Presiden menyatakan bahwa pemindahan IKN tidak sekadar pindah lokasi, tetapi proses transformasi ekonomi, sistem kerja, dan cara kerja. Presiden mengangankan peradaban baru terkait pengorganisasian kekuasaan lewat IKN.
Oleh
Novri Susan
·4 menit baca
Ibu kota negara Indonesia akan pindah dari Jakarta ke Kalimantan Timur, tepatnya di daerah Penajam Paser. Presiden Joko Widodo telah menciptakan keputusan besar dalam sejarah peradaban politik modern Indonesia.
Pemindahan ibu kota negara (IKN) merupakan proses dari imajinasi tentang kota politik, yaitu kota yang menjadi lokus pengorganisasian kekuasaan negara dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Imajinasi tentang kota politik IKN ini perlu mendapat intepretasi konstruktif dan sekaligus konsensus kebangsaan.
Transformasi peradaban
Presiden menyatakan bahwa pemindahan IKN tidak sekadar pindah lokasi, tetapi proses transformasi ekonomi, sistem kerja, dan cara kerja. Pada pernyataan ini, Presiden mengimajinasikan peradaban baru terkait pengorganisasian kekuasaan melalui IKN.
Sejarah Indonesia diwarnai pengorganisasian kekuasaan buruk, seperti kinerja lamban, seksionalisme kepentingan, dan kerumitan birokratis yang terlembagakan secara sosiologis.
Terutama fase sejarah peradaban politik selama Orde Baru, pengorganisasian kekuasaan yang buruk tersebut makin kuat terbentuk dan menciptakan kegagalan pembangunan nasional.
Beberapa indikasi kegagalan pembangunan muncul dalam bentuk kesenjangan sosial, sentralisme perkembangan ekonomi di Jawa, praktik korupsi, kekerasan negara, kehancuran tatanan lokal, dan kerusakan lingkungan. Hal tersebut berarti pengorganisasian kekuasaan, sejak Orde Baru, telah mengabaikan dan mendistorsi konstitusi.
Pergantian pengorganisasian kekuasaan ala Orde Baru menjadi kekuasaan demokrasi, sejak 1998, memberi harapan adanya perubahan secara subtansial. Meskipun demikian, desain kelembagaan demokrasi hanya berlangsung di level prosedural yang tidak memberi dampak perubahan pengorganisasian kekuasaan negara.
Pada satu sisi sistem demokrasi sering menjadi bahasa-bahasa keseharian, tetapi faktanya pembangunan nasional diorganisasi oleh model kekuasaan yang buruk. Potensi Indonesia untuk berkembang menjadi satu negara besar dan kuat menemui jalan buntu.
Paling tidak sampai dua dekade sejak reformasi, habit pengorganisasian kekuasaan buruk masih hidup kuat dalam periode-periode pemerintahan demokratis Indonesia. Korupsi, kinerja lamban, seksionalisme kepentingan, dan kerumitan birokratis masih menjadi cara kerja pelaksanaan pembangunan. Imajinasi Presiden Jokowi tentang kota politik IKN bisa diintepretasi sebagai upaya membuka kebuntuan itu.
Secara strategis imajinasi itu merupakan upaya mengeliminasi kebiasaan pengorganisasian buruk dalam tubuh kekuasaan negara. Selama ini upaya tersebut, bisa jadi, telah dicoba oleh aktor-aktor demokrasi, baik sipil maupun politik. Berbagai program pemberdayaan untuk birokrasi dan elite-elite politik agar menginternalisasi substansi demokrasi digiatkan.
Namun, transformasi pengorganisasian kekuasaan dari buruk menjadi baik belum cukup berhasil sehingga imajinasi kota politik IKN bisa disebut sebagai langkah membuka kebuntuan transformasi pengorganisasian kekuasaan yang berbasis pada substansi konstitusi dan demokrasi.
Pembuka kebuntuan
Kota politik IKN akan menjadi dunia arti simbolik dalam dunia kehidupan sehari-hari politik kebangsaan. Sosiologi pengetahuan dari Peter L Berger memahami dunia arti simbolik sebagai pusat bahasa dari subyek individu dan kolektif tertentu yang membedakan dari subyek-subyek lain.
Simbol memiliki arti yang diwujudkan secara bahasa baik dalam bentuk praktik verbal dan nonverbal dalam keseharian. Para subyek individu akan menjalankan dunia arti simbolik ketika telah menerima arti dari dimensi simbolik tersebut ke dalam struktur kesadaran.
Sebagai kota politik, IKN merupakan imajinasi tentang dunia simbolik dengan arti tentang kekuasaan baik yang berbeda dari kebiasaan sebelumnya. Kinerja cepat dan tepat, melayani kepentingan umum, menghapus kerumitan birokratis, sampai praktik antikorupsi di dalam kerja struktur politik. Pertanyaan paling relevan selanjutnya, seberapa jauh individu-individu dalam masyarakat Indonesia menerima arti dari dunia simbolik IKN tersebut?
Arti simbolik kota politik IKN merujuk pada konstitusi dan substansi demokrasi yang kemungkinan besar disetujui rakyat sipil. Tantangan cukup terjal akan muncul dari lapisan sebagian elite dalam struktur politik atas dasar kalkulasi kepentingan status quo.
Pengorganisasian kekuasaan buruk merupakan mekanisme mengeruk keuntungan-keuntungan parsialis. Secara sosiologis, kepentingan status quo akan cukup sulit menerima dunia simbolik kota politik IKN yang diimajinasikan presiden.
Pada situasi halangan dalam bentuk kepentingan status quo sebagian elite, dukungan dari rakyat sipil menjadi sangat krusial. Komunikasi kepada rakyat sipil terkait IKN, sebagai kota politik, merupakan kunci legitimasi.
Secara teoretik, kepentingan rakyat bersesuaian dengan arti simbolik kota politik IKN. Hal ini menjadi modal penting dalam realisasi pemindahan IKN selain desain teknis tata kota. Tentu saja, komunikasi yang harus berprinsip pada intersubyektivitas, yaitu komunikasi timbal balik yang memungkinkan adanya pemuatan aspirasi publik terkait kota politik IKN.
Secara habit pengorganisasian kekuasaan Presiden Jokowi telah berbasis pada prinsip komunikasi intersubyektif sehingga bukan menjadi kendala serius. Aras komunikasi intersubyektif paling tidak ada pada dua jalur, yaitu melalui representasi politik rakyat di lembaga legislatif DPR dan jalur eksekutif, seperti kementerian serta kelembagaan pemerintahan melalui dialog-dialog publik.
Komunikasi berprinsip intersubyektivitas ini akan menghasilkan legitimasi yang mana dunia simbolik kota politik IKN diterima sebagai bagian dari struktur kesadaran rakyat Indonesia.