Pertemuan iklim berakhir mengecewakan. Dunia meminta aksi nyata, tetapi negara-negara maju menolak peningkatan upaya mengatasi pemanasan global.
Oleh
·2 menit baca
Berlangsung 2-14 Desember 2019 di Madrid, Spanyol, mundur sehari dari jadwal, pertemuan yang lengkapnya disebut Konferensi Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC-COP) Ke-25 ternyata tidak bisa menghasilkan keputusan signifikan.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyatakan, masyarakat internasional telah kehilangan kesempatan penting mengatasi perubahan iklim.
Perubahan iklim—dikenal juga sebagai efek rumah kaca— merupakan dampak dari gas-gas emisi hasil pembakaran energi fosil yang terkonsentrasi di atmosfer. Gas-gas ini menghambat panas ke luar sehingga menaikkan suhu Bumi. Jumlah gas emisi meningkat pesat sejak revolusi industri.
American Institute of Physics mengungkapkan, sepanjang 1800-1870 kadar gas karbon dioksida (CO2) 290 ppm dan rata-rata suhu global 13,7 derajat celsius. Suhu global tahun 2018 lebih panas 1 derajat celsius dibandingkan tahun 1900-an karena akumulasi emisi terus meningkat. Penelitian menunjukkan, lima juta ton emisi CO2 dilepas ke atmosfer setiap jam, mendorong Bumi mendekati titik kritis iklim.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) melaporkan, titik kritis dapat dilampaui jika kenaikan suhu 1-2 derajat celsius. Oleh karena itu, penambahan panas maksimal 2 derajat celsius menjadi batas aman planet Bumi (Kompas, 2/12/2019).
Dalam Kesepakatan Paris 2015 yang ditandatangani 195 negara, sebenarnya sudah ada kesepakatan menjaga kenaikan suhu 1,5-2 derajat celsius. Namun, kecenderungan negara-negara maju mengingkari kesepakatan ini membuat pertemuan iklim di Madrid menjadi tumpuan harapan.
Sayang, hasil pertemuan iklim di Madrid mengecewakan. Deklarasi hanya mendukung ”kebutuhan mendesak” untuk menutup kesenjangan janji emisi sesuai Kesepakatan Paris 2015, tanpa kejelasan mekanisme dan pendanaan. Dalam sidang penutupan, perwakilan negara-negara besar juga menolak meningkatkan upaya memerangi pemanasan global, padahal dunia berada di jalur kenaikan 3-4 derajat celsius akhir abad ini (Kompas, 16/12/2019).
Sayang, hasil pertemuan iklim di Madrid mengecewakan.
Meski demikian, dengan diterimanya Chile Madrid Time for Action—yang menjadikan laut sebagai bagian dari kebijakan global perubahan iklim—masih ada harapan bagi Indonesia dan negara-negara kelautan lain. Ke depan akan diselenggarakan dialog tentang laut dan perubahan iklim, sebagai bagian dari upaya menyelamatkan dunia.
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dapat menjembatani agar diplomasi lingkungan kelautan berperan sig- nifikan dalam mengatasi krisis perubahan iklim. Ini seiring dengan upaya lain di bidang kehutanan, perdagangan karbon, dan terutama keberlanjutan pendanaan iklim.