Indeks intoleransi masyarakat Indonesia terus naik. Parameter yang ada menunjukkan, Indonesia rentan dan mudah ”digoreng” untuk aneka kepentingan politik.
Oleh
·2 menit baca
Laporan mengenai intoleransi di negeri ini dimuat Kompas, 16 November 2017. Lebih dari dua tahun kemudian, harian ini melaporkan pula tindakan intoleransi masih terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, intoleransi di sejumlah daerah itu merepresentasikan relasi kuasa yang tak seimbang, berbasis sentimen agama. Umat beragama apa pun rentan menjadi korban dari tindakan intoleransi itu (Kompas, 3/2/2020).
Intoleransi yang terjadi di masyarakat tidak hanya berbasiskan agama, tetapi juga suku, ras, dan antargolongan. Tindakan intoleransi bisa terjadi saat dirasakan ada kesenjangan dalam bidang ekonomi atau ketimpangan dalam akses kesejahteraan sosial dan bidang kehidupan lain. Salah satu cara menekan sikap intoleransi adalah mewujudkan keadilan. Namun, tak mudah mewujudkan keadilan itu.
Apalagi, seperti dilaporkan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2019, demokrasi terkait dengan toleransi. Indeks demokrasi Indonesia tahun lalu, dari 165 negara yang dinilai, cenderung stagnan, dengan angka aspek kebebasan sipil 5,59 dalam skala 10. Kian mendekati nilai 10, berarti kian baik kondisinya.
Kebebasan sipil terkait indikator toleransi dan kebebasan beragama, serta diskriminasi berbasis agama dan rasial. Empat aspek yang dinilai adalah pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, serta budaya politik.
Temuan EIU senada dengan hasil Pew Research Centre yang menunjukkan, sejak tahun 2007 tingkat intoleransi masyarakat Indonesia cenderung naik. Indonesia rentan terhadap radikalisme pula. Laporan Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan 2018 dari Wahid Foundation memperlihatkan perusakan rumah ibadah adalah satu dari sepuluh tindakan intoleran yang menonjol, selain penutupan dan pembatasan.
Intoleransi bukan hanya persoalan Indonesia, melainkan juga bagi banyak negara lain, dan sudah berlangsung lama. Filsuf John Locke (1632-1704) tahun 1689 menuliskan buku berjudul A Letter Concerning Toleration, dan diikuti dengan buku kedua, A Second Letter Concerning Toleration, setahun kemudian.
Sejak tahun 2007 tingkat intoleransi masyarakat Indonesia cenderung naik.
Toleransi, berasal dari bahasa Latin, tolerare, berarti ’dengan sabar membiarkan sesuatu’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi dari kata toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya). Toleransi membutuhkan kesabaran, dan kita tidak boleh lelah menyuarakan dan memperjuangkan agar toleransi itu terwujud di negeri ini.
Bagi Indonesia, membangun toleransi antarwarganya tentu tidak mudah. Bangsa ini terdiri atas sekitar 265 juta orang, yang berbeda-beda agama, ras, suku, bahasa, tingkat ekonomi, atau pendidikannya.
Namun, pendiri bangsa membuat kesepakatan luar biasa, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika: berbeda-beda, tetapi tetap satu jua. UUD 1945 menegaskan agar bangsa ini bersatu dan toleran pula. Oleh karena itu, menjadi tugas siapa pun warga bangsa untuk melawan intoleransi.