Tolong Hargai Kerja Kami
Saya ketua KPPS di salah satu TPS di Kota Semarang. Bersama 5,6 juta anggota KPPS (dari 813.000 TPS) di seluruh Indonesia, kami menjadi ujung tombak penyelenggaraan Pemilu 2019. Berbekal bimbingan teknis kilat PPK, kami laksanakan pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2019 sesuai dengan panduan KPPS.
Pemilu 2019, selain sangat kompleks, disertai sistem prosedur ketat, tetapi sangat transparan. Dalam distribusi Surat Pemberitahuan Pemungutan Suara kepada pemilih (model C-6) berbasis DPT, misalnya, bila ada pemilih yang tidak dikenal/tidak dapat ditemui/pindah alamat memilih, surat C-6 tersebut harus dikembalikan ke PPS.
Artinya, hanya pemilih yang jelas yang mendapat undangan tersebut. Demikian pula pada hari pencoblosan. Saat pendaftaran, identitas pemilih dicek dan dicocokkan lagi dengan DPT, DPTb, dan DPK.
Dibutuhkan waktu relatif lama, ketelitian, dan kecermatan dalam pelaksanaan Pemilu 2019, belum lagi begitu banyak dokumen yang harus ditandatangani (kurang lebih 1.500 lembar dokumen, antara lain Model C-6, Surat Suara, Model C, dan sebagainya).
TPS kami mulai pukul 06.00 dan baru berakhir pada pukul 04.00 dini hari. Itu dikerjakan secara terus-menerus tanpa henti kecuali ishoma. Sungguh sangat menguras tenaga, pikiran, dan stamina. Saya yakin situasi seperti itu juga terjadi di 813.000 TPS di seluruh Indonesia.
Dalam situasi seperti itu, sungguh tidak terpikir bagi kami untuk berbuat curang atau penyimpangan lainnya. Kesalahan mungkin saja terjadi, semata-mata akibat faktor kelelahan. Karena itu fakta bahwa banyak petugas yang meninggal dan jatuh sakit, menjadi bukti bahwa penyelenggaraan Pemilu 2019 sungguh sangat berat, melelahkan, dan mengakibatkan stres tinggi. Fakultas kedokteran UI menyatakan, beban kerja melebihi ambang batas. Belum lagi perjuangan para petugas dalam mendistribusikan logistik pemilu ke pelosok terpencil.
Kami tidak mabuk pujian, tetapi jika ada pihak-pihak yang dengan lantang mengatakan pemilu curang atau pemilu gagal, itu sungguh tidak patut! Sejauh ini, tuduhan tidak sesuai dengan fakta. Tolong hargai kerja kami!
Semua ini adalah demi bangsa dan negara kita.
Bharoto
Jl Kelud Timur, Gajah Mungkur, Semarang
SK Pensiun
Syukur Alhamdulillah, setelah 35 tahun menjadi guru, akhirnya saya dapat mengakhiri profesi saya sebagai guru ASN di SMA 1 Jatiwangi, Majalengka. Saya pensiun mulai 29 Maret 2019.
Namun, di balik rasa syukur, saya sebenarnya waswas dan bingung karena sampai saat ini saya belum menerima SK Pensiun dan SKPP (Surat Keputusan Penghentian Pembayaran). Padahal, kedua dokumen itu merupakan syarat pencairan uang pensiun, Taspen, dan Tabungan Bapertarum.
Di sisi lain, gaji dan tunjangan lain yang biasa saya terima setiap bulan sudah dihentikan sejak 1 April 2019. Keterlambatan menerima SK Pensiun dan SKPP juga dialami sejawat yang pensiun lebih awal di tempat saya bertugas. Yang bersangkutan baru menerima SK Pensiun setelah menunggu 5 bulan, tetapi haruskah hal ini dianggap sebagai takdir belaka?
Inikah bentuk penghargaan terhadap kami yang memasuki masa pensiun?
Apakah para pemangku kepentingan tidak pernah berpikir bahwa suatu saat mereka pun akan pensiun?
Ketika para ASN bersukacita menerima tunjangan gaji ke-13 dan ke-14 serta rapel gaji, saya hanya bisa mengelus dada, ibarat tengah menunggu Godot.
Semoga berkah Ramadhan dan Lebaran memberikan kekuatan lahir batin kepada saya dalam menjalani kehidupan di awal masa pensiun ini, meskipun hak-hak saya sebagai seorang pensiunan ASN belum dapat saya nikmati. Entah sampai kapan.
Ahmad Firdaus
Desa Sutawangi, Jatiwangi
Majalengka