Saya sependapat dengan Bapak Salahuddin Wahid dalam suratnya kepada Redaksi berjudul ”Penyerapan Kata Asing” (Kompas, 17/12/2019). Beliau mengeluhkan banyaknya kata asing yang diserap dalam bahasa Indonesia, padahal sudah ada istilah Indonesia yang asli.
Asal-muasal ketidaknyamanan itu adalah kata destinasi. Namun, dijawab oleh temannya bahwa kata destinasi sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya adalah ’tujuan’.
Bulan Mei 2019, saya mengirim surat pembaca ke Kompas dengan topik serupa dan dengan contoh kata yang sama, destinasi, tetapi tidak dimuat.
Saya sebut gejala itu ”arus balik” dalam pembakuan kosakata Indonesia karena kata-kata Indonesia yang asli, yang sudah kita pakai turun-temurun, diganti dengan kata-kata baru yang justru berasal dari bahasa asing.
Ada juga kata asing yang diserap secara tidak benar. Beliau mencontohkan dengan kalimat ”Gunung Anu Erupsi”, padahal erupsi berasal dari kata eruption yang merupakan kata benda, bukan kata kerja. Saya bisa tambahkan kata menganalisis, padahal analisis berasal dari analysis yang merupakan kata benda.
Sayangnya, Kompas kadang ikut ”menginisiasi” gejala tersebut. Contohnya dalam Kompas (25/10/2019) dimuat judul berita ”Seimbangkan Interes Buruh dan Pengusaha”. Takut pembaca tidak paham, di lead berita Kompas menggunakan kata aslinya, yakni ”Kalangan buruh berharap omnibus law menyeimbangkan kepentingan pekerja dan pengusaha...”. Jangan-jangan kata interes juga sudah masuk ke dalam KBBI.
Hal yang perlu diingat, kata serapan tidak hanya berasal dari bahasa Inggris, tetapi juga dari berbagai bahasa, daerah dan asing. Dari bahasa Jawa, misalnya, ada kata ribet. Dari bahasa gaul ada kata kabur yang sering digunakan dalam pemberitaan Kompas: tahanan polisi kabur, penabrak kabur, dan seterusnya.
Pak Salahuddin, sebaiknya Bapak juga mengingatkan para intelektual Islam yang membawa masuk kata Arab. Mesjid jadi masjid, sedekah jadi sodaqoh, muhrim jadi mahrom, atau berprasangka buruk jadi suudzon.
Kita terima sajakah tren zaman milenial ini?
SUMANTORO MARTOWIJOYO
Jalan Batik Raya, Perum Gama Asri, Pekalongan
Jaminan Kesehatan
Setelah puluhan tahun menjadi karyawan Indosat, kami masuk masa pensiun dengan tenang. Sebagian besar mengambil skema paket uang pensiun bulanan karena ada jaminan penggantian biaya atau asuransi kesehatan jika sakit, maksimum 16 kali pensiun bulanan per tahun.
Ketentuan itu ada dalam dokumen resmi nota dinas, kemudian bersama ketentuan lain masuk PKB (perjanjian kerja bersama) sejak 2001.
Namun, pada Agustus 2019, Direksi Indosat Ooredoo menetapkan secara sepihak perubahan fasilitas kesehatan pensiunan menjadi pemberian dana putus (lumpsum) sebesar dua kali iuran BPJS kelas 1
(Rp 80.000) dikalikan sisa hidup tiap pensiunan.
Ada pensiunan yang telah menerima perubahan tersebut—dengan info kalau tidak sekarang, di kemudian hari tidak dapat diambil kembali—ada juga yang keberatan.
Dalam Pasal 33.A.4 PKB tertulis: ”Setiap penurunan dan perubahan prosedur manfaat fasilitas kesehatan harus disepakati dengan Serikat Pekerja dan dikomunikasikan kepada seluruh karyawan”.
Benar saat ini kami bukan karyawan dan anggota serikat pekerja. Namun, saat ketentuan PKB di atas ditandatangani, kami masih karyawan.
Serikat Pekerja Indosat sebagai wadah resmi karyawan tak pernah menyepakati perubahan ini. Namun, keberatan kami dijawab dengan penutupan sekretariat pensiunan Indosat di gedung Indosat.
Kami berharap pemerintah mendorong pencabutan kebijakan yang semena-mena ini.
Bambang Irawan
Plt Ketua Umum
Komunitas Pensiunan Indosat