Gizi Anak yang Memprihatinkan
Negara harus menempatkan gizi sebagai prioritas pembangunan. Kalau tidak, kita dengan sadar membiarkan generasi bangsa ini menjadi pecundang di Era Revolusi Industri 4,0 ini.
Tanggal 25 Januari, bertepatan dengan Imlek, Indonesia kembali memperingati Hari Gizi Nasional. Tema peringatan Hari Gizi Nasional Ke-60 pada tahun ini adalah ”Gizi Optimal untuk Generasi Milenial”. Sementara slogannya adalah ”Ayo, Jadi Milenial Sadar Gizi!”.
Dalam hal penanganan masalah gizi di Indonesia, saya mengubah sedikit slogan itu menjadi ”Ayo, Jadi Elemen Bangsa Sadar Gizi!”.
Mengapa? Saat ini, persoalan gizi di Indonesia (dan dunia) amat serius, tak kalah serius dari persoalan korupsi dan radikalisme, di antaranya stunting (tengkes) anak balita.
Tahun 2010, Sekjen PBB menginisiasi gerakan global Scaling Up Nutrition Movement atau SUN Movement. Ini merupakan dorongan global untuk memperbaiki gizi, terutama perempuan dan anak.
Serius, tetapi diabaikan
Kurang gizi, terutama tengkes pada anak balita, adalah salah satu masalah paling serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapat perhatian. Keseriusan masalah tengkes tentu saja terkait kerugian yang diakibatkan. Prevalensi tengkes pada anak balita Indonesia jauh di atas prevalensi rata-rata global (22,2 persen).
Kurang gizi, terutama tengkes pada anak balita, adalah salah satu masalah paling serius di dunia, tetapi paling sedikit mendapat perhatian.
Berdasarkan Laporan Riset Kesehatan Dasar (Kementerian Kesehatan, 2018), prevalensi rata-rata stunting di Indonesia adalah 30,8 persen. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ≤20,0 persen sebagai ambang batas (cut-off point) stunting. Artinya, apabila prevalensi stunting pada anak balita di suatu negara 20,0 persen atau di bawahnya, maka stunting bukan lagi masalah gizi dan negara itu dinyatakan bebas dari masalah stunting.
Dengan demikian, Indonesia harus menurunkan prevalensi stunting 10,8 persen (dengan target penurunan 2,8 persen pada tahun 2019). Itu pun harus disertai prevalensi anak balita kurus (wasting) ≤5,0 persen. Saat ini prevalensi anak balita wasting (kurus dan sangat kurus) adalah 10,2 persen.
Terkait dengan dampak kerugiannya, kita harus menyadari bahwa persoalan stunting pada anak balita bukan sekadar tubuhnya pendek, melainkan juga otaknya cetek (dangkal). Dampaknya secara ekonomi luar biasa karena generasi penerus kita menghadapi persaingan global.
Sebenarnya, walaupun agak terlambat, Indonesia menindaklanjuti Sun Movement dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Selanjutnya, pada 30 Oktober 2013, Presiden RI meluncurkan ”Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK)”.
Intervensi 100 kabupaten
Yang terakhir adalah pemerintah meluncurkan Program Seratus Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Intervensi itu dimulai di 100 kabupaten/kota tahun 2018 hingga menjangkau seluruh kabupaten/kota pada tahun 2021.
Terkait dengan dampak kerugiannya, kita harus menyadari bahwa persoalan stunting pada anak balita bukan sekadar tubuhnya pendek, melainkan juga otaknya cetek (dangkal).
Kata kunci bagi keberhasilan program ini adalah kesadaran bahwa masalah stunting adalah masalah bersama. Untuk mengatasinya, perlu menghilangkan ego sektoral penanganan masalah gizi.
Masalah gizi bukanlah masalah kesehatan semata. Juga bukan sekadar kekurangan asupan makanan dan status kesehatan. Itu hanya muara dari permasalahan di hulu, yaitu kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah.
Kemiskinan dan tingkat pendidikan terkait dengan kebijakan pengelolaan negara. Korupsi, misalnya, adalah biang kerok penyebab masalah gizi, khususnya pada anak balita.
Fakta ilmiah mengungkapkan kontribusi sektor kesehatan untuk memperbaiki status gizi masyarakat hanya 30 persen. Inilah yang dikenal sebagai intervensi spesifik. Upaya pembangunan gizi dengan berbagai program di sektor kesehatan hanya sanggup meningkatkan status gizi masyarakat 30 persen. Sisanya, sebesar 70 persen, adalah kontribusi sektor lain di luar sektor kesehatan (intervensi sensitif).
Sebagai contoh, menurut perkiraan WHO, 40 persen kasus gizi buruk pada anak balita di dunia adalah akibat buruknya akses ke air bersih. Seperti kita ketahui, penyediaan sarana untuk air bersih di Indonesia merupakan urusan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Instansi lain yang turut bertanggung jawab terhadap perbaikan gizi adalah Kementerian Pertanian, Sosial, Pendidikan, Perdagangan, Badan Ketahanan Pangan, dan industri pangan.
Sebagai contoh, menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 40 persen kasus gizi buruk pada anak balita di dunia adalah akibat buruknya akses ke air bersih.
Ego sektoral
Oleh karena itu, ego sektoral perlu ditinggalkan. Untuk itu, fungsi koordinatif harus dioptimalkan dan tertuang dalam rencana strategis pembangunan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Gubernur, bupati, dan wali kota menjadi koordinatornya.
Kepada penyelenggara negara, dari tingkat pusat hingga daerah, saya mengingatkan kembali anjuran Bank Dunia agar mereposisi gizi sebagai fondasi bagi pembangunan bangsa (Repositioning Nutrition as Centralto Development? A Strategy for Large-Scale Action, 2006). Inilah yang dikenal sebagai pembangunan berarus utama gizi. Setiap upaya pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya pada perbaikan gizi.
Bank Dunia juga menegaskan perlunya perubahan paradigma pembangunan dari perbaikan ekonomi mendahului perbaikan gizi (paradigma lama) menjadi perbaikan gizi mendahului perbaikan ekonomi (paradigma baru).
Akhirnya, sesuai imbauan saya melalui artikel saya pada harian Kompas (6/2/2016) perihal perlunya revolusi komitmen perbaikan gizi, saya kembali mengimbau semua penyelenggara negara agar memiliki kesadaran dan kepedulian (sense of crisis) bahwa persoalan kurang gizi adalah persoalan amat serius dan perlu penanganan bersama.
Negara harus menempatkan gizi sebagai prioritas pembangunan. Kalau tidak, kita dengan sadar membiarkan generasi bangsa menjadi pecundang di era Revolusi Industri 4.0 ini. Jangan kita mengamini warisan kemiskinan dan kebodohan ke generasi berikutnya (lost generation).
Bank Dunia juga menegaskan perlunya perubahan paradigma pembangunan dari perbaikan ekonomi mendahului perbaikan gizi (paradigma lama) menjadi perbaikan gizi mendahului perbaikan ekonomi (paradigma baru).
(Albiner Siagian, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara)