Bom Waktu Perubahan Rastra ke BPNT
Perubahan kebijakan subsidi pangan: dari beras sejahtera (Rastra), yang sebelumnya bernama beras untuk rakyat miskin (Raskin), menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) membuat kebijakan perberasan menjadi terfragmentasi.
Kehebohan yang menyertai rencana Bulog melepaskan (disposal) 20.000 ton cadangan beras pemerintah (CBP) telah usai. Diskusi publik yang sempat riuh, kembali redup, seolah-olah masalah telah usai dan tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.
Padahal, di balik kehebohan ini tersimpan bom waktu yang setiap saat bisa meledak jika tak segera dicarikan solusi. Sayangnya, para pemangku kebijakan seperti tak bisa membaca potensi bom waktu itu. Barangkali ini salah satu risiko awal-awal transisi kepemimpinan.
Biang bom waktu ini adalah perubahan drastis kebijakan subsidi pangan: dari beras sejahtera (Rastra), yang sebelumnya bernama beras untuk rakyat miskin (Raskin), menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Perubahan ini membuat kebijakan perberasan yang semula terintegrasi hulu-tengah-hilir jadi terfragmentasi. Ini karena pada BPNT tak ada keharusan (mandatory) kehadiran
Biang bom waktu ini adalah perubahan drastis kebijakan subsidi pangan: dari beras sejahtera (Rastra), yang sebelumnya bernama beras untuk rakyat miskin (Raskin), menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT).
Bulog di level hilir.
Akibatnya, kebijakan perberasan bukan saja jadi tak utuh lagi, tetapi juga membuat Bulog kehilangan pasar tertawan (captive market) amat besar: 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) Rastra. Saat Rastra, tiap rumah tangga menerima beras 15 kg/bulan. Bulog bertugas melakukan pengadaan (dengan menyerap gabah/beras produksi petani domestik mengacu harga yang ditetapkan pemerintah), pengelolaan dan distribusi stok, serta penyaluran beras. Sebaliknya, pada BPNT tak ada lagi penyaluran beras secara langsung. Pemerintah mentransfer langsung uang bantuan Rp 110.000/bulan ke rekening RTS berkartu debit.
Uang hanya bisa dibelanjakan kebutuhan pokok, seperti beras, gula dan telur di outlet yang ditunjuk. Penyedia beras di outlet bisa siapa saja, termasuk Bulog. Dibandingkan Rastra, BPNT bisa meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tak lagi relevan karena RTS bisa memilih beras sendiri sesuai preferensi.
Skema baru ini juga tak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tak perlu menyediakan uang Rp 1.600/kg beras untuk menebus seperti pada Rastra. Dana APBD pendamping dari kabupaten/kota seperti selama ini mengiringi Rastra dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.
Masalahnya, seiring perubahan itu, penyaluran beras Bulog di hilir berkurang drastis: dari rata-rata 2,825 juta ton periode 2014-2017 hanya tinggal 350.000-an ton (12 persen) di 2019. Tahun depan penyaluran beras untuk BPNT pasti lebih kecil lagi. Hanya menyisakan daerah 3T: tertinggal, terisolasi, dan terluar. Akibatnya, beras Bulog menumpuk di gudang, saat ini mencapai 2,3 juta ton, dan 1,175 juta di antaranya dari penyerapan domestik. Usia simpan beras ini cukup beragam. Karena beras produk tidak lahan lama, seiring berjalannya waktu, disposal beras akan selalu terjadi.
Ketika Rastra berubah jadi BPNT, tak ada lagi penyaluran beras bersubsidi di hilir. Karena itu, jadi tak relevan menugaskan Bulog serap gabah/beras produksi petani domestik lewat target serapan tahunan. Akan dikemanakan beras hasil serapan domestik itu? Beras selain bulky, juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang pasti, menugaskan Bulog menyerap gabah/beras petani bisa dipastikan bakal membuat BUMN ini pelan-pelan bangkrut. Tanda-tanda kebangkrutan itu mulai terlihat: Z-score Bulog 0,93 atau berada pada zona distress alias lampu merah, di bawah batas aman 1,3.
Ketika Rastra berubah jadi BPNT, tak ada lagi penyaluran beras bersubsidi di hilir. Karena itu, jadi tak relevan menugaskan Bulog serap gabah/beras produksi petani domestik lewat target serapan tahunan.
Dampak buruk
Manajemen Bulog sepertinya telah memperkirakan perubahan ini bakal berdampak buruk. Makanya, sejak 2017 atau tepat BPNT dimulai, ada indikasi Bulog “mengerem” pengadaan beras domestik. Ini terlihat dari stok awal 2018 yang hanya 800.000 ton beras, stok awal tahun terkecil dalam satu dekade terakhir yang berkisar 1,3-1,5 juta ton.
