Kemandirian NU dan Perdamaian Dunia
Sejarah membuktikan bahwa teologi Ahlissunnah wal-Jama’ah menjadi apa yang disebut sebagai ”strategi kebudayaan” sehingga NU menjadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20.
Sejak awal mula berdirinya, Nahdlatul Ulama sesungguhnya bukan semata berkonsentrasi pada pelaksanaan dan penguatan paham Ahlussunnah wal-Jama’ah. Lebih dari itu, NU dilahirkan dalam rangka penguatan gerakan ekonomi kerakyatan.
Penguatan ekonomi kerakyatan merupakan isu penting yang menjadi tonggak berdirinya NU. Adanya Nahdlatut Tujjar atau semacam serikat saudagar yang menjadi cikal bakal berdirinya NU adalah bukti nyata bahwa isu ekonomi tidak bisa dipandang sebelah mata.
Dalam konteks memelihara dan menguatkan paham Islam Ahlussunnah wal-Jama’ah, NU dengan tegas memandang hal itu sebagai persoalan penting yang harus dilakukan dalam konteks negara kita yang bineka. Sebab, paham Islam yang dikembangkan para wali itu sudah terbukti dan selalu teruji mampu menyangga keanekaragaman masyarakat Indonesia yang menjadi basis sosial bangsa dan negara Indonesia.
Strategi kebudayaan
Sejarah membuktikan bahwa teologi Ahlissunnah wal-Jama’ah menjadi apa yang disebut sebagai ”strategi kebudayaan” sehingga NU menjadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20. Di dalam gerakan yang dimotori oleh pendiri NU tersebut, isu utama yang menjadi ruh perjuangan adalah merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sekaligus memupuk kesetiaan kepada negara Indonesia.
Sejarah membuktikan bahwa teologi Ahlissunnah wal-Jama’ah menjadi apa yang disebut sebagai ”strategi kebudayaan” sehingga NU menjadi salah satu kekuatan non-koperasi dalam gerakan kebangkitan nasional di awal abad ke-20.
Dalam menjalankan pengabdian kepada bangsa sepanjang 94 tahun, NU tidak menuntut yang lain, selain sebagai manifestasi tanggung jawab sebagai warga negara.
Pasang surut gelombang perjuangan dan jalan berliku dalam mengawal tetap utuh dan tegaknya NKRI telah berhasil dilalui oleh NU. NU bukan saja ”muazin kebangsaan”, dalam konteks ini, melainkan juga menjadi penjaga shaf dan barisan agar proses berjemaah dalam bingkai berbangsa dan bernegara tetap lurus dan utuh.
Baca Juga: Refleksi 94 Tahun NU
Mengenai gambaran perjuangan NU, salah satu momen penting terjadi pada 1950 ketika ada fitnah besar melanda NU. GP Ansor sebagai badan otonom NU difitnah akan mendirikan negara Islam Indonesia.
Merespons hal itu, KH Mahrus Aly tegas menulis, ”NU tidak ada impian, apalagi niatan untuk membentuk negara Islam, seperti apa yang didesas-desuskan oleh nekolim dan antek-anteknya. NU tetap mempertahankan negara Pancasila sampai akhir zaman. Marilah kita tetap setia pada Pemimpin Besar Revolusi kita Bung Karno dan melaksanakan Pancar (Panca Azimat Revolusi). Semoga Allah SWT memberi taufiq dan hidayah-Nya, terutama kekuatan-Nya kepada kita sekalian. Amin!”
NU tetap mempertahankan negara Pancasila sampai akhir zaman.
Dengan mengacu kepada Khittah Nahdliyah yang menegaskan NU sebagai gerakan dakwah dan sosial keagamaan, pada masa ini dan masa mendatang, NU akan meneguhkan diri sebagai—meminjam istilah KH Said Aqil Siroj—syuhud tsaqafy atau gerakan kebudayaan.
Dengan strategi itu, perlu ditegaskan bahwa kelanjutan perjuangan pengabdian NU terhadap bangsa dan negara ini pada masa mendatang akan terus ditingkatkan untuk mendorong peneguhan persatuan bangsa dan penguatan kedaulatan negara di tengah benturan kepentingan antarbangsa. Kondisi global itu belakangan telah melahirkan kolonialisme (gaya baru), terutama di bidang ekonomi. NU juga ikut serta mengupayakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945.
Sebagaimana ditekankan di atas, peran NU diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik ataupun lembaga-lembaga penyelenggara negara. Kekuatan NU bertumpu pada tiga tataran, yakni paham Ahlussunnah wal-Jama’ah (di dalamnya antara lain ada fikrah nahdliyah yang melahirkan Islam moderat), nilai-nilai atau tradisi dan lembaga-lembaga budaya mulai dari pesantren, jaringan sekolah dan juga tarekat, serta jaringan struktur sebagai infrastruktur organisasi yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
Jaringan kekuatan tersebut sejauh ini efektif memainkan peran sebagai penyangga bangsa di luar lembaga-lembaga politik dan penyelenggara negara yang kita tahu belakangan ini mengalami kemerosotan legitimasi karena lemah dalam menjalankan fungsi pokoknya.
Sebagaimana ditekankan di atas, peran NU diletakkan sebagai kekuatan ketiga di luar lembaga-lembaga politik ataupun lembaga-lembaga penyelenggara negara.
Peran panjang NU
Sejarah mencatat, NU telah banyak berbuat untuk negeri ini. Sejarah panjang itu dimulai sejak NU berperan aktif merebut kemerdekaan, menyiapkan konstitusi serta mengisinya.
Sampai saat ini, NU tetap mandiri dalam mengelola pendidikan. NU juga mandiri dalam mengelola ekonomi. NU menghimpun ribuan petani dan nelayan. NU juga mandiri dalam membina lembaga dan kegiatan sosial. Dalam hal ini NU memiliki puluhan jemaah tarekat, jemaah pengajian. Semua itu dikelola secara mandiri, baik dari segi teknik maupun dana.
Pendek kata, NU telah berbuat banyak terhadap negara ini. Karena itu, sudah selayaknya semua pihak, terutama negara, mendukung seluruh agenda NU agar peran NU dalam menegakkan bangsa ini semakin besar. Spirit kemandirian itulah yang menjadi ruh dan semangat NU sehingga bisa tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Di pihak lain, bukti konkret komitmen NU terhadap gerakan ekonomi kerakyatan bisa kita temukan dalam Statuen NU fasal 3: ”mendirikan badan-badan untuk memajukan urusan pertanian, perniagaan, dan perusahaan yang tiada dilarang oleh syara”.
Mengenai salah satu tujuan didirikannya NU, yang berkonsentrasi untuk memberikan perhatian pada ekonomi kerakyatan tersebut tercantum dalam ekonomi kerakyatan ala NU, tentu saja menyangkut banyak bidang, seperti perdagangan, penyediaan barang dan jasa, dan tentu saja pertanian dan yang terakhir tentu saja kelautan.
Spirit kemandirian itulah yang menjadi ruh dan semangat NU sehingga bisa tetap berdiri kokoh hingga saat ini.
Pertanian terbesar
Sebagaimana ditegaskan oleh BPS, struktur penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan pada Agustus 2019 didominasi oleh tiga lapangan pekerjaan utama. Pertama, pertanian sebesar 27,33 persen. Kedua, perdagangan sebesar 18,81 persen. Ketiga, industri pengolahan sebesar 14,96 persen.
Isi rekomendasinya adalah memerintahkan kepada PBNU untuk melakukan serangkaian advokasi dan mendesak pemerintah untuk menciptakan keadilan ekonomi terutama pada sektor pertanian dan perdagangan.
Faktanya, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan pokok makanan. Ini adalah sebuah ironi yang menyedihkan.
Pada keadaan yang demikian sesungguhnya yang menjadi korban utama atas kebijakan impor bahan pangan adalah rakyat kecil. NU memiliki komitmen yang kuat untuk selalu menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan pemerataan ekonomi.
Faktanya, dengan komposisi penduduk yang sebagian besar memilih pertanian sebagai ladang mata pencarian, hari ini kita masih mengimpor pelbagai bahan pokok makanan.
NU dengan tegas menolak segala macam bentuk praktik kecurangan dalam mengelola sumber daya republik ini. Sebab, NU yakin, dengan semangat kemandirian yang kuat dan tatanan ekonomi yang adil, perdamaian bukan saja dapat diwujudkan di Indonesia, melainkan juga perdamaian dunia.
Atas dasar itulah, di Harlah Ke-94 NU—tepat hari ini, 31 Januari—tema yang diangkat adalah ”Kemandirian NU untuk Perdamaian Dunia”. Semoga cita-cita itu bisa kita wujudkan.
Selamat Harlah Ke-94 NU. Tetap tegak di atas kaidah Al-muhafadzotu alal qadimis sholih wal akhdzu bil jalidil ashlah (menjaga tradisi, menciptakan inovasi).
(A Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama)