Sejak dua pekan lalu, obrolan tentang orang berpengaruh di media sosial atau biasa disebut influencer merebak di berbagai belahan dunia. Indonesia juga menjadi sorotan karena ditemukan banyak kecurangan yang dilakukan oleh sejumlah akun.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Sejak dua pekan lalu, obrolan tentang orang berpengaruh di media sosial atau biasa disebut influencer merebak di berbagai belahan dunia. Indonesia juga menjadi sorotan karena ditemukan banyak kecurangan yang dilakukan oleh sejumlah akun.
Ada beberapa kejadian lain yang menyebabkan pembahasan mengenai hal ini makin marak. Kita tengah menebak masa depan industri pencitraan dengan menggunakan media sosial ini, yang relatif tidak dikendalikan dan tidak diawasi.
Setelah tindakan Joe Nicchi, pembuat es krim di Los Angeles, Amerika Serikat, dengan nama CVT Softserve yang meminta pembayaran dua kali lipat dari para influencer apabila mengunggah produk buatannya, ada beberapa kejadian mengejutkan.
Pekan lalu, Instagram, platform media sosial yang banyak digunakan oleh influencer, melakukan uji coba menghilangkan jumlah tanda suka (like) di beberapa negara. Ada pula perusahaan kehumasan (PR) yang meninggalkan dunia kehumasan via media sosial dan kembali ke cara-cara tradisional. Publik juga dikejutkan dengan laporan global yang menyebut banyak kecurangan yang dilakukan oleh influencer dari beberapa negara.
Instagram melakukan uji coba menghilangkan jumlah tanda suka untuk unggahan di beberapa negara, seperti Jepang, Selandia Baru, Australia, dan Kanada. Instagram beralasan agar para pengikut berfokus pada foto atau video yang dibagikan, bukan pada jumlah tanda suka. Studi yang dilakukan menyebutkan, notifikasi setelah mendapat tanda suka di gawai menyebabkan kecanduan media sosial makin meningkat. Langkah Instagram ini disambut beragam. Akan tetapi, bagi sejumlah influencer, hal ini merugikan karena selama ini bisnis mereka dihitung juga berdasarkan jumlah tanda suka itu.
Sebuah agensi kehumasan di Inggris yang bernama Atticism yang ditulis dalam laman PRWeek memutuskan untuk menghentikan penggunaan kanal kehumasan melalui media sosial dan kembali menggunakan cara-cara tradisional dalam mengomunikasikan keinginan para kliennya. Mereka mengatakan, selama ini para pemilik merek telah membuang-buang uang untuk meningkatkan komunikasi mereknya kepada publik.
Kampanye melalui media sosial, termasuk dengan menggunakan influencer, sebenarnya dinilai tidak efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan klien. Klien sebenarnya tidak puas ketika disodori dengan data jumlah tanda suka, komentar, dan orang melihat di media sosial mereka.
Di sisi lain, Atticism mengungkapkan, 80 persen waktu karyawannya tercurah untuk mengurusi kanal kehumasan melalui media sosial yang dipesan oleh klien. Sementara sisanya untuk mengurusi cara-cara kehumasan secara tradisional. Kondisi ini diakui sebenarnya tak disukai para pemilik merek atau klien. Apalagi, kini banyak ditemukan skandal dan kecurangan yang dilakukan oleh para selebritas di media sosial.
Langkah gila Atticism telah menurunkan pendapatan mereka di awal tahun ini. Namun, pada Februari, mereka malah mendapatkan kepercayaan dari merek-merek ternama untuk mengurus pencitraan merek itu secara konvensional. Merek-merek itu lebih percaya dengan cara-cara kehumasan model lama yang membuat mereka merasa senang. Bahkan, pendiri Atticism mengatakan, pendapatan mereka kini lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Sementara itu, meski sudah dikeluarkan sejak beberapa hari lalu, laporan A Good Company, sebuah usaha rintisan dari Swedia, dan HypeAuditor masih mendapat perhatian beberapa kalangan. Laporan yang dibuat berdasarkan riset bulan Mei 2019 ini menyebutkan, Indonesia adalah negara keempat yang banyak melakukan kecurangan dalam penggunaan Instagram oleh para influencer setelah Amerika Serikat, Brasil, dan India. Laporan ini keluar setelah mereka melakukan survei terhadap 1,85 juta akun media sosial itu. HypeAuditor dilibatkan untuk memastikan terjadinya kecurangan dengan menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Mereka menyebutkan, pengguna bersih (netuser) Instagram di Indonesia sekitar 31 juta pengguna. Sebanyak 25 juta pemilik akun lain diperkirakan menggunakan teknologi untuk menambah pengikut (follower) dan juga menggunakan teknologi untuk menambah tanda suka atau komentar. Tidak ada pembahasan lebih lanjut mengenai pasar Indonesia. Namun, secara global sekitar 64 persen mengakui melakukan tindakan tidak terpuji, termasuk membeli pengikut. Laporan itu juga menyebut, kerugian dalam jumlah besar dialami oleh para pemilik merek karena menggunakan influencer.
Dari semua kejadian itu, kita bertanya, bagaimana masa depan influencer, secara khusus di Indonesia? Tentu saja mereka masih ada. Mereka yang bertahan adalah mereka yang menggunakan media sosial secara bersih dan beretika. Mereka tidak tergoda untuk menambah pengikut dengan cara tidak terpuji, mereka bermedia sosial sesuai dengan minat dan keinginannya, dan mereka menerima klien yang sesuai dengan jiwanya. Mereka tidak memburu semua merek hanya demi penghasilan besar. Cepat atau lambat mereka akan terpisahkan dari para pemburu duit yang bertindak curang.
Mereka juga bakal teruji ketika klien melakukan beberapa perubahan. Influencer yang bertahan adalah mereka yang siap dengan perubahan dalam tata kelola penggunaan media sosial dalam kampanye merek. A Good Company memberi saran yang sangat radikal bagi para pemilik merek. Mereka menyarankan agar para pemilik merek tidak memercayai data yang diberikan oleh penyedia jasa influencer. Pemosisian merek memang akan membaik dengan kanal media sosial, tetapi ujung semua itu adalah harus diukur melalui penjualan. Oleh karena itu, semua harus diukur melalui jumlah penjualan produk pascakampanye di media sosial.
Mereka juga menyarankan, jangan takut meminta influencer untuk membeli produk dari pemilik merek. Cara ini digunakan untuk mengetahui minat mereka terhadap produk kita dan juga untuk memastikan posisi merek kita di mata influencer.