Penyerapan beras domestik pada 2018 cuma 1,48 juta ton, turun drastis dari periode 2014-2016 yang 2,67 juta ton. Sejak awal tahun bisa dipastikan target serapan 1,8 juta ton di 2019 tak akan tercapai. Manajemen Bulog tak lagi agresif serap beras domestik. Sampai awal Desember baru 1,17 juta ton. Pengurangan serapan akan berpengaruh ke stok publik dan perkecil penyaluran publik lain.
Memang pengaruh nyata belum terlihat saat ini karena stok masih besar, disumbang sisa impor 2,2 juta ton beras di 2018 akibat kebijakan yang salah. Sebelum era BPNT, pengadaan Bulog 6-9 persen dari produksi beras nasional. Level ini mampu jadi pengendali pasar dari gejolak tak diinginkan, baik karena gangguan panen lantaran perubahan iklim/cuaca, hama/penyakit atau ulah culas penguasa pasar yang dominan. Ketika stok publik turun drastis, Bulog tak bisa diharapkan jadi penolong petani saat harga gabah/beras jatuh di wilayah yang luas.
Kesengsaraan petani kian bertambah jika pada saat yang sama penggilingan padi juga mengurangi drastis penyerapan gabah mereka. Ini karena merosotnya insentif menggiling gabah, menyetok beras, dan mendistribusikannya karena perbedaan harga antarmusim, antarwilayah dan antarpulau sudah tak menarik lagi. Apalagi, setiap saat pedagang beras dan penggilingan kerap dihantui sepak terjang Satgas Pangan yang masif masuk ke pasar, dan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras yang kaku dan tidak ramah pasar. Jika itu terjadi, harga gabah saat panen raya bakal jatuh lebih dalam lagi.
Kesengsaraan petani kian bertambah jika pada saat yang sama penggilingan padi juga mengurangi drastis penyerapan gabah mereka.
Dampak lain tentu pada stabilisasi harga gabah/beras.
Selama ini Raskin/Rastra bukan saja efektif sebagai penjamin akses warga miskin ke pangan murah, tapi juga sebagai instrumen stabilisasi harga gabah/beras. Volume penyaluran Raskin/Rastra 232.000 ton/bulan (10 persen dari kebutuhan) beras memang besar pengaruhnya ke harga. Ketika volume penyaluran Raskin/Rastra berkurang drastis, bahkan boleh dibilang tak ada lagi, kita kehilangan instrumen stabilisasi yang penting. Yang tersisa hanya operasi pasar, yang meski digelar sepanjang tahun hasilnya tak begitu efektif.
Sebagai pengganti, pemerintah memodali Bulog Rp2,5 triliun untuk beli beras petani buat CBP, berapapun harganya. Skenarionya, modal ini bisa diputar untuk membeli dan menjual beras 1,5 juta ton. Pemerintah akan mengganti selisih harga kepada Bulog. Sesuai Permentan No 38/2018 tentang Pengelolaan CBP, beras yang disimpan lebih empat bulan atau mutu turun harus dilepaskan (disposal). Di atas kertas, instrumen pengganti ini diyakini manjur. Masalahnya, pengelolaan CBP tanpa outlet penyaluran perlu perputaran stok cepat agar kualitas beras tak menurun dan stok tidak menumpuk. Masalahnya, lagi, skema perputaran stok beras yang cepat itu belum tersedia saat ini.
Tanpa instrumen stabilisasi yang jelas, bisa dipastikan harga beras jadi lebih tak stabil. Instabilitas harga beras bakal membuat inflasi terpantik tinggi. Inflasi tinggi akan membuat daya beli warga miskin terpukul, ujung-ujungnya kemiskinan meningkat. Instabilitas harga beras juga bisa memantik masalah sosial-politik. Ada dua solusi agar ini tak terjadi. Pertama, memperbesar CBP, dari 350.000 ton saat ini jadi 1,5-2,0 juta ton. CBP sebagian diisi beras kualitas premium, selain untuk operasi pasar, bisa digunakan buat beragam program pemerintah, seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan dan bantuan internasional. Masalahnya, perlu anggaran Rp 15-20 triliun.
Tanpa instrumen stabilisasi yang jelas, bisa dipastikan harga beras jadi lebih tak stabil. Instabilitas harga beras bakal membuat inflasi terpantik tinggi.
Kedua, mengharuskan RTS hanya beli beras Bulog di outlet yang ditunjuk. Jumlah beras yang diserap diperkirakan 1,8 juta ton, setara pengadaan Bulog untuk pengamanan HPP. Langkah ini harus dibarengi komitmen Bulog dalam dua hal: hanya memasok beras berkualitas, dan menyediakan lebih dari satu kualitas. Dengan cara ini, RTS tak turun kesejahteraannya karena terbuka untuk memilih kualitas beras sesuai preferensi. Cara ini juga membuat kebijakan perberasan kembali terintegrasi hulu-tengah-hilir. Instrumen stabilisasi, yang menandai keberadaan negara, kembali hadir.
Yang tak kalah penting, cara ini membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga ketahanan pangan tetap terjaga, dan kita terhindar dari bom waktu yang siap meledak.
(Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)