Menangkal Radikalisme
Keterpaparan pada radikalisme agama (Islam) yang kini berkembang pada masyarakat luas, dan khususnya pada generasi muda terpelajar, adalah sebuah keniscayaan. Penyebabnya, sesungguhnya sejak jatuhnya Bung Karno, bangsa ini hidup tanpa kejelasan dasar negara akibat sejak awal Orde Baru telah terjadi pemalsuan dan pengingkaran nilai-nilai Pancasila.
Penyebab keterpaparan
Sejarah perjuangan kemerdekaan mencatat, ketergesa-gesaan untuk segera merdeka, membuat bapak pendiri bangsa kita belum sempat menjabarkan nilai-nilai luhur Pancasila secara utuh dan menyeluruh menjadi nilai-nilai operasional sebagai ”hukum dasar” dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang dituangkan ke dalam batang tubuh UUD 1945.
Dalam praktiknya, Orde Baru kemudian melengkapi kekurangan ”hukum dasar” termaksud melalui TAP MPRS/MPR sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Rakyat kemudian dijadikan obyek kelinci percobaan gagasan elite Orde Baru tentang sistem kenegaraan. Tanpa peduli dari mana sumber, validitas keilmuan, dan apalagi jaminan keberhasilan dalam praktiknya, model tata kelola sistem kenegaraan yang dirumuskan Orde Baru kemudian dilabeli dengan sebutan Pancasila.
Tegasnya, nama, simbol, dan atribut yang digunakan memang betul Pancasila, tetapi kandungan nilai dan apalagi jiwa serta semangat yang melingkupinya sama sekali bukan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana dimaksudkan bapak pendiri bangsa. Dengan sebutan Demokrasi Pancasila, yang diterapkan Orde Baru sesungguhnya sistem negara otoriter.
Bangsa yang dikenal dengan budaya adhi luhung kemudian kehilangan rasa kemanusiaannya. Kehidupan masyarakat yang begitu marak dengan simbol-simbol keagamaan, dalam praktiknya sebagian dari mereka terlebih elitenya sesungguhnya tidak berketuhanan, bahkan sesembahan mereka justru berhala (jabatan, uang, dan atau kenikmatan duniawi lainnya).
Dengan konsep dwifungsi, ABRI kemudian dijadikan alat kekuasaan, termasuk untuk melakukan kontrol sosial. Lebih dari itu, atas nama kepentingan dan pembangunan nasional, alat kelengkapan negara secara sah menurut hukum begitu saja menzalimi bangsanya sendiri dengan berbagai stigma politik. Dan, masih banyak lagi model serta mekanisme tata kelola kekuasaan negara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri.
Dengan konsep Ekonomi Pancasila, negara yang diberi berkah Tuhan YME berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, rakyatnya justru dimiskinkan secara struktural oleh negaranya sendiri. Sumber daya alam yang ada kemudian dibagi-bagikan sedikit untuk BUMN dan yang jauh lebih banyak lagi untuk kroni penguasa, di dalam dan luar negeri.
Mereka kemudian diberi kemudahan, proteksi, bahkan posisi monopoli dan sudah barang tentu juga akses ke fasilitas perbankan. Sementara rakyatnya hanya bisa berebut mengais sisa rezeki yang belum sempat mereka kuasai. Ibarat dalam kehidupan nelayan, ”mulai dari ikan kakap hingga ikan paus diambil negara dan rakyatnya disuruh rebutan ikan teri”.
Pasca-lengsernya Soeharto, kondisi itu terus berlanjut karena perubahan yang dilakukan melalui reformasi 1998 ternyata menyertakan nilai-nilai lama dan juga orang-orang lama yang justru bermasalah. Di sanalah sejak awal reformasi hingga kini terus terjadi turbulensi elite. Lebih dari itu, praktik kartel dan oligarki kekuasaan yang di masa lalu dilakukan penguasa, di era reformasi jadi berbalik, justru dilakukan kekuatan kapital.
Sungguh tepat pernyataan Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya yang menyebut ”mafia di mana-mana, di mana-mana mafia”. Adalah fakta tak terbantahkan kalau banyak pejabat negara, tak terkecuali di lingkungan elite TNI/Polri dan lembaga peradilan, termasuk di lingkungan hakim agung, adalah hasil ternakan mafia. Belum lagi bicara tentang kesenjangan wilayah dan kerusakan sosial lain, yang kesemuanya itu oleh pemerintah kini dengan sekuat tenaga tengah diperbaiki.
Maka dapat dipahami kalau di era reformasi, rakyat banyak dan terlebih generasi mudanya menjadi tidak peduli atau bahkan muncul kesangsian terhadap keberadaan Pancasila karena realitanya dengan Pancasila sebagai dasar negara, telah mengantar bangsa ini berulang kali dilanda krisis nasional serta malapetaka kemanusiaan yang ujungnya kini kondisi kehidupan bangsa menjadi begitu nestapa akibat sistem kenegaraan yang amburadul.
Dari realitas sebagaimana dijelaskan di atas, lantas bagaimana mungkin ketika ada harapan baru—apalagi yang dikemas dengan bungkus agama—tidak membuat generasi muda dan apalagi kaum terpelajarnya tergerak hatinya untuk menjadikan konsep alternatif dalam menatap masa depan diri, bangsa, dan negaranya.
Dan, kondisi itu menjadi lebih subur ketika untuk tujuan politik tertentu, pemerintahan terdahulu memberikan kelonggaran dan malah ngopeni pihak- pihak yang hendak mengembangkan paham radikalisme.
Upaya penangkalan
Sesungguhnya keterlambatan pemerintah dalam menangani persoalan radikalisme juga tak bisa lepas dari kelalaian pemerintah di masa lalu dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang dibentuknya Dewan Pertahanan Negara yang salah satu fungsinya menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara, termasuk dalam hal pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian bela negara dalam membangun ketahanan nasional di bidang ideologi, sesuai kebutuhan kekinian.
Beruntung, Presiden Jokowi dengan sigap segera menerbitkan Perppu Ormas yang kemudian telah disahkan sebagai UU No 16/2018 tentang Penetapan Perppu Ormas Menjadi UU. Dan, dengan mendasarkan pada hukum, pemerintah juga mengambil kebijakan tegas membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Selain itu, juga dibentuk Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Untuk itu, ke depan Presiden selaku kepala negara bisa saja memanfaatkan keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di samping untuk membantu dalam merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara—dalam hal ini yang terkait bela negara dalam mewujudkan ketahanan nasional di bidang ideologi—bisa saja dimanfaatkan untuk menjabarkan nilai-nilai luhur Pancasila yang diamanatkan oleh bapak pendiri bangsa, menjadi nilai-nilai operasional yang kelak dijadikan amanat pasal-pasal UUD melalui amendemen kelima UUD 1945.
Dengan demikian, dalam menjalankan sistem kenegaraan, ke depan bangsa ini punya ”hukum dasar” yang benar-benar bersumber dari Pancasila. Dengan demikian, praktik pelabelan nilai-nilai yang berasal dari paham lain dengan ”merek” Pancasila akan berakhir dengan sendirinya.
Hal mendasar lain dalam menangkal berkembangnya radikalisme adalah dengan peningkatan kualitas syiar agama. Ke depan pendakwah harus menguasai masalah-masalah kenegaraan di samping mutlak harus tahu asbabun nuzul atau sebab-sebab yang melingkupi turunnya ayat dari setiap ayat yang diajarkannya. Dengan demikian, agama tak akan pernah tampil menakutkan, apalagi jadi sumber malapetaka kemanusiaan yang diatasnamakan perintah Tuhan karena ayat hanya dibaca tekstual.
Ke depan, pemerintah juga tak boleh lagi berdiam diri terkait keberadaan puluhan ribu pondok pesantren yang lebih menitikberatkan pada pembekalan anak didik untuk siap hidup di akhirat, yang realitasnya untuk sampai ke tujuan itu masih perlu waktu panjang. Dengan pembekalan keterampilan yang difasilitasi pemerintah, niscaya akan mengurangi potensi umat Islam jadi lahan subur berkembangnya radikalisme karena faktor kemiskinan dan kesulitan hidup mayoritas bangsa yang kebetulan beragama Islam.
Saurip Kadi Mayjen TNI (Purn) Mantan Aster Kasad