Dunia pertelekomunikasian seluler Indonesia sedang disibukkan wacana penerapan validasi IMEI (international mobile equipment identity) oleh pemerintah, antara lain untuk memotong jalur ponsel pintar di pasar gelap (BM-black market).
Oleh
Moch S Hendrowijono
·4 menit baca
Dunia pertelekomunikasian seluler Indonesia sedang disibukkan wacana penerapan validasi IMEI (international mobile equipment identity) oleh pemerintah, antara lain untuk memotong jalur ponsel pintar di pasar gelap (BM-black market). Keberadaan ponsel BM sedang marak, harganya bisa beda Rp 300.000 dengan ponsel legal.
Pasar Indonesia memang sangat menarik, dan menurut Asosiasi Ponsel Seluruh Indonesia (APSI), pada 2018 pasar kita menyerap 45 juta ponsel pintar (smartphone) baru. Dari jumlah itu, 20 persen merupakan ponsel BM dan akan menjadi 30 persen tahun 2019 jika tidak ada kebijakan ketat pemerintah, termasuk soal validasi tadi.
Ketua APSI Hasan Aula mengatakan, sebanyak 20 persen pada 2018 berarti ada sekitar 9 juta ponsel BM yang, kalau harganya rata-rata Rp 2,5 juta, nilainya Rp 22,5 triliun. Ponsel BM tidak bayar pajak sehingga potensi kerugian negara dari hilangnya pendapatan 10 persen PPN dan 2,5 persen PPh adalah sekitar Rp 2,8 triliun.
Tahun ini, potensi kehilangan pajak akan lebih banyak sebab porsi ponsel BM bisa 30 persen dari 50 juta ponsel. Itu karena pintu masuk ponsel BM di banyak negara, misalnya Turki, Pakistan, India, dan Rusia sudah mulai ditutup lewat kebijakan validasi IMEI, sementara pasar Indonesia sampai saat ini masih terbuka.
Tahun ini, potensi kehilangan pajak akan lebih banyak sebab porsi ponsel BM bisa 30 persen dari 50 juta ponsel.
Pemerintah mencoba membendung ponsel BM, tetapi masih dalam tahap merundingkan bentuk kebijakan yang paling pas agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Ini mengaca pada kebijakan registrasi kartu SIM yang menimbulkan gejolak, baik di masyarakat, pedagang kartu perdana, maupun operator.
Saat itu masyarakat kesal karena harus melakukan proses pendaftaran ulang. Penjual kartu merasa rezekinya dipersempit dan operator menjerit karena jumlah pelanggan mereka menurun drastis. Pelanggan Telkomsel turun dari 198 juta menjadi 160 jutaan, XL Axiata dari 56 juta jadi 54 juta, dan Indosat dari 106 juta tinggal 54 juta pelanggan.
IMEI abal-abal
Beda dengan program validasi IMEI yang, menurut rencana, dikeluarkan oleh tiga kementerian (Perdagangan, Perindustrian, dan Kominfo) pada sekitar 17 Agustus 2019, di sini pelanggan tidak melakukan apa-apa. Bahkan, juga bagi mereka yang sudah memakai ponsel BM.
Untuk melakukan validasi IMEI, Kementerian Perindustrian memiliki alat sumbangan Qualcomm Indonesia yang namanya DIRBS (device identification registration and blocking system). Mesin ini punya daftar IMEI ponsel yang didapat dari produsen lokal dan importir resmi, satu IMEI untuk satu slot kartu SIM di ponsel. Angka IMEI dikeluarkan oleh organisasi dunia GSM-A, tetapi ada saja pabrik abal-abal yang menggandakan IMEI sehingga merepotkan validasi.
Data di DIRBS yang lalu dinamai Sibina (sistem informasi basis data IMEI nasional) itu bisa diakses semua operator. Ketika satu ponsel diaktifkan setelah memasukkan SIM, operator akan mencocokkannya dengan daftar Sibina.
Jika IMEI tidak terdaftar, ponsel tadi masuk daftar hitam di jaringan semua operator. Ponsel BM hanya bisa menggunakan jaringan Wi-Fi.
Pemerintah akan memberi batas waktu tertentu agar kios yang punya beberapa ponsel BM bisa mendaftarkannya lewat aplikasi yang tersedia. Sementara itu, ponsel BM tetap bisa digunakan asal sebelumnya pernah setidaknya sekali masuk ke jaringan operator.
Ini beda dengan Turki dan Pakistan yang mewajibkan pemilik ponsel BM membayar pajak terutang sebelum bisa diaktifkan kembali. Pemerintah tampaknya juga akan menyasar WNI yang pulang dari luar negeri membawa ponsel, yang tidak bisa mengaktifkan ponselnya dengan kartu SIM lokal sebelum membayar pajaknya.
Turis asing masih bisa menggunakan ponsel mereka dengan SIM negara asal. Namun, memasukkan kartu SIM operator lokal, ponselnya akan diblok sebelum mereka mendaftar.
Dibayari kementerian
Kebijakan validasi IMEI ikut menguntungkan masyarakat dengan akan berkurangnya pencurian ponsel karena ponsel curian akan diblokir operator.
Di sisi pemerintah akan ada tambahan pemasukan pajak triliunan rupiah yang sebenarnya bisa didapat sejak lama kalau aparat Kementerian Keuangan (Pajak dan Bea Cukai) ketat mengawasi importasi ponsel. Saat ini, 50 persen dari impor ponsel BM, menurut APSI, adalah ponsel Xiaomi, disusul Apple/iPhone.
Operator siap mendukung kebijakan pemerintah. Namun, mereka berharap kebijakan pemerintah tidak memberatkan karena harga perangkat validasi IMEI konon besarannya sejalan dengan jumlah pelanggan.
Operator pun mengeluhkan government cost yang di Indonesia cukup tinggi, padahal ada operator yang masih membukukan kerugian di atas Rp 1 triliun. ”Kami bersedia melakukan hal tersebut, tetapi bukan bertanggung jawab untuk melakukan filterisasi,” ujar Presiden Direktur dan CEO PT XL Axiata Dian Siswarini.
Menurut Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo Ismail, operator memiliki lisensi dari pemerintah yang berisi hak dan kewajiban. Hak untuk mendapat penghasilan dari operasional mereka dan kewajiban untuk menaati dan menjalankan kewajiban dari pemerintah.
Namun, pemikiran Merza Fachys, mantan Ketua Asosiasi Penyelenggara Telepon Seluler Indonesia (ATSI) dan Dirut PT Smartfren boleh juga dipertimbangkan. Ia bertanya, sebenarnya siapa yang diuntungkan, selain Kementerian Keuangan? Kenapa investasi untuk operator tidak dibayari institusinya Sri Mulyani ini? (Moch S Hendrowijono, wartawan Kompas 1974-2005)