Kompas (9/12/2019) memberitakan: ”Percepat Transisi ke Energi Bersih”. Tertulis, ”Arah pembangunan sektor energi di Indonesia berlawanan dengan target penurunan emisi. Hingga tahun 2025 sektor kelistrikan Indonesia didominasi oleh PLTU batubara 54 persen, dan akan ada penambahan 27 GW PLTU batubara sebagai tambahan dari yang ada sekarang 25 GW PLTU batubara”.
Ini berarti akan ada penambahan PLTU batubara lebih dari 100 persen. Dengan demikian, akan ada penambahan emisi dari pembakaran batubara. Karena batubara dibakar terus-menerus, suatu saat kita akan kehabisan batubara, seperti halnya minyak mentah dan gas saat ini.
Kelak jika semua sumber energi habis, mau pakai apa lagi jika tidak dari sekarang bersiap-siap?
Saya pernah berkunjung ke beberapa negara. Mereka tidak khawatir kehabisan energi karena memiliki PLTA dengan bendungan sungai raksasa di seluruh negeri. Mereka tidak mempunyai sumber daya alam melimpah seperti kita, sebutlah batubara, minyak bumi, gas, atau lainnya, tetapi tidak pernah kekurangan energi.
Sebaliknya, kita kaya raya akan sumber energi terbarukan, seperti sungai yang besar dan tidak pernah beku, angin, dan matahari sepanjang tahun. Mau apa lagi? Tinggal kemauan kita!
Energi terbarukan untuk kendaraan pun kita punya sumber potensial, seperti minyak sawit, minyak kelapa, dan minyak jarak. Kita lupakan saja BBM fosil yang akan segera habis dan berkadar polusi tinggi.
Jangan santai-santai saja. Semua elite harus fokus, memikirkan masa depan energi kita. Jika tidak, kita kelak bisa kolaps, lumpuh tidak berdaya, dan mewariskan kepada anak cucu kita kondisi kekurangan energi. Mari kita buat megaproyek energi terbarukan dan harus masuk dalam rencana Bappenas.
Segera bangun PLTA raksasa di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan sebagainya, agar kita tidak kekurangan energi lagi. Untuk BBM kendaraan, bangunlah pabrik-pabrik bahan bakar nabati (BBN). Untuk kebutuhan energi industri dan perumahan bisa diterapkan energi dari tenaga surya dan bayu.
A Suritno
Jl Bunyu, Pulogadung, Jakarta Timur
Sistem Darurat Penyiaran
Pada 7 November 2019, saya berkesempatan ikut studi lapangan untuk mata kuliah sistem penyiaran di sebuah radio FM di Yogyakarta.
Dalam salah satu sesi tanya jawab, mengenai penerapan emergency broadcast system (EBS) atau emergency alert system atau sistem penyiaran kedaruratan, pihak radio menanggapi bahwa mereka belum menerapkan sistem tersebut dalam kegiatan siarannya.
Saat terjadi bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, radio menyiarkan peringatan gempa dengan mengandalkan penyiar di awal terjadinya gempa. Siaran kemudian dihentikan saat kekuatan gempa membesar.
Perlu diketahui bahwa EBS adalah sebuah sistem pemberitahuan darurat yang disiarkan melalui televisi, radio, dan sarana-sarana sejenisnya.
EBS dapat berisi peringatan, arahan kepada publik dalam menanggapi suatu situasi sangat genting, dan pelbagai informasi kedaruratan lain yang dibutuhkan.
Saya menyarankan agar EBS segera diimplementasikan mengingat wilayah Indonesia yang rentan bencana alam sehingga mudah menimbulkan situasi kedaruratan.
Dengan adanya sistem ini, informasi yang bersifat darurat dapat disimpan dan segera disiarkan secara terus-menerus saat diperlukan sehingga memperbesar peluang diterimanya informasi tersebut oleh masyarakat luas untuk mengurangi dampak bencana ataupun korban manusia.
A Wahyu Pratama
Karangsari, Sleman,
Yogyakarta