Semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012, aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif. Ini bentuk arogansi dan kelanjutan proyeksi unjuk kekuatan China dalam konteks klaim teritorial di LCS.
Oleh
Steven Polhaupesy
·4 menit baca
Lebih dari dua minggu sejak akhir 2019, China telah melanggar kedaulatan RI dengan aktivitas illegal fishing di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di perairan Natuna. Hingga saat ini, terdapat 30 kapal asing telah melanggar dan bertahan di Laut Natuna. Ini tentu perlu dimaknai dengan sangat serius karena tak hanya persoalan kedaulatan RI yang dilanggar, namun ini juga bentuk arogansi dan kelanjutan proyeksi unjuk kekuatan China dalam konteks klaim teritorial di Laut China Selatan (LCS).
Semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012, aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif. Ini menggambarkan setidaknya dua hal. Pertama, kepentingan jangka pendek China akan perekonomian maritim berbasis komoditas perikanan. Kedua, kepentingan jangka pendek itu menopang tercapainya kepentingan jangka panjang, yaitu kepentingan strategis dalam memperkuat kehadiran militer China di kawasan (hard power presence).
Semenjak Xi Jinping memimpin China pada 2012, aktivitas klaim teritorial China di LCS kian agresif.
Dalam jangka pendek, ekspansi penangkapan ikan di wilayah negara lain termasuk Natuna merupakan upaya menjaga kepentingan maritim China. FAO merilis prospek industri perikanan Asia Pasifik. Permintaan produk industri perikanan diperkirakan terus meningkat, mencapai 60 persen dari nilai saat ini pada 2020, di mana separuh lebih dari pasokan itu dihasilkan oleh China.
Ekspansi nelayan China di wilayah Natuna— yang berarti kian jauh dari garis laut terdekat China di Pulau Hainan, perlu diartikan bahwa wilayah perairan China telah mengalami deplesi (resources depletion). Ini juga yang mendorong pemerintah China memberikan insentif bagi nelayannya berupa subsidi bahan bakar, pengadaan kapal nelayan, serta mempersenjatai nelayan dan melindunginya dengan meningkatkan kapasitas penjaga pantai (Coast Guard)-nya.
China juga menjamin ekspansi itu lewat aturan perikanan Provinsi Hainan, yang memiliki legitimasi setara kementerian dalam tatanan pemerintahan China. Ekspansi penangkapan ikan tak hanya jadi gambaran pentingnya pasokan perikanan bagi ekonomi China, namun juga untuk memperkuat klaim di LCS. LCS jadi sangat strategis karena kawasan perairan ini merupakan perairan dalam (deep sea) yang memungkinkan proyeksi kekuatan angkatan laut (AL) China.
Ekspansi penangkapan ikan tak hanya jadi gambaran pentingnya pasokan perikanan bagi ekonomi China, namun juga untuk memperkuat klaim di LCS.
Keterbatasan geografis China bagian timur yang berhadapan langsung dengan Taiwan dan Jepang jadi alasan rasional untuk ekspansi penjelajahan armada AL China ke Asia Tenggara. Ditambah lagi dengan operasionalisasi kapal induk pertama CV-16 Liaoning yang dibuat 2012 lalu dan kapal induk kedua serupa CV-16 Liaoning yang akan beroperasi di 2023 nanti, memerlukan perairan yang dalam.
Agresivitas China di LCS adalah kalkulasi rasional karena kontestasi dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tentunya dalam konteks risiko, dapat lebih diminimalisasi dibanding dengan Jepang dan Taiwan yang beraliansi dengan AS di Laut China Timur dan Selat Taiwan. Dengan melakukan ekspansi aktivitas di ZEE Indonesia di Natuna, China juga mempersepsikan dirinya yang kian kuat dibanding Indonesia dan negara Asia Tenggara lain.
Tentu persepsi ini sangat berkaitan erat dengan meningkatnya pengaruh ekonomi China di kawasan melalui inisiatif Satu Sabuk Satu jalan (OBOR), khususnya di Indonesia lewat investasi serta bantuan bagi proyek-proyek infrastruktur strategis. Sederhananya, apa yang terjadi di Natuna hari ini, dan kegagalan Indonesia mengelola risiko konflik serta penyelesaiannya, akan jadi preseden apakah intensitas China jadi lebih sering atau tidak di Natuna ke depan.
Belajar dari kasus Filipina
Ini bukanlah kali pertama keikutsertaan Coast Guard China mengawasi para nelayan menangkap ikan di ZEE negara-negara yang berbatasan di LCS. CSIS-Amerika mencatat lebih dari 31 insiden serupa terjadi hingga 2016, di mana 72 persen melibatkan Coast Guard China.
Meski gugatan Filipina dimenangkan, China tetap tak mengikuti keputusan berbasis hukum yang mengikat.
Dari pengalaman itu, ada dua hal yang perlu jadi pelajaran kita. Pertama, pentingnya memberi legitimasi hukum internasional lewat UNCLOS, namun lebih penting lagi membangun kapabilitas Bakamla dan AL RI. UNCLOS memang penting dalam konteks diplomasi dan membangun kepercayaan internasional, namun penggunaan instrumen hard power yang mumpuni untuk dukung diplomasi, lebih efektif dalam memastikan China menghormati wilayah kedaulatan RI.
Kedua, kita perlu melakukan ‘retaliasi asimetris’ untuk memberikan ‘red-line’ bahwa RI menganggap isu ini penting dan tak mencampuradukkan isu investasi dan kedaulatan. Pemerintah RI perlu memainkan agenda-agenda normatif dan moral terkait isu-isu sensitif terhadap pemerintah China. Salah satunya dengan aktif mempromosikan pertukaran budaya, misalnya dengan segmentasi masyarakat Muslim di China, khususnya di Xinjiang.
(Steven Polhaupesy Pengamat Politik China, Pernah Belajar di Universitas Tsinghua dan SOAS)