Bangga dan haru mendengar uji coba kapal selam buatan PT PAL, KRI Alugoro 405, di perairan Banyuwangi, dan Presiden Joko Widodo meninjaunya.
Oleh
·2 menit baca
Presiden meninjau kapal yang dibangun dengan bantuan teknis dari Korea ini pada Senin (27/1/2020). Dari sisi historis, penggunaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) kapal selam oleh TNI AL bukan hal baru. Setidaknya RI telah memulai mengoperasikan kapal selam pada dasawarsa 1960-an tatkala Indonesia mengimpor alutsista dalam jumlah masif dari (waktu itu) Uni Soviet dan sejumlah negara Blok Timur. Saat itu tidak kurang 14 kapal selam diakuisisi, di antaranya dari kelas Whiskey.
Namun, masa operasi kapal selam itu tidak lama. Setelah pergantian rezim di pertengahan 1960-an, berlangsung pergeseran alutsista dari Blok Timur ke Barat. RI mengoperasikan lagi kapal selam ketika pada tahun 1980-an membeli dua kapal selam dari Jerman, KRI Cakra dan KRI Nenggala. Dari sisi eksposur, kapal selam kalah populer dibandingkan dengan pesawat tempur.
Syukurlah di lingkungan Kementerian Pertahanan dan TNI lalu muncul pencerahan. Sebagai negara kepulauan dengan garis pantai 81.000 kilometer dan punya zona ekonomi eksklusif (ZEE) luas, serta perairan dua pertiga dari wilayah negara, kekuatan laut, termasuk kapal selam di dalamnya, tak bisa dilupakan.
Kita belajar dari falsafah pertahanan negara besar bahwa kekuatan harus bertumpu pada tiga pilar, yakni darat, laut, dan udara. Dalam sistem triad ini, kekuatan laut dengan unsur utama kapal selam bahkan jadi fokus utama, yakni saat kekuatan darat dan udara terpaksa hancur kena serangan musuh, kekuatan laut dalam wujud kapal selam masih leluasa mengembara di laut dalam dan siap membalas menyerang.
Diyakini bahwa kapal selam ampuh sebagai kekuatan penggentar (deterens). Menyadari pentingnya kapal selam dalam pertahanan, Singapura dan Malaysia pun lalu mengikuti jejak Indonesia. Singapura mengoperasikan empat kapal selam asal Swedia, dan Malaysia mengoperasikan dua kapal selam buatan Perancis. Vietnam, seperti disebut The Military Balance (IISS, 2019), mengoperasikan delapan kapal selam.
Mengingat perannya sebagai deterens dan fungsinya untuk patroli perairan, kita masih membutuhkan sejumlah kapal selam. Di sinilah kita garis bawahi pentingnya kemampuan industri pertahanan dalam negeri terus mengembangkan kemampuan dalam pembuatan kapal selam. Dalam kaitan ini kita apresiasi inisiatif memasukkan alih teknologi dalam pembuatan kapal selam. Setelah KRI Alugoro, kita berharap kapal selam berikut bisa sepenuhnya dibuat putra bangsa.
Peristiwa masuknya kapal pengawal pantai dan nelayan China di wilayah ZEE di Natuna membangunkan kita dari tidur dalam pembangunan kekuatan laut (dan udara) secara memadai. Kita berharap KRI Cakra, Nenggala, Nagapasa, Ardodedali, dan Alugoro tidak hanya dikenal dalam jagat pewayangan, tetapi juga merupakan wujud nyata komitmen kita untuk menjadi kekuatan maritim yang disegani.