NIIS Setelah Abu Bakar al-Baghdadi
NIIS (dan juga Al Qaeda) tetap merupakan ancaman bagi kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan antaragama, antar-umat manusia. Era Baghdadi memang sudah berakhir, tetapi bukan berarti terorisme juga sudah berakhir.
Diktator Jerman, Adolf Hitler, diyakini tewas bunuh diri di sebuah bungker di Berlin pada 30 April 1945. Hampir mirip dengan Hitler, Abu Bakar al-Baghdadi, pemimpin kelompok bersenjata Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang mengangkat dirinya sebagai Khalifah Ibrahim, tewas di sebuah terowongan buntu bersama tiga anak lelaki.
Baghdadi tewas dengan meledakkan rompi bom yang dikenakannya agar tak tertangkap hidup-hidup oleh pasukan komando AS di Barisha, Idlib, Suriah, pada Sabtu, 26 Oktober 2019. Pemimpin NIIS itu memilih memangkas hidupnya sendiri.
Ujung hidup Baghdadi tak jauh berbeda dengan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden, ”gurunya”. Pada 2012, Osama disergap pasukan khusus AS di tempat persembunyiannya di sebuah rumah di Abbottabad, Pakistan. Dua peluru menembus tubuh Osama. Tewas.
Sejak 2014, Baghdadi menjadi orang yang paling diburu di dunia. Bahkan, AS menjanjikan hadiah 25 juta dollar AS bagi siapa saja yang berhasil menyerahkan kepala Baghdadi. Tidak ada yang berhasil. Ia dikelilingi oleh orang-orang yang setia padanya.
Pada 2017, Rusia menyatakan telah berhasil membunuhnya, dalam suatu serangan udara atas Raqqa, Suriah, 28 Mei. Ketika itu Raqqa adalah markas kelompok bersenjata NIIS. Bahkan, Kementerian Pertahanan Rusia pun menyatakan hal itu.
Menurut berita yang tersebar waktu itu, Baghdadi sedang rapat bersama para pejabat tinggi NIIS. Tempat mereka rapat digempur pesawat tempur Rusia, Su-34 dan Su-35. Namun, berita tentang tewasnya Baghdadi tersebut tidak benar. Ia dan kelompoknya masih menebar kekejaman dan maut.
Pada 2018, menurut Soukaina Rachidi, majalah Forbes menyebut Baghdadi sebagai salah satu orang paling berkuasa di dunia. Dalam daftar ”75 laki-laki dan perempuan yang mengubah dunia” ia menduduki peringkat ke-73 (Inside Arabia, 28 Oktober 2019). Meskipun sekarang orang banyak sudah mengetahui siapa dia, sedikit yang mengetahui masa lalunya. Siapakah orang yang mengklaim dirinya sebagai Khalifah Ibrahim itu?
Menjadi radikal
Pemimpin NIIS itu bernama asli Ibrahim Awwad Ibrahim Ali al-Badri al-Samarrai. Dalam NIIS, The State of Terror (2015), Jessica Stern dan JM Berger menulis, Ibrahim dilahirkan Tobachi, Irak, dekat Samarra (1971) dari sebuah keluarga Salafi ultrakonservatif. Keluarga yang sangat taat beragama.
”Ia berasal dari keluarga religius. Saudara-saudara laki-laki dan pamannya, adalah imam dan profesor bahasa Arab, retorika, dan logika,” tulis Loretta Napoleoni dalam The Islamist Phoenix, The Islamic State and The Redrawing of The Middle East (2014). Tetangganya, Abu Ali, seperti dikutip Jessica Stern dan JM Berger, mengatakan, ”Ibrahim Awwad seorang yang tenang dan sangat sopan.” Ia meraih gelar doktor pada bidang studi Islam dengan konsentrasi studi Al Quran dari Universitas Ilmu Islam di Adhamiya, pinggiran Baghdad, Irak (M Najih Arromadloni, 2017).
Soukaina Rachidi yang mengutip artikel William McCants, mantan penasihat senior Kementerian Luar Negeri AS urusan perlawanan terhadap ekstremisme dengan kekerasan, menulis, di masa mudanya, Baghdadi seorang penyendiri, pendiam, dan berbicara sangat lirih hingga nyaris tak terdengar lawan bicaranya.
Apa yang membuat Ibrahim Awwad dari keluarga yang religius dan dikenal sebagai orang yang ”sopan, tekun beribadah, penyendiri, pendiam, dan berbicara sangat lirih” menjadi radikal? Semula Ibrahim Awwad (Baghdadi) ingin menjadi tentara Irak. Ia tidak lolos tes masuk karena masalah penglihatan.
