Agama dan Pancasila
Persoalan hubungan antara agama dan Pancasila kembali riuh dibicarakan setelah keluar pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, yang belum lama ini diangkat oleh Presiden Jokowi.
Persoalan hubungan antara agama dan Pancasila kembali riuh dibicarakan setelah keluar pernyataan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, yang belum lama ini diangkat oleh Presiden Jokowi.
Bagi sebagian kalangan, pernyataan itu sudah memperhadapkan antara agama dan Pancasila, dan bahkan menilai agama sebagai ”musuh terbesar” Pancasila. Kalangan lain menuduh kesimpulan itu diambil karena pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sudah ”dipelintir”, atau bahkan ”digoreng”, untuk kepentingan politik tertentu. Tak heran jika lewat akun Twitter resmi, BPIP perlu membuat klarifikasi.
Tulisan ini tidak bermaksud mencampuri kekeruhan pendapat yang berlangsung di media sosial itu, tetapi mau menukik ke soal yang jauh lebih fundamental. Menurut saya, kekeruhan dan keriuhan itu tidak akan pernah dapat diselesaikan jika kita tidak mampu memutus mata rantai apa yang disebut sahabat saya, Samsul Maarif, sebagai ”politik agama” (Maarif, 2017).
Dalam telaahnya yang menarik, Maarif menunjukkan bagaimana pertarungan ”politik agama” antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam itulah yang melatari perumusan Pancasila. Hal ini terus-menerus diwariskan dari generasi ke generasi sehingga membelenggu persepsi ataupun tafsir terhadap Pancasila sampai sekarang.
Tulisan ini mau mengusulkan langkah untuk memutus mata rantai pewarisan tersebut dengan menggeser fokus diskursus tentang Pancasila, dan sekaligus membumikannya. Dan titik tolaknya ada pada visi Bung Karno, penggali dan perumus Pancasila.
Visi Bung Karno
Tidak dibutuhkan telaah panjang lebar untuk memperlihatkan bahwa Pancasila merupakan ”hasil kompromi” yang dicapai untuk menghindari benturan dua kekuatan utama dalam gerakan kebangsaan, yakni antara kelompok nasionalis-sekuler dan nasionalis-Islam. Adalah usulan genial Bung Karno dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 yang mampu melangkaui benturan itu.
Kita harus kembali pada pidato Bung Karno itu dan melihat suasana kebatinan yang melatarinya untuk memahami alasan mengapa Pancasila mampu menjembatani perbedaan dan sekaligus menjadi ”rumah bersama” semua kelompok (saya merujuk pada salinan dokumen otentik BPUPK suntingan RM AB Kusuma, 2016). Di situ ia merumuskan pandangan visionernya: Indonesia adalah suatu nationale staat, suatu negara merdeka guna mewadahi kelompok-kelompok yang diikat oleh ”kehendak untuk bersatu” (le desir d’Être ensemble, sembari menyitir Renan).
Tidak heran jika Bung Karno merumuskan dasar pertama negara merdeka yang dicita-citakan dan diperjuangkan sebagai kebangsaan (nasionalisme). Dalam kalimat-kalimatnya yang masih menggetarkan setelah lebih dari tujuh dekade, ”Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat.”
Bung Karno sangat sadar, tanpa ”kehendak untuk bersatu” itu kemerdekaan Indonesia mustahil dicapai. Namun, ia juga sadar, nasionalisme bisa menjebak orang ke dalam pandangan yang sempit yang hanya memikirkan diri sendiri. Itu sebabnya, sebagai dasar kedua, nasionalisme tersebut harus diletakkan dalam kerangka perikemanusiaan yang universal (humanisme) dan dikelola menurut dasar ketiga, yakni perwakilan, permusyawaratan dan mencapai mufakat (demokrasi).
Semua prinsip dasar tersebut—nasionalisme, humanisme, dan demokrasi, guna memakai istilah-istilah sekarang—harus diarahkan guna mencapai tujuan utama kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Untuk mengutip Bung Karno lagi, ”Apakah kita mau Indonesia merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
Akhirnya, setelah keempat prinsip tersebut, Bung Karno menyebut prinsip ketuhanan. Dan baginya, prinsip ketuhanan itu, lagi-lagi, harus diletakkan dalam konteks ”kehendak untuk bersatu”. Dalam bahasanya yang cemerlang, prinsip itu menegaskan bahwa ”Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ’egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” Ber-Tuhan secara kebudayaan, dengan cara berkeadaban yang mampu menghormati agama-agama lain. Itulah visi dasar Bung Karno yang kemudian dirumuskan sebagai Pancasila.
Membumikan (Lagi) Pancasila
Dengan sengaja saya merujuk pada pidato Bung Karno, bahkan mengutip kata-katanya, karena dalam sejarah prinsip-prinsip dasar itu kerap ditinggalkan, atau ditafsirkan hanya demi kepentingan kelompok tertentu dengan memakai sentimen keagamaan. Itulah yang disebut ”politik agama”, yakni upaya politik oleh sekelompok warga negara yang menjadikan agama sebagai alat legitimasi kuasa dan kontrol atas kelompok warga negara lain.
Praktik-praktik tersebut, celakanya, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ini bisa dilihat jika kita memeriksa hampir seluruh kesibukan dan diskursus tentang Pancasila. Di situ kita akan menemukan perbantahan tafsir terus-menerus hanya mengenai prinsip ketuhanan. Boleh dibilang, hampir seluruh energi dihabiskan untuk urusan itu. Apalagi tafsir yang diajukan cenderung mempersempit prinsip ketuhanan yang diajukan Bung Karno, yakni suatu ketuhanan yang ”berkeadaban” dan ”dengan tiada ‘egoisme-agama’” sehingga, pada gilirannya, membawa gejolak dalam masyarakat.
Saya kira sudah saatnya untuk mengatakan enough is enough pada perbantahan seperti itu. Kita perlu memotong mata rantai pewarisan tersebut. Di sini BPIP dapat berperan strategis untuk mengubah situasi, yakni tidak menempatkan Pancasila berhadapan dengan agama, tetapi membuka ruang diskursus baru tentang apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lagi pula, diskursus tersebut juga dapat menjadi wadah di mana agama-agama menemukan panggilan profetiknya yang genuin, dan bukan menjadi alat kepentingan kelompok.
Saya kira itulah tantangan BPIP yang sesungguhnya dan panggilan kita sebagai satu bangsa dan negara. Apalagi persoalan keadilan sosial merupakan ”janji” Pancasila yang hampir tidak pernah mendapat perhatian dan karena itu menjadi utang peradaban kita. Karena, untuk menyitir Bung Karno terakhir kali, untuk apa Indonesia merdeka dicapai jika tidak mampu membuat rakyatnya ”merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
Trisno S Sutanto Aktivis dan Periset di Paritas Institute, Jakarta