari terulangnya masalah klasik promosi ekonomi dan investasi.
(Dian Wirengjurit Diplomat Utama; Duta Besar RI untuk Iran dan Turkmenistan (2012-2016))