Robohnya gerakan mahasiswa menentang revisi UU KPK juga bukan melulu tindakan represif aparat penegak hukum, tapi karena efektifnya kuasa digital mendekonstruksi alam pikiran mahasiswa.
Oleh
Dedi Haryadi
·3 menit baca
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Pakar hukum dan pencucian uang Yenti Ganarsih (kanan) didampingi Tim Hukum DPP PDI Perjuangan Maqdir Ismail dan moderator Jeppri Silalahi (tengah) memberikan paparan dalam diskusi bertema "Ada Apa di Balik Kasus Wahyu?" di Jakarta Selatan, Minggu (19/1/2020). Diskusi membahas mengenai OTT komisioner KPU pada 8 Januari 2020. Dalam diskusi juga ditampilkan video CCTV saat KPK mendatangi kantor DPP PDI Perjuangan pada 9 Januari 2020.
Dekonstruksi dan rekonstruksi KPK sudah hampir selesai. Hasilnya, KPK 2.0 sesuai dengan UU No 19/2019. Kerangka kelembagaan dan tata kelola KPK 2.0 berbeda dengan KPK sebelumnya. Adanya dewan pengawas (dewas) jadi salah satu pembeda penting kelembagaan dan tata kelola KPK 2.0 dan KPK 1.0.
Dewas tidak hanya mengawasi kinerja dan kepatuhan komisioner KPK, tetapi juga pemberi izin (tertulis), yaitu izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan. Ini membuat KPK 2.0 lebih birokratis. Dampaknya mulai terasa. Gagalnya penggeledahan Kantor Pusat PDI Perjuangan (PDI-P) terkait operasi tangkap tangan (OTT) komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan dan kawan-kawan, merupakan konsekuensi langsung dari makin birokratisnya tata kelola KPK 2.0.
Selain dewas, dari Draf Peraturan Presiden tentang Struktur Organisasi KPK—yang belakangan tak diakui kalangan Istana sebagai pihak yang menerbitkan draf itu—komisioner KPK sekarang adalah pejabat setingkat menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dewas tidak hanya mengawasi kinerja dan kepatuhan komisioner KPK, tetapi juga pemberi izin (tertulis), yaitu izin penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan.
Sulit diharapkan KPK 2.0 bisa menjadi lembaga antikorupsi yang bebas dan mandiri dari pengaruh kekuasaan mana pun kalau setting kelembagaannya seperti ini. Menarik untuk melihat bagaimana peranan negara dan kuasa digital (digital power) dalam dekonstruksi dan rekonstruksi KPK tersebut.
Sebenarnya penggunaan media untuk mengonstruksi, dekonstruksi, dan rekonstruksi realitas sosial bukan hal baru. Tersedia dan berkembangnya media sosial (Twitter, Facebook, Instagram, dll) makin mempermudah lembaga/orang mengonstruksi, medekonstruksi, dan merekontruksi suatu realitas sosial sesuai agenda dan kepentingannya.
Namun, memang yang paling mudah melakukan proses itu secara sistematis dan terorganisasi tentu saja negara/pemerintah karena memiliki kewenangan dan sumber daya yang lebih dari cukup untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi apa saja.
Upaya dekonstruksi
Dalam konstelasi politik pilpres lalu, misalnya, kedua kubu sengit mengonstruksi, mendekonstruksi, dan merekonstruksi figur capres lawan dan capres masing-masing supaya nilai/daya jualnya semakin rendah/tinggi.
KOMPAS/SHARON PATRICIA
DPP PDI-P membentuk tim hukum sekaligus memberikan keterangan pers terkait upaya penyegelan dan penggeledahan kantor DPP PDI-P, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Di Jawa Barat, sejak lebih dari satu dekade lalu, kepala daerah juga memanfaatkan kuasa digital—dengan merekrut kelompok profesional—untuk membangun citra positif dan mengubur citra negatif. Berita atau opini negatif tentang kepala daerah ditenggelamkan.
Di Jawa Barat, sejak lebih dari satu dekade lalu, kepala daerah juga memanfaatkan kuasa digital—dengan merekrut kelompok profesional—untuk membangun citra positif dan mengubur citra negatif.
Sebaliknya berita atau opini positif didengungkan. Kelompok ini bukan bagian dari struktur organisasi pemda, melainkan jelas terkait dan bekerja untuk kepentingan kepala daerah. Biasanya mereka dibayar mengggunakan dana hibah APBD.
Berdasarkan pengalaman itu, analisis Drone Emprit yang menilai adanya kelompok pendengung (buzzer) yang sengaja mendekonstruksi KPK sebenarnya tak begitu mengherankan. Namun, memang Drone Emprit menyajikan data menarik bagaimana dekonstruksi dilakukan. Kelompok buzzer secara terorganisasi dan sistematis, dengan menggunakan medsos, khususnya Twitter, membentuk opini publik bahwa konstruksi KPK yang ada—berdasarkan UU No 30/2002—bermasalah dan perlu direkonstruksi.
KPK didekonstruksi sebagai lembaga yang: 1) sudah disusupi kelompok radikalis agama (talibanisme), 2) berkinerja buruk karena recovery asset-nya rendah, lebih rendah dari kepolisian dan kejaksaan sementara anggarannya besar, 3) kerap terjadi penyalahgunaan wewenang, dan 4) keberadaannya tak jelas, tak sesuai dengan trias politika.
KOMPAS/WAWAN HADI PRABOWO
Wahyu Setiawan, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menjadi tersangka kasus suap terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024, berbicara kepada para jurnalis sebelum mengikuti sidang kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kuningan, Jakarta, Rabu (15/1/2020).
Dekonstruksi itu sukses karena kemudian kepercayaan publik kepada KPK menurun. Tak seperti biasanya, publik tidak melakukan perlawanan yang memadai terhadap upaya pelemahan/pembuhunan KPK, padahal biasanya resistensi publik sangat tinggi jika eksistensi KPK diganggu.
Asumsi selama ini KPK sudah jadi milik publik tampaknya keliru. Akibatnya, revisi dan pengesahan UU No 30/2002 tentang KPK berjalan relatif mulus. Memang ada gelombang protes mahasiswa di sana-sini.
Dalam upaya mengembalikan KPK ke khitahnya, selain lewat advokasi secara konvensional—seperti menyampaikan petisi, kampanye, dan lain-lain—, kalangan ormas sipil tampaknya juga harus menggunakan kuasa digital secara terorganisasi dan sistematis dalam upaya mendekonstruksi KPK 2.0.