Kadang-kadang, saya suka kelihatan pintar. Misalnya, beberapa bulan lalu, ketika lagi mencari tema untuk tulisan tentang Bali, tiba-tiba tebersit ide yang, wah! menarik: saya akan berbicara tentang Jero Gede Mecaling.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Siapa gerangan Jero Gede Mecaling itu? Seorang ”monster” bertaring dalam bentuk gaib yang anak-buahnya konon mendarat di Bali setiap tahun dari Pulau Nusa Penida, pada awal musim hujan, dengan tujuan tunggal: menebarkan maut sebagai tumbal buat Jero Gede. Maka korban-korban berjatuhan. Grubug namanya: orang bertumbangan mati, atau mencret sampai seisi tubuhnya habis. Pendeknya grubug itu adalah penyakit maut.
Bagaimana penduduk melawan grubug? Secara tradisional: dengan membentengi Bali dengan altar-altar berisi sesaji untuk Jero Gede, serta dengan menyelenggarakan pembersihan ritual, antara lain ”tarian” Calon Arang, di mana Barong selalu, pada akhirnya, berhasil memulihkan kestabilan dunia—paling sedikit menanti grubug tahun-tahun berikutnya.
Menarik, kan? Tetapi, saya tidak menceritakan kemahadahsyatan teror yang selalu menyertai grubug itu, kadang-kadang selama berbulan-bulan. Saya juga tidak menjelaskan bahwa begitu teror merebak, ada cara ”pembersihan” yang lain: ”leyak-leyak” dibunuh dengan keji karena sihirnya diduga menjadi penyebab grubug.
Pendeknya saya mengisahkan cerita Jero Gede Mecaling karena saya mengira tidak mungkin terjadi lagi: manusia sudah menjadi rasional, pikir saya. Kedokteran modern sudah berhasil menaklukan wabah mematikan masa lalu. Tak perlu lagi khawatir! Grubug adalah bagian dari sejarah.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Suasana di terminal keberangkatan internasional Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Selasa (4/2/2020). Pemerintah menghentikan sementara penerbangan langsung dari dan ke daratan China mulai Rabu (5/2/2020) terkait kesiagaan di tengah penyebaran virus korona tipe baru.
Ternyata saya keliru. Grubug telah kembali meski belum melanda Bali. Nama grubug ini: virus korona. Yang jumlah korbannya membeludak, dari China ke Eropa, Amerika dan seluruh dunia. Tidak mengherankan apabila ketakutan dan teror merajalela kembali seperti dahulu kala.
Dengan teror virus korona ini, apakah tukang sihir yang kini dijadikan tumbalnya? Tidak. Apakah orang Yahudi, seperti pada waktu wabah pes pada masa pertengahan Eropa? Tidak!!! Manusia kini memang tidak berbeda dengan manusia pra-modern: dia tetap mempererat ”barisan” lingkungan asal dan mencari tumbal. Tetapi dia menjadi primer dalam kerangka realitas kekinian baru, yang dicirikan oleh persaingan global, terutama antara Amerika dan China. Virus korona memberikan warna rasial pada politik dan mempertajam prasangka-prasangka yang sudah ada.
Misalnya bermula dari kenyataan bahwa orang Amerika kini cenderung menghindari Pecinan dan menjauh dari warga China, muncul tuduhan rasialisme terhadap mereka (kadang real juga). Serentak dengan itu Pemerintah Amerika menutup pintunya bagi warga China dengan menyiratkan bahwa China tidak mampu menanggulangi virus korona. Sementara terdengung balik berbagai teori komplotan yang seru: virus korona konon sengaja dimasukkan di China oleh oknum Amerika untuk memukul saingan globalnya secara telak; bahkan ada pihak yang sampai melemparkan tuduhan bahwa virus korona khusus diciptakan oleh Amerika ”karena kita semua secara DNA adalah keluarga Haplogroup O, keturunan yang sedarah dengan nenek moyang dari China; karena orang Barat takut dengan kita, bangsa Asia Timur”.
Manusia lebih cepat percaya pada Jero Gede Mecaling daripada pada solidaritas global.
Tuding-menuding semacam ini sangat berbahaya, apalagi ketika meresapi kalangan-kalangan yang semakin meluas, seperti terjadi hari-hari ini. Namun, krisis ini juga mengandung pelajaran: reaksi kita menunjukkan bahwa kita ini tidak lebih rasional daripada manusia Bali pra-modern di atas: kita, sebagai manusia tetap menjadi makhluk yang rada bodoh dan primer: tidak mampu menghadapi bahaya global secara global. Hutan terbakar, tetapi kita tetap berlindung di sarang kita masing-masing.
Lebih jauh, apa pun jumlah korban, reaksi primer terhadap krisis virus korona ini membuat kita dihadapkan pada realitas tantangan masa depan: apakah kelak, dua puluh atau lima puluh tahun ke depan, ketika masalah ekologi akan jadi masalah pokok manusia—kemelut air, kenaikan air laut, pengeringan gletser Himalaya—apakah kita akan terus bertikai tanpa menyadari bahaya membayangi kita.
Atau apakah kita akan mampu menciptakan solidaritas global yang diperlukan. Izinkanlah saya untuk pesimis: manusia lebih cepat percaya pada Jero Gede Mecaling daripada pada solidaritas global. Jangan-jangan manusia siap menggali kuburnya sendiri.