Saya terharu membaca artikel Kompas (Minggu, 19/1/2020) berjudul ”Eureka Teh Nusantara”. Apresiasi saya setinggi-tingginya atas inisiatif Kompas mengutus Ekspedisi Teh Nusantara menyusuri Jawa dan Sumatera.
Saya mengawali karier di Sumatera Utara di perkebunan teh Marjandi, Kabupaten Simalungun. Tanggal 28 September 1958 saya nyaris ditembak pemberontak PRRI karena tidak mau memberikan dana dari hasil penjualan teh Marjandi. Pada 16 November 2017 saya mendapat penghargaan sebagai Perintis Perkebunan Indonesia dari Dewan Teh Indonesia.
Karier saya di lingkungan teh berlanjut sebagai administratur perkebunan Sidamanik awal 1960-an. Di sinilah saya berkenalan dengan PM Djuanda dan kemudian Menteri Perkebunan Drs Frans Seda. Beberapa kebun teh di Sumatera menghasilkan Sumatera Supreme Tea yang mendapat peringkat premium di pasar Eropa. Ada lagi teh superior dari kebun Kayu Aro milik HVA di Sumatera Barat. Setelah dinasionalisasi, ternyata kader-kader Indonesia mampu mengelola.
Sayang, belakangan ini kebun-kebun teh banyak dikonversi menjadi kebun kelapa sawit. Inilah sebabnya mengapa kita tidak menghasilkan lagi superior tea, baik dari Jawa maupun Sumatera. Padahal, milenial mulai gemar minum teh mahal dan barista teh bermunculan. Kalau dulu kita terkenal sebagai eksportir teh, sekarang kita menjadi importir teh dari Vietnam, Kenya, dan Sri Langka.
Kejayaan teh bisa dipulihkan dengan menganggap teh sebagai produk superior bermerek. Kemudian, meningkatkan riset teh organik sehingga penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk kimia bisa dikurangi. Kembalikan pola teh petik tangan untuk mendapatkan teh yang berkualitas tinggi. Sementara pemetikan, fermentasi, pengolahan, dan pemrosesan disesuaikan dengan selera konsumen.
Lakukan peremajaan dengan varietas-varietas berproduktivitas tinggi dan menghasilkan teh superior. Misal teh Nepal yang sekarang menyaingi teh Darjeeling. Rakyat Kenya dan India bisa menjadi model pengelolaan kebun teh berbasis aplikasi. Namun, yang paling penting tentu saja adalah political will dari pemerintah.
SOEDJAI KARTASASMITA Jalan Iskandarsyah II Jakarta Selatan
Gejolak Harga Minyak Mentah
Harian Kompas, 13 Januari 2020, memberitakan ”Antisipasi Gejolak Harga Minyak Mentah”. Disebutkan, harga minyak mentah Brent menyentuh 68,91 dollar AS/bbl (hampir 70 dollar AS/bbl). Hal ini akibat timbulnya gejolak di Timur Tengah, antara lain, konfrontasi Iran dan Amerika Serikat. Padahal, konfrontasi baru sedikit dan belum terjadi total. Apalagi jika terjadi skala konfrontasi yang lebih gawat, harga minyak mentah akan melonjak.
Dari dahulu Timur Tengah selalu dilanda konflik dan anehnya kita selalu membeli minyak mentah dari Timur Tengah. Kita selalu pasrah pada gejolak yang terjadi. Ujung-ujungnya, jika ada gejolak, defisit dan subsidi BBM naik. Untuk menghindari gejolak di Timur Tengah, kita bisa membeli minyak mentah yang lebih aman, stabil, dan tidak terombang-ambing politik kawasan dengan membeli dari lokasi lain, misalnya Rusia.
Keuntungannya, sumber minyak mentah lebih aman dan stabil, jarak dari timur Rusia/Vladivostok ke Indonesia lebih dekat, harga bisa lebih murah, dan spesifikasi lebih baik dari eks Timur Tengah. Kadar belerang rata-rata rendah, di bawah 1.0 persen wt, sedangkan eks Timur Tengah 2.0-3.0 persen wt. Untuk kilang Tuban akan lebih baik jika dipasok minyak mentah dari Rusia yang bisa langsung diangkut memakai tanker dari Vladivostok ke Tuban, dengan rute lebih aman dan stabil. Demikian sebagai masukan.
A SOERITNO Rawamangun, Jakarta 13240