Trump dan ”Transaksi Abad Ini”
Seperti kata-kata bijak ”orang tidak hidup dari roti saja”, rakyat Palestina kiranya tidak akan mau bahwa kemerdekaan, kedaulatan, dan martabat mereka ”hanya” ditukar dengan bantuan ekonomi seperti yang dijanjikan AS.
Lebih seabad silam, Deklarasi Balfour memberikan kepada orang Yahudi sebuah ”national home-land” di Palestina.
Deklarasi Balfour adalah surat yang dikirim Menlu Inggris Arthur James Balfour kepada Lord Lionel Walter Rothschild, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, 2 November 1917. Kini, Deklarasi Trump 2017 yang disebut Deal of the Century (Kesepakatan Abad Ini—mungkin lebih tepat disebut ”Transaksi Abad Ini” karena memang transaksional) menjanjikan lebih luar biasa dibanding Deklarasi Balfour kepada Israel.
Washington, memang, belum mengungkapkan secara rinci dan detail Deal of the Century yang disebut visi perdamaian Trump itu. Meski demikian, dari berbagai informasi yang beredar, Deal of the Century secara garis besar mendorong lahirnya ”Israel Raya” dengan ”mengerdilkan” Palestina.
Bisa dikatakan bahwa Deal of the Century ini benar-benar dilaksanakan akan memberikan dampak yang tak lebih ringan dibandingkan Deklarasi Balfour yang telah menjadi salah satu sumber konflik berbilang tahun, bahkan tembus abad dari abad ke-20 hingga abad ke-21, antara Israel dan Palestina.
Salah satu poin paling mendasar adalah Trump menolak untuk secara tegas mendukung solusi dua negara: Israel untuk bangsa Yahudi dan Palestina untuk bangsa Palestina. Tahun 1993, Israel dan Palestina sepakat melaksanakan solusi dua negara sebagai bagian dari Persetujuan Oslo, yang menjadi langkah pembuka pembentukan Otoritas Palestina (PA).
Bisa dikatakan bahwa Deal of the Century ini benar-benar dilaksanakan akan memberikan dampak yang tak lebih ringan dibandingkan Deklarasi Balfour yang telah menjadi salah satu sumber konflik berbilang tahun, bahkan tembus abad dari abad ke-20 hingga abad ke-21, antara Israel dan Palestina.
Padahal di wilayah pendudukan di Lembah Jordan (daerah pertanian dan perkebunan, ada kurma, lada, anggur, dan mangga) terdapat 27 permukiman Yahudi, yang dihuni 9.000 orang Yahudi. Sementara orang Palestina tinggal di 10 kota dan desa lain di Tepi Barat, termasuk Jeriko, yang penduduknya hampir 65.000 orang (Mitchell Bard, September 2019). Dengan demikian, Washington hendak mengakui wilayah pendudukan itu wilayah Israel.
Kepentingan Israel
Selama ini, perundingan perdamaian Israel-Palestina membahas status final sekurang-kurangnya lima masalah ini: Jerusalem, pengungsi, permukiman, status dan perbatasan entitas Palestina, dan keamanan. Kedua pihak berunding langsung, didasarkan pada asumsi bahwa Israel akan menyerahkan wilayah, mengevakuasi para pemukim di permukiman di wilayah pendudukan, dan pembagian Jerusalem (menjadi Jerusalem Israel dan Jerusalem Palestina).
Semua perdana menteri Israel setelah Yitzhak Rabin—yakni, Shimon Peres, Benjamin Netanyahu, Ehud Barak, dan Ehud Olmert—berunding dengan Palestina mendasarkan visi solusi dua negara. Bahkan, Barak dan Olmert lebih jauh lagi. Keduanya menyatakan keinginan membagi Jerusalem. Namun, dapat dikatakan, perundingan perdamaian selalu menemui jalan buntu.
Kini, Trump, yang ingin tercatat sejarah sebagai presiden AS pemrakarsa perdamaian seperti Jimmy Carter yang mendamaikan Israel dan Mesir di Camp David, mengajukan visi perdamaiannya. Akan tetapi, tampaknya lebih fokus pada kerja sama ekonomi dan pembangunan wilayah Palestina. Karena itu, ada yang menyebutnya ”perdamaian ekonomi”. Washington menjanjikan investasi besar-besaran dalam bidang ekonomi di Palestina sebagai pengganti penentuan nasib sendiri sebagai negara berdaulat.
Washington menjanjikan investasi besar-besaran dalam bidang ekonomi di Palestina sebagai pengganti penentuan nasib sendiri sebagai negara berdaulat.
