Dalam struktur ketimpangan yang kompleks itu, bagaimana kita bisa membicarakan kelas menengah dan demokrasi? Inilah tantangan yang dihadapi pemerintahan Jokowi saat ini, dan tampaknya belum jadi prioritas kebijakannya.
Oleh
Ichlasul Amal
·4 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Ribuan pencari kerja memenuhi lantai satu perbelanjaan Blok M Square, Jakarta, Selasa (19/11/2019).
Kelas menengah menjadi topik penting dalam agenda penguatan demokrasi, tetapi pembicaraan tentang hubungan keduanya sering kali berakhir dengan kesimpulan yang ambigu dan tak menentu.
Dalam sejarah feodalisme Eropa, konsepsi kelas menengah merujuk pada kelas pedagang, yaitu kelompok masyarakat baru yang independen dan relatif tak terikat pada raja atau bangsawan. Ini berbeda dengan kelas petani yang kehidupannya bergantung pada raja karena tanah yang digarapnya milik raja/bangsawan dan hasil buminya pun diserahkan kepada mereka.
Struktur sosio-politik feodalisme ini berubah pada abad ke-13 ketika para bangsawan/baron yang terlilit utang, dengan didukung oleh rakyatnya, melakukan pemberontakan kepada Raja John yang dianggap lalim. Raja tak lagi bisa mengenakan pajak kepada para baron dengan semena-mena. Pada saat itulah berkembang gagasan no tax no vote yang diberlakukan terhadap kelas pedagang yang mendukung para baron.
Dalam kondisi ini, lahirlah perjanjian Magna Charta yang menjadi dokumen awal perlindungan HAM dan mengubah bentuk pemerintahan di Inggris menjadi monarki konstitusional. Perjanjian ini juga menjadi prototipe lahirnya parlemen yang saat itu para anggotanya adalah para bangsawan dan orang-orang kaya.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Pertemuan Kadin yang bertemakan ”Merajut Kebersamaan untuk Indonesia Damai” di Jakarta, Selasa (23/4/2019).
Seiring dengan revolusi industri abad ke-18, kaum buruh yang saat itu sangat signifikan jumlahnya mulai masuk di parlemen dan berkembang gagasan tentang pentingnya kelas menengah bagi demokrasi.
Bagaimana kondisi kelas menengah sekarang ini di Amerika Serikat dan Eropa Barat yang mengagung-agungkan demokrasi liberal dan pasar bebas? Nyatanya, dalam kondisi globalisasi ekonomi, mereka tak bisa sepenuhnya mempertahankan pilar liberalisme dan pasar bebas.
Mereka justru sering menerapkan ekonomi yang tertutup dan proteksionis, terutama seiring bangkitnya populisme sayap kanan. Seperti dikatakan John Marsheimer (2019) dalam Bound to Fail: The Rise and Fall of Liberal International Order, kedua pilar itu memang tidak selamanya bertahan.
Sekarang ini, kelas menengah di Amerika dan Eropa banyak yang tak puas dan melakukan protes karena kesulitan mendapatkan pekerjaan dan kondisi kerja yang semakin buruk. Ini seiring dengan kemajuan teknologi otomatisasi dan artificial intelligence (AI).
Dalam laporannya tentang ketimpangan pendapatan di negara-negara maju, Bank Dunia menyatakan, ”Globalization also went hand-in-hand with the rapid adoption of new technologies which may have penalized those workers who did not have the necessary skills to use them effectively.”
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Hunian semipermanen memenuhi tepian sisi timur Waduk Pluit di Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (16/1/2020). Badan Pusat Statistik ( BPS) mencatat, angka kemiskinan di Indonesia pada September 2019 mencapai 24,79 juta orang atau 9,22 persen dari jumlah penduduk.
Dengan kata lain, ketimpangan pendapatan akan kian ditentukan oleh mereka yang menguasai teknologi dan yang tidak. Akibatnya, kelas menengah model ini relatif tidak lagi berkaitan dengan tingkat demokrasinya.
Dengan kata lain, ketimpangan pendapatan akan kian ditentukan oleh mereka yang menguasai teknologi dan yang tidak.
Kondisi faktual
Lalu, bagaimana dengan kondisi kelas menengah Indonesia sekarang, khususnya pada era Jokowi? Memang, jumlah kelas menengah Indonesia meningkat luar biasa seiring turunnya tingkat kemiskinan 15 tahun terakhir (Bank Dunia, 2017). Bahkan, dalam periode pemerintahan Jokowi pertama, angka kemiskinan turun menjadi satu digit. Tetapi angka-angka statistik ini berbeda jauh dengan kondisi faktualnya.
Dalam satu dasawarsa terakhir, misalnya, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 20 persen warga terkaya, sementara 80 persennya, sekitar 205 juta orang, tak banyak mengalami perubahan. Angka ketimpangan juga meningkat lebih cepat dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia. Ketimpangan juga terjadi antardaerah, baik kabupaten maupun provinsi, yang tidak hanya memengaruhi pelaksanaan otonomi daerah, tetapi juga sebaran kelas menengah yang Jakarta-sentris.
Memang, Indonesia memiliki angkatan kerja yang besar, sekitar 133 juta. Namun, dari jumlah itu, 6,87 juta masih menganggur, 56 juta pekerja formal, 70 juta pekerja informal (BPS). Tentu saja ada banyak faktor yang memengaruhi kondisi ini, di antarnya tidak sambung antara lapangan pekerjaan dan jumlah tenaga kerja, sebaran lapangan kerja yang hanya di kota-kota besar, kemajuan teknologi, serta keterampilan yang tak sesuai dengan dunia kerja dan lainnya.
Dalam struktur ketimpangan yang kompleks itu, bagaimana kita bisa membicarakan kelas menengah dan demokrasi? Inilah tantangan yang dihadapi pemerintahan Jokowi saat ini, dan tampaknya belum menjadi prioritas kebijakannya.
Upaya seperti dana desa untuk mengurangi ketimpangan di wilayah rural memang patut diapresiasi meskipun dampaknya masih belum terlihat. Sebelum persoalan kesenjangan sosial ekonomi ini diatasi secara faktual, jangan mengharapkan adanya peran politik yang substansial dari kelas menengah Indonesia bagi penguatan demokrasi.
(Ichlasul Amal,Pengajar Departemen Hubungan Internasional, UGM dan Universitas Guna Dharma Jakarta)