Praduga keberadaan desa ”fiktif” mencuat lantaran tumbuhnya jumlah desa tak dirunut dari akar masalah. Padahal, rangkaian mosaik ini jika dirangkai berasal dari daftar desa yang dimiliki pemerintah.
Oleh
Udin Suchaini
·4 menit baca
Fantasi material berupa kucuran dana desa telah mendorong pemekaran desa yang tak kunjung berhenti. Pemekaran jumlah desa tak hanya terkait dengan pembentukan desa persiapan baru, termasuk perubahan wilayah administrasi desa-kelurahan, penggabungan desa, serta adanya desa yang sudah tak memenuhi persyaratan.
Praduga keberadaan desa ”fiktif” mencuat lantaran tumbuhnya jumlah desa tak dirunut dari akar masalah. Padahal, rangkaian mosaik ini jika dirangkai dari daftar desa yang dimiliki pemerintah, antara de facto dan de jure bakal membentuk gambaran lengkap rumpang informasi masalah wilayah administrasi terendah ini.
Akar masalah
Pemekaran desa cukup masif terjadi pada rentang 2000-2014. Data potensi desa (podes) yang dirilis BPS memberikan gambaran peningkatan 11.688 desa, dari 62.019 desa tahun 2000 menjadi 73.709 desa di 2014. Pemekaran desa tak berhenti hingga 2018, meski pada rentang tahun ini diberlakukan moratorium pemekaran daerah, jumlah desa tetap meningkat sebanyak 1.727 desa, menjadi 75.436 desa.
Desa yang berhasil dikunjungi petugas BPS pada 2018, sesuai fakta lapangan memenuhi empat kriteria. Ada aturan yang menaungi (SK Pembentukan Desa atau Desa Persiapan), memiliki wilayah dengan batas jelas, ada penduduk yang menetap, dan ada aparatur pemerintah yang sah. Meski kenyataannya, jumlah desa hasil podes beda dengan daftar desa Permendagri No 137/2017, yaitu sebanyak 74.957 desa.
Menyandingkan hasil Podes 2018 dan daftar desa Permendagri No 137/2017 diperlukan untuk mengurai akar masalah. Setidaknya ada empat hal yang dapat dipetakan.
Pertama, ada 509 desa yang belum tercatat dalam permendagri, tersebar di 15 provinsi. Di antaranya desa persiapan yang sudah operasional yang diatur melalui peraturan bupati. Misalnya, Peraturan Bupati Pasaman No 21/2017, Peraturan Bupati Lamandau No 30/2017, serta aturan sejenis di wilayah lain.
Membentuk desa baru juga harus memenuhi syarat sesuai dengan amanah UU No 6/2014. Selanjutnya, desa persiapan dapat ditingkatkan statusnya menjadi desa paling lama tiga tahun, sejak ditetapkan menjadi desa persiapan. Pengusulannya melalui perda sesuai dengan aturan yang tertuang pada PP No 43/2017.
Kedua, ada kelurahan berubah status jadi desa. Salah satunya merujuk Perda Kabupaten Timor Tengah Utara No 2/2015 tentang Perubahan Status 22 Kelurahan menjadi Desa. Pada 2018, setidaknya masih ada 31 desa yang tercatat sebagai kelurahan di Permendagri No 137/2017 dan tersebar di empat provinsi, sehingga desa-desa itu mungkin belum memperoleh dana desa.
Ketiga, ada desa yang sudah digabung desa lain. Proses ini tentu saja tak mudah. Sulitnya penggabungan desa karena perlu persetujuan DPRD. Situasi politik pun jadi tak pasti, karena desa telah memiliki perangkat pemerintahan. Namun, ada yang berani melakukan ini, seperti Pemkab Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara, merujuk Peraturan Bupati Muna No 11/2019. Tekad pemda ini layak diapresiasi, untuk beri kepastian pembangunan desa yang lebih baik.
Keempat, ada desa yang sudah tidak operasional. Pada 2018 masih ada 59 desa tercatat di permendagri, tetapi tak ada di lapangan, tersebar di enam provinsi. Berbagai alasan menjadi penyebabnya, seperti desa ditinggalkan penduduknya karena eksodus akibat konflik, bencana alam, atau karena alasan lain. Dengan kondisi ini, seyogianya dilakukan penghentian sementara penyaluran dana desa yang teridentifikasi tidak operasional, guna meminimalkan penyalahgunaan anggaran.
Menyandingkan hasil Podes 2018 dan daftar desa Permendagri No 137/2017 diperlukan untuk mengurai akar masalah.
Kerja keras pemerintah
Pemerintah pusat dan daerah perlu bekerja keras untuk memeriksa ulang desa yang sudah memiliki identitas dengan fakta lapangan. Memastikan kembali desa memiliki wilayah dengan batas jelas ditunjukkan oleh peta batas wilayah yang disahkan oleh pemerintah tingkat II, ada penduduk yang menetap, serta ada aparatur pemerintah desa yang sah.
Verifikasi faktual dengan kunjungan ke desa pun seyogianya dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan seperti ini pada dasarnya sudah dilakukan melalui kegiatan pemutakhiran data podes yang dilaksanakan BPS. Petugas podes melakukan kunjungan ulang setiap tahun ke seluruh desa untuk memutakhirkan data desa. Hasilnya, dapat dimanfaatkan juga untuk melihat pola pemekaran desa.
Selain itu, pembentukan desa persiapan baru juga berpotensi menjadikan desa induk tidak memenuhi persyaratan. Jika ini yang terjadi, menggabungkan kembali desa persiapan ke desa induknya perlu dilakukan karena masih ada 509 desa yang belum tercatat dalam permendagri dan berpotensi menambah anggaran dana desa hampir Rp 500 miliar.
Meski demikian, perlu ada pengecualian untuk desa yang tak operasional karena alasan tertentu. Mengingat, ada desa terluar dan terdepan yang berbatasan langsung dengan negara lain. Desa dengan kriteria ini secara hukum perlu tetap berdiri, meski nantinya tak berpenghuni karena menjadi simbol batas negara. Seperti 111 pulau-pulau kecil terluar tertuang di Keppres No 6/2017 yang ditempati oleh 543 desa.
Menjadi desa tentu saja menuai keuntungan dalam percepatan pembangunan dari pinggiran. Warga desa leluasa menyampaikan aspirasi dalam pembangunan, supaya berdampak langsung pada pemenuhan kebutuhan dasarnya.
Tak hanya itu, melalui musyawarah desa, warga juga memiliki hak untuk didengar pendapatnya. Namun, menjadi desa apalagi pengajuan desa ”fiktif” justru berpotensi memberikan kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai dari manfaat dari fantasi material yang dihasilkan.
(Udin Suchaini, Fungsional Statistisi pada Badan Pusat Statistik (BPS))