Standar Pembuktian Kejahatan Kemanusiaan
Indonesia hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma 1998, UU No.26/2000 secara selektif hanya mengadopsi kriminalisasi terhadap dua jenis tindak pidana, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan.
Pembuktian kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi fokus bahasan karena kejahatan genosida—salah satu bentuk yurisdiksi pokok perkara (ratione materiae) pelanggaran HAM berat—mustahil dan tidak pernah terjadi di Indonesia terkait kejahatan pelanggaran HAM berat masa lalu yang disangkakan.
Dalam kejahatan genosida harus ada kesengajaan khusus (dolus specialis) berupa kesengajaan untuk menghancurkan atau memusnahkan (with intent to destroy) seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, atau kelompok agama (Schabas, 2016).
UU No 26/2000 sangat unik karena muncul dalam suasana reformasi/demokratisasi pasca-1998 dan bersamaan dengan pergolakan di Timor-Timur setelah jajak pendapat.
Tim investigasi PBB, yaitu Komisi Penyelidikan Internasional mengenai Timor-Timur (International Commission of Inquiry on East Timor/ICIET), menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM berat yang bersifat sistematik atau meluas dan direkomendasikan untuk diadili melalui tribunal khusus.
Untuk itu, Indonesia dengan gigih menolak pengadilan ad hoc internasional dan menyatakan kesanggupan dan kemampuan (willingness and ability) untuk mengadili sendiri, dengan standar internasional.
Menggantikan Perppu No 1/1999 yang ditolak DPR, kemudian diundangkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengandung sekaligus 2 (dua) dimensi yurisdiksi yang berkaitan dengan waktu (ratione temporis), yaitu di samping untuk mengadili kasus-kasus yang terjadi sebelum UU No 26/2000 diundangkan (26 November 2000), yang bersifat ad hoc dan dapat berlaku surut (retroactive) untuk perbuatan dengan locus dan tempos tindak pidana tertentu, sekaligus juga dapat didayagunakan untuk mengadili kasus-kasus atau permanen yang terjadi setelah UU No 26/2000 diundangkan.
Untuk itu, Indonesia dengan gigih menolak pengadilan ad hoc internasional dan menyatakan kesanggupan dan kemampuan (willingness and ability) untuk mengadili sendiri dengan standar internasional.
Perumusan UU No 26/2000, khususnya terhadap pengadilan HAM yang non-ad hoc, mengacu pada Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC) dan untuk pengadilan yang bersifat ad hoc banyak mengikuti ketentuan beberapa tribunal pidana internasional yang dibentuk Dewan Keamanan PBB.
Salah satu persamaan antara pengadilan dengan pola ad hoc dan pola non-ad hoc adalah kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak kadaluwarsa penuntutan (non-applicability of statute of limitation).
Mengingat Indonesia hingga kini belum meratifikasi Statuta Roma 1998, UU No 26/2000 secara selektif hanya mengadopsi kriminalisasi terhadap dua jenis tindak pidana, yaitu kejahatan genosida (crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan mengesampingkan kejahatan perang dan kejahatan agresi.
Kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan, atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu—persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya agama, jenis kelamin—atau alasan lain yang diakui universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; penghilangan orang secara paksa; atau kejahatan apartheid.
Target pembuktian
Pembuktian memiliki posisi strategis dalam pemeriksaan perkara di pengadilan, yang menentukan keberhasilan penuntutan. Dengan alat-alat bukti limitatif yang ditentukan undang-undang dan didukung keyakinan hakim (negatief wettelijke bewijstheorie), yang harus dibuktikan secara sah dan meyakinkan (beyond a reasonable doubt) adalah pertama, unsur–unsur tindak pidana (actus reus) yang didakwakan yang didukung oleh alat-alat bukti: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa dan kedua, unsur kesalahan (mens rea) si pelaku.
Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, penyelidik dan penyidik harus mewaspadai, di samping pembuktian terhadap tindak-tindak pidana yang masih bersifat umum, kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakter elemen khusus.
Pelaku (perpetrator), walau tidak secara terperinci (details), harus tahu bahwa “salah satu perbuatan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang meluas (widespread) atau sistematik (systematic) yang ditujukan langsung terhadap penduduk sipil“.
Dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, penyelidik dan penyidik harus mewaspadai, di samping pembuktian terhadap tindak-tindak pidana yang masih bersifat umum, kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki karakter elemen khusus.
Di samping itu ada frasa yang hilang dalam UU No 26/2000 waktu dikutip dan diterjemahkan dari Statuta Roma 1998, Article 7 (2)(a) yang bunyinya “Serangan yang ditujukan pada (suatu) penduduk sipil” mengandung arti suatu rangkaian perbuatan yang melibatkan perbuatan pelaksanaan berganda terhadap (suatu) penduduk sipil yang didahului atau merupakan kelanjutan suatu kebijakan negara atau organisasional untuk melakukan serangan”.
Istilah organizational policy menunjukkan bahwa serangan dapat juga dilakukan oleh non-state actors. Contoh di Rwanda berupa suku Hutu. Di tempat lain berupa milisi.
Dengan demikian, harus dibuktikan bahwa kejahatan-kejahatan di atas dilakukan by design (terencana, meluas atau sistematik) oleh negara atau organisasi, tidak sekadar kejadian bersifat isolated, ad hoc, random, or single acts karena kesalahan prosedur misalnya.
Semua unsur tersebut harus dibuktikan dan kegagalan membuktikan elemen ini akan menyebabkan gagalnya mengategorisasikan tindak pidana sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan sehingga menjadi urusan Polri atau POM TNI, bukan pengadilan HAM.
Sistem peradilan pidana
Untuk kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ad hoc, apabila pembuktian dirasa cukup berhasil, Komnas HAM sebagai penyelidik dapat minta Kejaksaan Agung sebagai penyidik untuk meneruskan ke DPR. Atas rekomendasi DPR, presiden dapat mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk tempos dan locus tindak pidana tertentu.
Atas rekomendasi DPR, presiden dapat mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk tempos dan locus tindak pidana tertentu.
Apabila alat-alat bukti minimum cukup, koridor sistem peradilan pidana harus dibuka. Namun, bilamana Kejagung merasa pembuktian tidak cukup atau penghentian demi hukum, surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dapat diterbitkan (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Demikian pula untuk kasus-kasus non-ad hoc.
Dengan alasan yang sama, Kejagung dalam tahap penuntutan dapat mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2). Deponering demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung berdasarkan UU Kejaksaan tidak disarankan karena rawan politisasi.
Komnas HAM atas dasar Pasal 91 UU No 39/1999 tentang HAM juga memiliki instrumen untuk menghentikan pemeriksaan dan pengaduan KTK apabila tidak memiliki bukti awal yang memadai; materi pengaduan bukan pelanggaran HAM; pengaduan diajukan dengan itikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu; terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan; atau sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat diatur dalam Peraturan Tata Tertib Komnas HAM.
Yang penting segalanya harus berlandaskan asas peradilan yang adil (fair trial) yang mencakup persamaan di depan hukum dan hak untuk diadili secara adil dan terbuka untuk umum, di depan suatu pengadilan yang berwenang, independen dan tidak memihak.
(Muladi, Komisioner Komnas HAM 1993-1998; Menteri Kehakiman 1988-1999)