Catatan tentang Keadilan Sosial
Yang sering luput dari pengertian orang tentang keadilan sosial adalah habitus atau kebiasaan sosial. Habitus ini penting karena sangat menentukan keamanan, ketertiban, kebersihan, dan keindahan masyarakat.
Belum banyak orang tahu bahwa 20 Februari merupakan hari Keadilan Sosial Sedunia meskipun Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menetapkan hal itu sejak 2007. Tahun ini temanya yaitu ”Closing the Inequalities Gap to Achieve Social Justice”.
Tema itu diambil karena menjadi salah satu fokus dari keprihatinan akan keadilan sosial yang belum terwujud di banyak negara.
Dalam resolusi bertanggal 26 November 2007, beberapa fokus ditonjolkan, misalnya kemiskinan, pengangguran, pemerataan pendapatan, kesetaraan, hak-hak asasi manusia, pengakuan terhadap kelompok-kelompok sosial minoritas dan terpinggirkan, serta jaminan sosial.
Harapannya, dalam masyarakat yang hidup itulah individu akan bisa hidup dengan baik.
Hari peringatan khusus itu dibuat karena setidaknya setelah tahun 2006 ada kecenderungan bahwa situasi sosial justru menjauh dari cita-cita keadilan sosial, termasuk di Indonesia. Dengan demikian, hal ini dimaknai sebagai upaya untuk terus mengingatkan agar keadilan sosial diwujudkan.
Berbagai fokus yang disebut di atas jika diringkas menunjukkan tiga isu penting dalam keadilan sosial. Pertama, tersedianya sarana-prasarana sosial yang baik dengan segala sistemnya. Kedua, pemerataan pendapatan, yang antara lain tecermin dalam indeks rasio gini. Ketiga, pengakuan pada berbagai kelompok sosial.
Dalam hal ini, yang ditekankan pertama-tama bukan individu manusia, melainkan hidupnya masyarakat sebagai sebuah entitas atau organisme (meminjam istilah Hobhouse, 1922). Harapannya, dalam masyarakat yang hidup itulah individu akan bisa hidup dengan baik.
Tulisan singkat ini tidak akan menguraikan pemikiran bagaimana mewujudkan keadilan sosial. Sebaliknya, tulisan ini ingin mengkritisi atau memberi catatan terhadap berbagai fokus yang ada.
Dalam pemikiran klasik, keadilan sosial disamakan dengan keadilan distributif, yaitu adilnya pembagian sumber daya masyarakat kepada individu anggotanya sesuai peran dan sumbangan masing-masing. David Mapel (1989) dan David Miller (1999) masih melihat dari sudut ini.
Konsep desert yang masih dipakai jelas menunjukkan hal ini. Dalam pengertian Aristotelian ini cukup jelas bahwa fokusnya masih pada individu, bukan pada masyarakatnya, sehingga tampak bersifat individual. Nilai-nilai keadilan distributif inilah yang antara lain tampak dalam hak-hak individu yang tercantum dalam ICESCR (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Keadilan sosial tidak melulu bersifat material atau ekonomis.
Sementara itu, perkembangan zaman membuat masyarakat makin kompleks, dan makin tampak sebagai entitas tersendiri, yang bisa dengan gampang dibedakan dari individu warganya. Dapatlah dikatakan kemudian bahwa keadilan sosial adalah hidupnya masyarakat sebagai masyarakat yang baik. Penyediaan sarana-prasarana sosial merupakan salah satu wujudnya.
Sarana dan prasarana itu juga bukan hanya fisik, karena termasuk sarana-prasarana budaya. Karena itu, keadilan sosial tidak melulu bersifat material atau ekonomis. Sementara itu, jika diperhatikan dalam pengertian klasik, dalam keadilan distributif nuansa fisik atau material masih sangat kental.
Usulan agar kebahagiaan (Amartya Sen, 2009) masuk dalam kriteria keadilan sosial merupakan contoh makin mendalamnya pengertian keadilan sosial.
Habitus
Yang sering luput dari pengertian orang tentang keadilan sosial yaitu habitus atau kebiasaan sosial (Bourdieu, 1990). Habitus ini penting sebagai salah satu isi keadilan sosial karena sangat menentukan keamanan, ketertiban, kebersihan, dan keindahan masyarakat.
Habitus didefinisikan sebagai perilaku sosial yang spontan dilakukan oleh individu. Akan tetapi, karena tidak bersifat alamiah, perlu pendidikan dan bahkan rekayasa sosial yang membutuhkan waktu panjang. Dalam hal ini keterlibatan semua pihak sangat diandaikan.
Lembaga sekolah dan lembaga agama, misalnya, bisa menanamkan nilai dan mengajarkan suatu habitus tertentu, misalnya menaruh dan memilah sampah. Hanya saja, jika tidak ada pemaksaan, habitus akan sulit terbentuk karena pada dasarnya individu itu egosentris. Karena itu, keterlibatan pemerintah melalui penegakan hukum menjadi sangat vital.
Keterlibatan pemerintah melalui penegakan hukum menjadi sangat vital.
Seperti dikatakan di atas, habitus penting karena terkait erat dengan beberapa unsur penting keadilan sosial, seperti kebersihan, keamanan, dan ketertiban, juga keindahan. Keempat hal ini merupakan tujuan dari dibangunnya sarana-prasarana sosial, tetapi perlu diimbangi pembentukan habitus masyarakat agar bisa mempergunakan segala fasilitas sosial itu dengan baik.
Apa gunanya dibangun jembatan penyeberangan jika warga masyarakat tetap sembarangan menyeberang jalan, misalnya. Lebih nyata, seperti tampak di Jakarta, apa gunanya pemerintah menyediakan tiga tempat sampah terpilah kalau warga tidak dididik dan dipaksa (awalnya) untuk memilah sampah?
Eko-sosial
Catatan yang ketiga terkait dengan makin tumbuhnya kesadaran tentang kesalingtergantungan antara manusia dan alam. Jika dicermati, tidak banyak para pemikir klasik tentang keadilan sosial yang memasukkan pemeliharaan lingkungan hidup sebagai bagian penting keadilan sosial.
Beberapa pemikir sesudah tahun 2000-an-lah yang lebih jelas dan serius memasukkan dimensi ekologis ini. Loretta Capehart dan Dragan Milovanovic (2007) serta Clara Sabagh dan Manfred Schmitt (2016) adalah contohnya. Dua penulis yang disebut terdahulu, David Mapel (1989) dan David Miller (1999), belum mencantumkannya dalam butir refleksinya.
Paham yang meluas ini jelas mengandaikan bahwa yang disebut masyarakat bukan hanya kesatuan manusia. Jika dulu lingkungan biotik hanya dipandang sebagai faktor pendukung, pandangan baru lebih ”mengangkat” derajat dan martabat lingkungan biotik lebih dekat dengan manusia.
Oleh karena itu, istilah keadilan eko-sosial dirasa lebih tepat dibandingkan sekadar keadilan sosial. Selain itu, istilah eko-sosial lebih menampakkan keberlanjutan keadilan sosial yang mau diwujudkan dalam kaitan dengan keadilan bagi generasi mendatang.
Indonesia?
Beberapa catatan singkat ini dimaksudkan untuk mengapresiasi langkah-langkah yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini, seperti pembangunan infrastruktur secara lebih serius.
Di lain pihak, juga mengingatkan akan konsekuensi yang lebih luas dari upaya yang sudah dilakukan agar tidak berhenti pada pembangunan fisik.
Contoh belum luasnya kriteria keadilan sosial ini antara lain tampak dalam indikator kesejahteraan masyarakat (yang diandaikan sebagai cerminan indikator keadilan sosial) dari Biro Pusat Statistik. Dari tahun ke tahun, dimensi ekologis baru masuk dalam konteks perumahan, belum tampak sebagai indikator vital.
Memang, mengukur tingkat dan keragaman habitus masyarakat tidak gampang. Meski begitu, untuk ke depan, aspek ini bisa dipertimbangkan. Tentu, hal ini perlu penelitian kualitatif yang komprehensif.
Yang mau dimaksudkan juga dengan tulisan ini adalah tanggung jawab perwujudan keadilan eko-sosial tidak hanya ditumpukan di pundak pemerintah.
Dengan pendalaman dan perluasan makna keadilan eko-sosial, tanggung jawab agen di luar pemerintah menjadi lebih besar pula. Keseriusan semua pihak dan kerja sama menjadi mutlak jika semua mencita-citakannya.
Hal lain yang tidak kalah penting yaitu memaknai kembali sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam cakrawala ini.
Artinya, butir-butir refleksi yang selama ini dijadikan isi keadilan sosial perlu ditambah, dan tentu diwujudkan.
Harapannya sederhana, Indonesia sebagai masyarakat dan bangsa, dalam kesatuan dengan alamnya, menjadi ”wadah” yang nyaman untuk hidup warganya, sendiri, maupun bersama!
(Al Andang L Binawan, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta)