Buku elektronik sempat diperkirakan bakal berkembang dan menggantikan buku cetak. Akan tetapi, dugaan itu setidaknya belum terbukti hingga saat ini. Malah kecenderungan penggunaan buku elektronik tidak terlalu besar. Buku cetak ternyata tetap digemari.
Oleh
Andreas Maryoto
·4 menit baca
Buku elektronik sempat diperkirakan bakal berkembang dan menggantikan buku cetak. Akan tetapi, dugaan itu setidaknya belum terbukti hingga saat ini. Malah kecenderungan penggunaan buku elektronik tidak terlalu besar. Buku cetak ternyata tetap digemari. Meski demikian, ada perkembangan baru dalam penjualan buku. Tak cukup lagi hanya sekadar menjual buku di toko. China kembali menjadi pelopor dalam inovasi penjualan buku.
Pada tahun 2015, fenomena buku cetak tidak bisa dikalahkan oleh buku elektronik sudah mulai terlihat. Selanjutnya, pada 2017, secara global penjualan buku elektronik turun 17 persen, sementara penjualan buku cetak naik 5 persen. Banyak orang kembali ke buku cetak karena berbagai alasan, seperti buku cetak bisa menjadi kado yang berkesan, bau kertas juga memberi sensasi tersendiri, serta membaca buku menjadi contoh bagi anak-anak bahwa hidup ternyata bisa lepas dari gawai yang makin mencandu itu.
Fenomena ini bisa dilihat di toko buku, di mana toko buku kembali bergairah. Pengunjung juga mulai ramai kembali. Toko buku tak lagi sepi seperti beberapa tahun sebelumnya. Perkembangan itu ternyata ditangkap beberapa kalangan untuk mengembangkan inovasi dalam penjualan buku cetak. Lebih tepatnya inovasi ini mungkin bisa mendisrupsi toko buku-toko buku konvensional yang selama ini ada.
Sebuah artikel berjudul ”Look to China if You Want to Disrupt the Way We Sell Books” memperingatkan kita soal disrupsi di penjualan buku. Toko buku konvensional sepertinya akan terancam oleh dua inovasi, yaitu penjualan melalui kanal media sosial dan toko buku yang tidak lagi mempekerjakan pegawai karena telah menggunakan teknologi digital dan robot.
Penjualan buku via laman daring terus meningkat. Dua tahun lalu, sekitar 45 persen penjualan buku di China sudah melalui laman daring. Uniknya, platform obrolan (chatting) juga menjadi kanal untuk penjualan buku. WeChat adalah platform obrolan yang sangat besar penggunanya di China. Platform ini juga mempunyai fasilitas sistem pembayaran.
Kanal ini menjadi tempat para komunitas yang berisi tenaga profesional dengan jumlah pengikut di media sosial sangat besar serta para penggemar buku untuk berbagi informasi, kajian buku, dan rekomendasi buku yang bisa dibeli dan dibaca. Komunitas itu lahir dari kenyataan bahwa rekomendasi dari teman sebaya, dari pakar, dan juga informasi dari lingkungan terdekat lebih dipercaya dibandingkan informasi dari sumber lain. Orangtua lebih percaya ketika guru memberi rekomendasi buku yang bisa dibaca anak-anaknya. Teman menjadi informasi dalam memilih buku.
Fenomena ini telah mendorong penerbit membangun kerja sama dengan WeChat. Penerbit mengatakan bahwa cara penjualan itu menjadi sangat efisien sehingga mereka banyak merekrut orang berpengaruh di media sosial (influencer) yang memiliki kemampuan profesional untuk memberikan rekomendasi buku yang diperlukan pembaca. Mereka diajari untuk mendengarkan kebutuhan dan memahami konsumen. Penjualan dengan cara seperti ini melonjak sehingga otomatis honor untuk mereka pun tinggi.
Pesan dari penulis artikel di atas, yaitu Stephanie Michaux, salah satu narasumber penting dalam bisnis perbukuan, adalah penerbit harus kreatif mencari cara untuk berkolaborasi. Penerbit yang bisa berhubungan langsung dengan konsumen melalui berbagai platform media sosial telah memotong peran pihak ketiga, yang berarti mengurangi biaya. Penerbit seperti ini harus makin menajamkan keterampilan dan pengetahuan mereka bahwa dalam berjualan harus berorientasi kepada konsumen. Mereka harus mencari informasi kebutuhan mereka serta mengetahui perubahan perilaku calon pembeli secara akurat. Tim pemasaran yang kuat dibutuhkan untuk mengetahui konsumen lebih baik, membaca tren, dan lain-lain.
Para pemilik toko buku konvensional juga bakal terancam menyusul munculnya toko buku tanpa pegawai. Sebanyak 20 toko buku di Beijing sudah tidak lagi menggunakan tenaga manusia. Mereka menggunakan teknologi pengenal muka (face recognition) dan robot untuk sistem pembayaran menggantikan kasir. Robot juga bisa merekomendasikan buku-buku baru berdasarkan catatan pembelian buku sebelumnya ketika calon pembeli hendak memasuki salah satu toko buku itu.
Dua fenomena itu menjadi ancaman serius bagi keberadaan toko buku dan juga para pengkaji buku. Rekomendasi buku dengan menggunakan algoritma menjadikan pengelolaan stok buku makin efisien. Mereka sudah tahu secara akurat buku-buku yang dicari pembeli. Secara umum, penerbit dan toko buku cenderung mengarah pada penyediaan buku berbasis kebutuhan konsumen saja. Para pengkaji buku mungkin akan berhadapan dengan algoritma yang akan menyediakan informasi buku-buku yang dicari berdasarkan catatan pembelian buku-buku sebelumnya.
Toko buku tanpa pegawai penjualan yang langsung menawarkan buku melalui media sosial, khususnya platform perbincangan atau obrolan, menjadi tantangan toko buku konvensional. Sekali lagi, kreativitas dibutuhkan untuk bertahan di tengah gelombang perubahan dahsyat dengan mendengarkan dan mengetahui kebutuhan konsumen secara akurat.