Dalam Bid’ah Ideologi NIIS, Catatan Penistaan NIIS Terhadap Hadits, M Najih Arromadloni menulis, ”Al-Baghdadi adalah anggota Ikhwanul Muslimin atau afiliasinya. Kecenderungan Salafi-Wahabis yang ada pada dirinya muncul belakangan, mengikuti Mohammed Hardan, seorang pemimpin Ikhwanul Muslimin dan pendiri Yaysh al-Mujahidin yang mengadopsi ideologi Wahabi setelah kepulangannya dari Afghanistan tahun 1990-an.” Di bagian lain, M Najih Arromadloni menulis, ”Umar al-Baghdadi sebagai komandan ISI menganut ideologi takfirisme radikal.”
Selain itu, invasi pasukan asing pimpinan AS ke Irak pada Maret 2003 diyakini memainkan peranan penting dalam meradikalisasi Ibrahim Awwad (Baghdadi). Beberapa bulan setelah invasi, Baghdadi membantu kelompok perlawanan Jaysh Ahl al-Sunnah wa al-Jammah (Tentara Rakyat Sunnah dan Solidaritas Komunal). Mereka melawan pasukan AS di wilayah Irak tengah dan bagian utara.
Pada 2003, Baghdadi ditangkap tentara AS dan dijebloskan ke dalam Kamp Bucca selama berbulan-bulan. Pada Desember 2004, Baghdadi dibebaskan. Setelah bebas, ia bergabung dengan Al Qaeda di Irak (AQI) pimpinan Abu Musab al-Zarqawi yang berasal dari Jordania.
Pada Juni 2006, Zarqawi tewas dibunuh AS. Ia digantikan oleh Abu Ayyub al-Masri dari Mesir. Di bawah kepemimpinan Abu Hamzah al-Muhajir, orang Mesir yang juga disebut Abu Ayyub al-Masri yang sangat dekat dengan orang kedua di Al Qaeda, yang juga berasal dari Mesir, yakni Ayman Zawahiri (Komaruddin Hidayat, ed. 2014), yang sekarang menjadi pengganti Osama bin Laden.
Di bawah kepemimpinan al-Masri, AQI dibubarkan dan kemudian dibentuklah Negara Islam di Irak (ISI). Menurut Jay Sekulow dalam Rise of ISIS, A Threat We Can’t Ignore (2014), Baghdadi kemudian memisahkan diri dari AQI dan bergabung dengan kelompok Negara Islam di Irak (ISI).
Di dalam ISI, bintang Baghdadi semakin terang. Ia masuk ke dalam jajaran petinggi ISI. Bahkan, ia ditunjuk menjadi supervisor Komite Sharia dan menunjuk 11 anggota Dewan Shura sebagai penasihat pemimpin ISI. Akhirnya, ia ditunjuk menjadi komite koordinasi ISI, sebuah ”panel terdiri atas tiga orang yang sangat berkuasa. Komite ini memiliki kekuasaan untuk memilih, menyupervisi, dan memecat para komandan ISI di provinsi-provinsi Irak” (Soukaina Rachidi: 2019).
Setelah al-Masri, pendiri dan emir ISI, tewas, pada 18 April 2010 menjadi korban serangan operasi anti-terorisme yang dilancarkan AS dan Irak, Dewan Shura memilih Baghdadi menjadi pemimpin baru. Ketika itu, disepakati, Nasir Lidin Allah Abu Sulayman menggantikan al-Masri sebagai menteri peperangan, sedangkan Baghdadi menjadi emir ISI.
Ketika itu, banyak kalangan yang menyatakan bahwa Baghdadi adalah tokoh yang misterius. Terrence McCoy dalam tulisannya di The Washington Post (11 Juni 2014) menyebut, foto-foto Baghdadi yang beredar memperlihatkan wajah yang muram dan serius, tidak ada senyum di wajahnya yang berjambang. Meskipun demikian, majalah Time menyebutnya sebagai ”orang paling berbahaya di dunia” dan harian Perancis, La Monde, menyebutnya sebagai ”Bin Laden baru”. Baghdadi juga disebut sebagai pembunuh kejam (Komaruddin Hidayat, ed. 2014).
Di bawah kepemimpinan Baghdadi, ISI melakukan serangkaian pembaharuan, termasuk pembentukan cabang-cabang rahasia ISI di Suriah, pada 2011. Cabang di Suriah ini yang kemudian dikenal dengan nama Fron al-Nusra (Jabhat al-Nusra/JN). Namun, pada 8 April 2013, menyatakan menggabungkan AQI, ISI, dan JN di bawah satu bendera dengan kepemimpinan tunggal.
