Jangan Jadi Kota Teroris
Cukup mengagetkan membaca berita penangkapan 29 terduga teroris hanya dalam 17 hari selama Mei 2019. Menurut Kepala Divisi Humas Polri, 18 terduga teroris ditangkap di kawasan Bekasi, Jawa Barat.
Sebagai warga negara, saya tentu mengapresiasi hasil kerja polisi khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI. Namun, di sisi lain, sebagai penduduk Bekasi, saya jadi khawatir. Tampaknya kami harus serius memperbaiki iklim komunikasi dalam kehidupan antarwarga agar Bekasi tidak menjadi kota teroris.
Sebagian warga Bekasi, baik kota maupun kabupaten, umumnya bekerja di DKI Jakarta. Mereka berangkat dari pagi, bahkan ada yang sebelum subuh. Pulang pun lewat waktu maghrib. Oleh sebab itu, waktu berkomunikasi antarwarga menjadi sangat terbatas.
Hal ini berpengaruh dalam kehidupan sosial di wilayah Bekasi yang cenderung individual, kurang kepedulian antarwarga. Padahal, kehidupan sosial yang ’guyub’ bisa mendeteksi sekaligus mengatasi berbagai hal.
Kondisi sosial yang individualistik ini harus kita kembalikan kepada kehidupan bermasyarakat gotong royong. Untuk itu kehadiran pemerintah kota dan kabupaten Bekasi melalui aparat di tingkat kecamatan dan kelurahan, sangat dibutuhkan warga.
Berita 18 terduga teroris yang ditangkap di wilayah Bekasi tidak boleh diabaikan. Seyogianya pola pengamanan wilayah melalui sistem keamanan lingkungan (siskamling) bisa dihidupkan kembali. Selain menjadi sarana pemersatu warga, siskamling sekaligus bisa menghindarkan stigma Bekasi Kota Teroris!
A RISTANTO
Jatimakmur, Pondokgede, Bekasi
Sejarah Jawa (3)
Terima kasih kepada Saudara Rusdi di Surat Kepada Redaksi (Kompas, 20/4/2019) yang sudah menanggapi tulisan saya tentang Sejarah Jawa (24/4/2019). Benar sekali, bahwa Pangeran Sekar Seda Lepen justru adalah Pangeran Suryawiyata (ayah Arya Penangsang). Saya akui, saya mengetiknya terbalik.
Tentang para putra Raden Patah (raja Demak pertama), menurut Babad Tanah Jawa dan Serat Panatiradya, Pangeran Suryawiyata (R Kikin ayah Arya Penangsang) adalah putra R Patah dari istri ketiga (putri Adipati Jipang, sekarang wilayah Cepu). Istri pertama melahirkan Adipati Unus (Jepara) dan Trenggana (Bintoro Demak), sedang istri kedua melahirkan Pangeran Kaduwuran. Logikanya anak dari istri pertama yang dituakan.
Saya selalu bertanya-tanya, mengapa Pangeran Surawiyata merasa berhak jadi Raja Demak? Padahal, Sultan Trenggana lebih senior, sekaligus putra dari permaisuri Raja Demak, yang tentunya lebih berhak atas takhta Demak.
Gunanto Surjono
Sosrowijayan Wetan,
Yogyakarta, 55271
Pelintasan Macet
Sejak jalur kereta api di daerah Makaliwe-Muwardi, Grogol, Jakarta Barat, menjadi jalur ganda, frekuensi lalu lintas kereta api menjadi lebih sering dan akhir-akhir ini bertambah dengan kereta bandara.
Setiap beberapa menit sejak subuh sampai hampir tengah malam pintu/palang kereta menutup. Jika KRL dan kereta bandara melintas hampir bersamaan, pintu/palang kereta akan menutup selama hampir 10 menit.
Dapat dibayangkan dampaknya pada lalu lintas yang melewati daerah padat seperti Jalan Makaliwe dan Muwardi, yang juga menjadi jalan utama bagi truk kontainer menuju Jalan Tol Tomang-Merak.
Kemacetan dapat mencapai beberapa ratus meter di sisi Timur yang meliputi Jalan Semeru sampai Jalan Muwardi Raya/Muwardi II/Pasar Grogol, dan di sisi barat meliputi Jalan Makaliwe mulai dari Jembatan Besi, Bundaran Grogol, sampai Jalan Latumeten.
Apakah tidak ada rencana dari pihak PT KAI atau Pemprov DKI Jakarta untuk membangun underpass?
Jahja
Grogol, Jakarta Barat