Fregat dan Tanker Inggris ”Tak Berdaya” Hadapi Iran
”Jika Anda menurut, Anda akan selamat. Ubah arahmu 360 derajat segera, ganti. Pemeriksaan tanker diperlukan untuk kepentingan keselamatan.”
Demikian perintah dari salah satu anggota Garda Revolusi Iran, yang meminta tanker milik Swedia berbendera Inggris, Stena Impero, mengubah arah ke perairan Iran di Selat Hormuz.
Itu bagian dari rekaman percakapan antara petugas maritim Garda Revolusi Iran dan awak Stena Impero, dirilis oleh Dryad Global, konsultan tentang risiko kemaritiman yang berbasis di London, Inggris, Minggu (21/7/2019).
Dari jarak 60 menit perjalanan laut, sebenarnya ada kapal fregat Inggris, HMS Montrose, menurut Menhan Inggris Penny Mordaunt. Kapal perang Inggris ini memang berpatroli di sekitar Selat Hormuz. Dari HMS Montrose terdengar suara yang bertujuan menyelamatkan Stena Impero berawak 23 orang dan berkebangsaan India, Rusia, Latvia, serta Filipina.
”Sir, saya menekankan bahwa Anda sedang memberi perintah kepada kapal yang sedang melaju di jalur internasional. Berdasarkan hukum internasional, perintah Anda tidak pas, itu pelanggaran, mengganggu dan menghambat,” demikian suara seseorang dari fregat Inggris yang ditujukan kepada Garda.
Suara dari fregat itu kemudian melanjutkan, ”Tolong dikonfirmasikan bahwa Anda tidak sedang bermaksud melanggar hukum internasional dengan memasuki MV Stena Impero.”
Baca juga: Sikap Iran Sangat Rasional (1)
Kalimat-kalimat dari fregat Inggris itu tidak berefek dan tidak membuat Iran keder (Associated Press, 21 Juli 2019). Pada bagian lain dari rekaman itu muncul suara dari pihak Iran. ”Tidak ada tujuan untuk menantang. Saya hanya ingin menginspeksi kapal untuk tujuan keamanan.”
Awak baik-baik saja
Stena Impero kemudian digiring Iran. Kantor berita Iran, Fars, hari Sabtu (20/7/2019) menyebutkan, tanker itu kini berlabuh di Pelabuhan Bandar Abbas, Iran, dengan pertahanan militer yang ketat. Para awak kapal tetap berada di dalamnya.
Stena Impero adalah milik perusahaan bernama Stena Bulk dan dikelola Northern Marine Management. Presiden Stena Bulk Erik Hanell mengatakan, ”Saya bisa mengonfirmasikan bahwa telah dikirimkan permohonan kunjungan pada 23 awak kapal. Permohonan disampaikan ke otoritas Bandar Abbas dan sudah diterima, tetapi kami masih menunggu jawaban formal.”
Hannel menambahkan, ”Semua awak kapal tetap bisa berkomunikasi dengan keluarga. Kami akan terus mencoba melakukan apa pun dan mendukung mereka.”
Baca juga: Serangan ke Iran Tak Perlu, Solusi Terbuka Lebar (1)
Pihak Stena Bulk dan Northern Marine Management mengatakan, saat diciduk pada hari Jumat (19/7), tanker sedang melaju di perairan internasional menuju Arab Saudi. Stena Impero kemudian didekati empat kapal kecil tak dikenal didampingi sebuah helikopter.
Tanker Mesdar
Pada hari yang sama, Jumat, tanker kedua, Mesdar berbendera Liberia, tetapi dioperasikan Inggris, juga dipaksa berbelok dari jalur menuju Ras Tanura, pelabuhan di Arab Saudi. Mesdar, milik Norbulk Shipping UK, digiring pasukan Iran yang memakai 10 speedboat. Para pasukan Iran memasuki kapal. Untungnya, Mesdar kemudian diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Semua awak kapal selamat dan baik-baik saja.
Ini merupakan kelanjutan dari aksi Iran terhadap kapal-kapal Inggris. Pada 10 Juli lalu, pasukan Iran berupaya mencegat satu tanker, British Heritage. Hanya saja, HMS Montrose saat itu berhasil mencegat tiga kapal militer Iran yang berupaya mengubah haluan tanker agar menuju perairan Iran.
Semua ini terjadi setelah pencegatan tanker Iran, Grace 1, di perairan Gibraltar (Inggris) pada 4 Juli 2019. Alasan pencegatan adalah Grace 1 membawa pasokan minyak Iran ke Suriah. Berdasarkan sanksi dari AS yang melarang pasokan ke Suriah, Uni Eropa termasuk Inggris wajib menahan Grace 1.