Organisasi baru itu diberi nama Islamic State of Iraq and Syria atau Islamic State of Iraq and Levant (ISIS/ISIL) atau Negara Islam Irak dan Suriah atau Negara Islam Irak dan Levan (NIIS/NIIL) atau Al-Dawlah Al-Islâmiyyah fi Al-Iraq wa Al-Sham (ISIGS). Namun, JN menolak keputusan itu, hingga terjadilah konflik yang kemudian ditengahi oleh Ayman Al-Zawahiri. Bahkan, Al Qaeda kemudian memutus hubungan dengan NIIS karena NIIS memiliki konsepsi dan posisi sendiri: tidak tunduk kepada Al Qaeda Pusat dan Ayman.
Putus hubungan Al Qaeda, NIIS terus bergerak dan merebut Mosul, Irak bagian utara. Di Mosul inilah, menurut Soukaina Rachidi, kelompok ini ”memproklamasikan kembalinya kekhalifahan” dan mengubah NIIS menjadi IS (Negara Islam). Di kota ini pula, Baghdadi mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah (Khalifah Ibrahim) dengan wilayah Suriah dan Irak.
Sejak itu, sepak terjang NIIS mengguncang dunia karena kekerasan dan kekejamannya yang tiada tara. Anehnya, meski demikian, kelompok ini menarik ribuan orang asing (tidak hanya dari Suriah, Irak, dan negara-negara Arab, tetapi juga Eropa, Amerika, Australia, bahkan Indonesia), baik laki-laki maupun perempuan, untuk bergabung. Mereka tidak hanya merebut dan menguasai wilayah yang sudah direbutnya di Irak dan Suriah, tetapi juga memerintah wilayah itu seperti negara dengan menerapkan sistem hukum brutal, menarik pajak, uang tebusan tawanan, penjualan benda-benda purbakala, penjualan minyak di pasar gelap, dan lain sebagainya.
Michael Weiss dan Hassan Hassan dalam ISIS The Inside Story (2015) menyebut bahwa NIIS adalah organisasi teroris dan semacam mafia yang mahir dalam bermain di pasar gelap minyak dan perdagangan senjata transnasional. NIIS juga merupakan kelompok militer konvensional yang termobilisasi dan mampu menerjunkan pasukan darat yang memiliki keahlian profesional yang mengesankan (M Najih Arromadloni, 2017).
Tetap berbahaya
Kematian Baghdadi, memang, merupakan pukulan sangat keras dan berat bagi NIIS. Bagi mereka, Baghdadi bukan sekadar pemimpin operasional, melainkan juga simbol NIIS. Karena itu, tiadanya simbol merupakan kehilangan besar bagi kelompok bersenjata itu. Kalaupun nanti muncul penggantinya, tidak akan sebanding dengan dia. Apalagi kalau kemudian dilacak hingga garis keturunan, suku, dan sebagainya.
Meskipun sudah kehilangan simbolnya, ideologi NIIS itu tetap berbahaya. NIIS mereinterpretasi agama dalam sebuah ”jalan radikal dan inovatif”, menggunakan diskripsi fundamentalisme yang disodorkan Karen Amstrong. Menurut Karen Amstrong, kaum fundamentalis tidak mau dipusingkan dengan segala istilah demokrasi, pluralisme, toleransi beragama, menjaga kedamaian, kebebasan berbicara, atau pemisahan antara agama dan negara (Karen Amstrong, 2000).
NIIS telah menetapkan dirinya sendiri sebagai paradigma baru salah satunya adalah lebih brutal, lebih sektarian, dan lebih apokaliptik dalam pikirannya dibandingkan kelompok-kelompok lainnya yang telah mendahului. NIIS adalah kokain ekstremisme yang kejam, semua elemen yang membuatnya begitu memikat dan membuat kecanduan, dimurnikan menjadi berbentuk kristal (Jessica Stern dan JM Berger).
Karena itu, tidak mudah menghancurkannya kalau hanya dengan kekuatan militer sekalipun sudah kehilangan simbolnya. Meski telah kehilangan simbolnya, sel-sel yang sudah diporakporandakan di Suriah dan Irak dan tercerai berai, bisa mengelompok lagi atau bergerak sendiri-sendiri untuk melakukan ”pembalasan”. NIIS bertujuan untuk membersihkan dunia dari semua yang tidak sepakat dengan ideologinya.
Apalagi, menurut Andreas Krieg, asisten profesor di Departemen Studi Pertahanan King’s College London, NIIS sudah menjadi semacam ”komunitas virtual” yang ”tanpa pemimpin” (Aljazeera, 29/10/2019) dan ideologinya telah diambil kelompok-kelompok lain di seluruh dunia dan dikembangkan.
Dengan kata lain, NIIS (dan juga Al Qaeda) tetap merupakan ancaman bagi kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan antaragama, antarumat manusia. Era Baghdadi memang sudah berakhir, tetapi bukan berarti terorisme juga sudah berakhir.