Kebangkitan Film Indonesia
Dengan kualitas dan kreativitas pelaku industri film Indonesia, kita harus yakin bahwa Indonesia bisa mengikuti kisah sukses Korsel. Sebagaimana hasil studi SMRC, anak muda Indonesia menyukai film nasional.
Industri film dunia diberitakan sedang mengalami kejayaan tertinggi dalam sejarah. Pada 2019, angka penjualan tiket global mencapai rekor tertinggi 42,9 miliar dollar AS atau sekitar Rp 595 triliun. Angka ini setara dengan seperempat APBN kita.
Angka tersebut baru merujuk pada pembelian tiket bioskop. Belum merujuk pada pemasukan untuk industri film dari berbagai outlet lain, seperti hak tayang di televisi teresterial, televisi berbayar, jasa video online, dan DVD.
Apakah perkembangan ini memiliki nilai penting bagi kita? Jawabannya: tergantung Indonesia. Kita harus menentukan apakah akan sekadar menjadi pasar atau menjadi pemain aktif.
Dominasi Hollywood dalam industri film global sudah sangat dikenal. Bisa dibayangkan bahwa dari Rp 595 triliun di atas, sebagian besar mengalir ke Amerika Serikat. Pasar dunia memang dikuasai oleh film-film AS, sementara industri film domestik tenggelam.
Kita harus menentukan apakah akan sekadar menjadi pasar atau menjadi pemain aktif.
Namun, Indonesia menunjukkan perkembangan menarik. Tahun lalu, industri film nasional juga mencapai pertumbuhan tertinggi dalam sejarah film nasional. Pada 2019 terdapat 53 juta tiket film nasional yang terjual. Kalau diasumsikan rata-rata harga tiket adalah Rp 40.000, nilai penjualan tiket film nasional mencapai Rp 2,12 triliun.
Indikator kecemerlangan industri film nasional juga terlihat dari pencapaian lain: untuk pertama kali terdapat 15 film nasional yang penjualan tiketnya mencapai lebih dari 1 juta. Peringkat pertama diduduki film cinta remaja, Dilan 1991, dengan penjualan tiket mencapai 5.253.411.
Dua studi yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tahun lalu juga menunjukkan temuan penting. Studi September 2019 di 103 kabupaten/kota di Indonesia menunjukkan 9,3 persen masyarakat Indonesia berusia 17 tahun ke atas menonton film nasional di bioskop; hanya 8,2 persen yang menonton film asing di bioskop.
Dalam studi yang sama ditemukan bahwa segmen utama penonton film adalah kaum muda. Misalnya, sementara 36 persen anak muda berusia 17-21 tahun menyatakan menonton film nasional; hanya 6 persen dari mereka yang berusia di antara 41-55 menyatakan menonton film nasional.
Studi SMRC pada Desember 2019 memberikan gambaran tentang pola menonton di kalangan muda. Studi dengan responden anak muda berusia 15-39 tahun di 16 kota besar di Indonesia itu menunjukkan bahwa 67 persen menonton film nasional, sementara hanya 55 persen yang menonton film asing.
Ini tidak berarti bahwa film domestik sudah mengalahkan Hollywood di pasar Indonesia karena film Indonesia "baru" mencapai 35 persen pangsa pasar nasional. Sebanyak 65 persen masih film asing.
Sekilas terkesan ada ketidakkonsistenan antara hasil survei SMRC dan data market share. Merujuk pada data nasional, mungkin saja hanya 8,2 persen warga Indonesia yang menonton film asing. Namun, frekuensi menonton film asing selama setahun terakhir jauh lebih banyak daripada film nasional.
Tanda mencerahkan
Bagaimanapun, kita melihat ada tanda mencerahkan dari data ini. Pertama, market share film nasional bisa mencapai 35 persen adalah petunjuk sehat. Di Asia, hanya empat negara (China, India, Jepang, dan Korea Selatan) yang film lokalnya menguasai lebih dari 50 persen market share. Yang lain jauh di bawah 30 persen. Negara Eropa pun, market share film lokalnya jauh di bawah 30 persen.
Kedua, bahwa jumlah mereka yang datang ke bioskop dan membeli tiket film nasional lebih besar daripada yang membeli tiket film asing menunjukkan bahwa film Indonesia sudah berpotensi menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Data penonton ini penting karena sebelumnya tumbuh skeptisisme tentang kemampuan film nasional menghadapi serbuan Hollywood (dan mungkin juga Korea Selatan). Ada kecemasan bahwa anak muda Indonesia yang tumbuh dalam era keterbukaan informasi tidak lagi tertarik dengan film lokal. Tanpa penonton, film Indonesia diramalkan akan hancur.
Skeptisisme ini bukan tanpa alasan. Film nasional sempat dikhawatirkan bangkrut 5-9 tahun lalu. Pada 2011, tidak ada satu pun film nasional yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta. Pada 2015 hanya ada tiga film yang masuk kategori itu. Namun, kemudian setelah itu pergerakan film nasional mengalami percepatan. Pada 2019 ada 15 film yang penjualan tiketnya lebih dari 1 juta.
Walau barangkali sumbangannya bagi sektor ekonomi keseluruhan relatif kecil, industri film selalu dipandang sebagai sektor strategis suatu negara. Siklus hidup film relatif panjang. Film Charlie Chaplin, yang diproduksi hampir seabad lalu, saat ini masih bisa dijual dalam beragam format. Biaya pembangunan industri film relatif kecil, tidak membutuhkan modal raksasa. Sektor ekonomi kreatif digambarkan sebagai sektor padat ide, bukan padat modal.
Film nasional sempat dikhawatirkan bangkrut 5-9 tahun lalu.
Biaya terbesar yang harus diemban produser adalah produksi kopi master. Setelah itu, penambahan biaya untuk penggandaan relatif murah. Elastisitas permintaan terhadap produk film pun tinggi. Selama mampu membayar tiket, konsumen bisa saja menyaksikan film di bioskop 3-4 kali dalam sebulan.
Namun, yang juga penting adalah film disebut sebagai intangible product yang memengaruhi nilai, cara berpikir, gaya hidup, pemikiran khalayak. Film adalah sebuah industri kebudayaan: industri yang memproduksi budaya.
Korsel adalah negara yang menyadari keunggulan sektor ekonomi kreatif. Pemerintah negara ini berkomitmen menjadikan Korsel sebagai kekuatan utama industri budaya global sejak 20 tahun lalu saat pasar film domestik dikuasai Hollywood. Kini kerja keras mereka membuahkan hasil. Jumlah penduduk Korsel "hanya" 51 juta, tetapi jumlah tiket film nasional yang terjual lebih dari 114 juta, film asing hanya 105 juta.
Lebih dari itu, film-film Korsel pun mengalir ke seluruh dunia. Film Parasite (2019) memperoleh begitu banyak penghargaan di ajang festival internasional. Pemasukan total dari pasar di seluruh dunia mencapai 160 juta dollar AS, dengan 31 juta dollar AS dari pasar AS. Melalui Netflix, televisi berbayar, dan rantai bioskop CGV, penonton di Indonesia dengan mudah mengakses dan menjadi fans film-film Korsel.
Belajar dari Korsel
Indonesia bisa berkaca pada pengalaman Korsel. Indonesia bisa saja mengabaikan upaya serius untuk membangun industri film nasional. Namun, harus diingat, industri film global, dengan beragam platformnya, akan terus tumbuh. Masyarakat akan terus menonton film. Film apa?
Bila Indonesia lalai dan membiarkan produk Hollywood dan Korsel (dan mungkin negara lain berikutnya) mendominasi tontonan kaum kelas menengah Indonesia, kita sebenarnya sedang membiarkan rupiah kita mengalir ke luar negeri. Ini bukan cuma soal tergerusnya kebudayaan lokal, melainkan juga kerugian ekonomi luar biasa.
Bila Indonesia lalai dan membiarkan produk Hollywood dan Korsel (dan mungkin negara lain berikutnya) mendominasi tontonan kaum kelas menengah Indonesia, kita sebenarnya sedang membiarkan rupiah kita mengalir ke luar negeri.
Dalam era ekonomi global saat ini, upaya proteksi dengan membatasi produk asing sama sekali tidak realistis. Memaksa gedung bioskop atau jasa televisi berbayar Indonesia atau penyedia jasa film internet memprioritaskan produk nasional, tidak bisa diterapkan kalau masyarakat tidak menganggap film nasional layak tonton.
Karena itu, jawabannya adalah membangun industri film nasional, sebagaimana yang dilakukan Korsel. Saat ini dengan 264 juta penduduk, jumlah tiket terjual di Indonesia hanya 151 juta. masih ada pasar potensial yang sangat luas untuk digarap industri film nasional.
Namun, upaya membangun film nasional ini hanya bisa dilakukan bila pemerintah berperan aktif. Industri kreatif Korsel tidak tumbuh pesat karena peran swasta semata. Pemerintah Korsel turun tangan, menyediakan dana besar, melibatkan pihak swasta untuk mendanai dan mendorong industri film, musik, drama televisi, agar bisa perkasa di pasar domestik dan pasar dunia.
Pemerintah belum hadir
Kehadiran pemerintah ini yang tidak terasa di Indonesia. Kebangkitan film Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh kreativitas, semangat, komitmen para pelaku industri. Sumbangan pemerintah lebih bersifat dukungan, semangat, doa dan dana tak seberapa.
Kehadiran pemerintah ini yang tidak terasa di Indonesia. Kebangkitan film Indonesia sepenuhnya ditentukan oleh kreativitas, semangat, komitmen para pelaku industri.
Dengan menyadari arti penting industri film dan sektor ekonomi kreatif lainnya, sudah saatnya pemerintah Jokowi memberi bantuan yang rentangnya bisa sangat luas: memberi keringanan pajak, menyelenggarakan rangkaian pelatihan, menyubsidi pembuatan film dengan standar mutu tertentu, membantu pendanaan dan memfasilitasi promosi film, mendanai pusat pendidikan perfilman, menyelenggarakan festival film berstandar internasional, membantu pengembangan tempat pemutaran film lokal di sejumlah daerah, menyubsidi pengembangan film daerah, dan mendanai penulisan skrip berkualitas.
Dengan kualitas dan kreativitas pelaku industri film Indonesia, kita harus yakin bahwa Indonesia bisa mengikuti kisah sukses Korsel. Sebagaimana hasil studi SMRC, anak muda Indonesia menyukai film nasional. Mereka menonton bukan karena nasionalisme, melainkan karena film Indonesia memang bagus.
Para pemodal dan pekerja industri film nasional sudah menjalankan peran mereka. Namun, perkembangannya kemudian tidak bisa diserahkan hanya pada pelaku industri dalam konteks mekanisme pasar. Yang ditunggu adalah kehadiran pemerintah.
(Ade Armando, Peneliti di Saiful Mujani Research and Consulting/SMRC))