Jelas kiranya, Pemerintah AS menunjukkan bahwa inisiatif itu lebih akan memprioritaskan kepentingan Israel, mengabaikan prinsip-prinsip dasar hukum internasional, dan menjauhkan dari gagasan solusi dua negara berdaulat. Trump juga menyatakan Jerusalem akan tetap sebagai ibu kota Israel yang tak terbagi. Tentu, ini tak sesuai hukum internasional.
Oleh karena, masalah Jerusalem hingga kini belum selesai. Paling tidak ada empat pendapat tentang status hukum Jerusalem. Pertama, Jerusalem barat berada di bawah kedaulatan Israel karena direbut pada Perang 1948. Kedua, kedaulatan atas Jerusalem masih ditunda, dan belum ditentukan siapa yang berdaulat di bagian barat kota.
Baca Juga: Buku Trias Kuncahyono tentang Jerusalem
Masalah ini akan ditentukan dalam kerangka penyelesaian permanen antara Israel dan negara-negara Arab. Ketiga, rakyat Palestina memiliki kedaulatan yang sah atas Jerusalem barat sejak berakhirnya Mandat Inggris (1948).
Keempat, menurut Resolusi Majelis Umum (MU) PBB No 181, Tahun 1947 (Partition Plan) status kota itu (termasuk Bethlehem) sebagai corpus separatum (bagian terpisah) dengan pemerintahan internasional di bawah bantuan PBB (Shmuel Berkowitz; 2018).
Dari sini, jelas keinginan Trump menjadikan Jerusalem ibu kota utuh Israel, bertentangan dengan resolusi PBB, sekalipun itu ”hanya” Jerusalem barat. Meskipun, Knesset Israel secara sepihak memutuskan Jerusalem ibu kota Israel pada 1949, lalu ditegaskan lagi tahun 1950.
Sementara Jerusalem timur direbut Israel dalam Perang Enam Hari 1967. Pada akhir Juni 1967, Israel menerbitkan UU (UU 5727-1967),yang menyatukan kedua Jerusalem—barat dan timur—sebagai bagian tak terpisahkan. Lalu 1980, mengesahkan UU 5740-1980 yang menyatakan, ”Jerusalem, seluruhnya, dan bersatu” adalah ibu kota Israel. Sementara, ibu kota Palestina ditawarkan di Abu Dis, pinggiran Jerusalem timur.
Dengan rencana seperti itu, Trump yang mempertanyakan konsensus internasional tentang isu status final, tak memasukkan lagi Jerusalem sebagai isu yang harus diselesaikan. Maka, beberapa waktu lalu, ia memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem.
Dari satu isu saja—Jerusalem—Deal of the Century yang diprakarsai Trump sudah pasti akan memunculkan persoalan pelik. Belum lagi isu lain, yakni menyangkut situs suci Temple Mount atau al-Haram al-Sharif, situs tersuci ketiga bagi umat Islam, di Kota Lama Jerusalem, disebutkan akan dikelola Israel. Demikian juga teritorial udara Palestina berada di bawah kontrol Israel. Sementara itu, sebagai kerugian atas diambilnya sebagian wilayah Tepi Barat, Palestina akan mendapatkan bagian Gurun Negev (Spiegel International, 1/2/2020).
Dari satu isu saja—Jerusalem—Deal of the Century yang diprakarsai Trump sudah pasti akan memunculkan persoalan pelik.
Kebijakan likuidasi
Pemerintah AS, memang, belum mengeluarkan secara rinci isi dari Deal of the Century. Namun, andai kata yang beredar selama ini benar, masyarakat dunia tak akan menjadi saksi adanya solusi damai bersejarah, yang bisa diterima kedua pihak: Israel dan Palestina. Yang akan disaksikan adalah sebuah usaha untuk melikuidasi, menghapuskan isu Palestina.
Maka, tak berlebihan kalau Deal of the Century, bukanlah sebuah ”perjanjian” (deal), antara dua pihak—Israel dan Palestina—melainkan sebuah ekspresi kekuasaan arogan AS-Israel (Trump-Netanyahu). Selain itu, deal itu juga sebuah usaha memaksakan pendudukan/penjajahan Israel atas wilayah Tepi Barat yang subur, dan yang lebih penting lagi adalah usaha untuk mengakhiri isu Palestina.
Seperti kata-kata bijak lama, ”orang tidak hidup dari roti saja”, demikian pula rakyat Palestina kiranya tidak akan mau bahwa kemerdekaan, kedaulatan, dan martabat mereka ”hanya” ditukar dengan bantuan ekonomi seperti yang dijanjikan AS.
(Trias Kuncahyono
Peneliti Masalah-masalah Internasional dari Middle East Institute, Jakarta)