Para pejabat Iran kemudian mencanangkan akan mencegat tanker-tanker Inggris yang sedang melaju di Selat Hormuz. Juru Bicara Dewan Garda Abbas Ali Kadkhodaei mengatakan, pencidukan Stena Impero merupakan aksi resiprokal.
Inggris ”berdebat”
Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt mengingatkan bahwa aksi Iran akan meningkatkan ketegangan dan itu tidak bisa diterima. Namun, Hunt kemudian melembut bahwa jalur diplomasi merupakan pilihan untuk menyelesaikan masalah. Ini sehubungan dengan adanya debat di Inggris tentang posisi dilematis negara itu, yang telah terseret ke dalam perseteruan AS-Iran.
Hunt sebelumnya sudah menyatakan bahwa Inggris tidak ingin terlibat masalah dengan Iran. Hanya saja, negara itu tidak kuasa menolak keinginan AS terkait dengan penangkapan Grace 1.
AS juga mengenakan sanksi kepada Iran, yang harus diikuti negara-negara di dunia. Inggris termasuk yang menuruti AS. Akan tetapi, di Inggris muncul perdebatan. Ketua Partai Buruh Jeremy Corbyn mengatakan, ”Risiko eskalasi bisa beranjak lebih jauh. Keputusan Presiden AS Donald Trump yang mengacaukan perjanjian nuklir memicu risiko pada konflik besar.”
Awal dari semua ini adalah keluarnya AS secara sepihak pada Mei 2018 dari perjanjian nuklir dengan Iran yang dicapai pada 2015. Perjanjian itu didukung Perancis, Inggris, Jerman, Uni Eropa, Rusia, dan China. Setelah itu, AS semakin keras menekan Iran dengan sanksi-sanksi ekonomi.
Tak mau tunduk
Iran melawan dengan menembak jatuh drone AS, selain membalas atas penahanan Grace 1. Politisi Iran dari kalangan reformis, Mohammad-Sadegh Javadi-Hesar, mengatakan, Iran tidak akan membiarkan kesemena-menaan lagi soal Iran. ”Jika kita membiarkan Inggris memperlakukan kita secara tidak fair, pihak lain akan mengikuti.”
Saeed Laylaz, analis tentang ekonomi politik Iran, juga dari kaum reformis, mengatakan, ”Inggris telah berperan membantu agresi AS. Kami tidak memiliki pilihan selain bereaksi. Ini sekaligus mengingatkan, Inggris harus paham, sekarang ini bukan lagi era 1953.”
Ucapan Laylaz merujuk pada penjungkalan pemerintahan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddegh lewat kolaborasi AS-Inggris.
Inggris tampaknya berhati-hati, tidak mau terjerat langkah Trump yang salah kalkulasi. Ketua Komite Luar Negeri Parlemen Inggris Tom Tugendhat mengatakan, tidaklah bijaksana memakai kekuatan militer untuk merespons aksi Iran. ”Kita harus mencoba meredakan situasi. Soalnya ketegangan meningkat di Timur Tengah,” katanya.
Tidak bertujuan mengganggu
Inggris tidak memiliki sumber daya yang diperlukan untuk melindungi semua kepentingan pelayaran di seluruh dunia. Akan tetapi, politisi dan mantan komandan Garda, Mayjen Mohsen Rezai menuliskan Iran tidak sedang mencari konflik. ”Namun, kami tidak akan bersikap diam atas setiap provokasi,” katanya.
Inggris tidak berdaya penuh. Trump mencoba menunjukkan diri seakan masih bertaring. Dia menyatakan akan terus bekerja sama dengan Inggris soal pencidukan tanker Inggris.
Akan tetapi, AS pun tidak berdaya penuh berdasarkan kalkulasi menyeluruh yang penuh risiko. AS sejauh ini hanya bisa berteriak-teriak. ”Iran itu terus buat masalah, masalah,” kata Trump, yang dikritik banyak pihak sangat gegabah.
Trump mencari masalah sejak membawa AS menarik diri dari perjanjian nuklir dengan Iran, yang rupanya memunculkan aksi provokasi balasan dari Iran. Sejauh ini AS hanya menjanjikan peningkatan kehadiran militer dengan pengiriman 500 pasukan tambahan dan juga pesawat dan rudal ke Arab Saudi, rival Iran. (REUTERS/AFP/AP)