Demonstrasi besar di Hong Kong merefleksikan kecemasan warga wilayah tersebut terhadap kemungkinan peningkatan pengaruh Beijing.
Ratusan ribu orang, bahkan diklaim mencapai sekitar satu juta orang, turun ke jalan-jalan raya di Hong Kong. Mereka menolak rencana revisi undang-undang ekstradisi. Dengan revisi ini, Hong Kong intinya akan memiliki payung hukum untuk melakukan ekstradisi terhadap orang yang melakukan kejahatan di wilayah lain.
Sebelum muncul rencana revisi itu, terjadi pembunuhan terhadap seorang perempuan oleh kekasihnya di Taiwan, tahun lalu. Sang kekasih kemudian pulang ke Hong Kong. Meskipun menjadi terduga pelaku pembunuhan, sang kekasih tidak dapat dikirim ke Taiwan untuk menjalani proses hukum karena tak ada perjanjian ekstradisi. Selain itu, pelaku ini tidak dapat diadili di Hong Kong karena pengadilannya tak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di luar wilayah itu.
Dengan revisi ini, Hong Kong intinya akan memiliki payung hukum untuk melakukan ekstradisi terhadap orang yang melakukan kejahatan di wilayah lain.
Beberapa bulan silam, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengusulkan sebuah solusi atas problem itu. Ia mengajukan rancangan revisi terhadap undang-undang ekstradisi yang sudah ada.
Usulan pemimpin Hong Kong itu menimbulkan kekhawatiran di kalangan warga, terutama aktivis prodemokrasi. Rancangan revisi undang-undang tersebut dikhawatirkan akan membuat Beijing dapat meminta siapa saja yang dianggap melanggar hukum yang berlaku di China daratan untuk diekstradisi.
Kalangan bisnis juga khawatir praktik ekstradisi akan memungkinkan Beijing untuk menekan pengusaha Hong Kong yang dekat dengan pengusaha atau pihak Amerika Serikat (AS). Mereka setiap saat terancam diekstradisi ke China daratan dengan tujuan memberikan tekanan kepada kalangan usaha Hong Kong di tengah perang dagang China-AS.
Diserahkan kembali oleh Inggris kepada China pada 1997, Hong Kong dijamin oleh Beijing hingga 2047 untuk tetap menerapkan kebebasan dan sistem hukum sendiri. Hal ini biasa disebut sebagai ”satu negara, dua sistem”. Rancangan revisi undang-undang mengenai ekstradisi dilihat mengancam prinsip yang membuat Hong Kong selama ini memiliki hukum sendiri dan tetap bebas tersebut.
AS mengkritik rancangan revisi regulasi ekstradisi. Washington mengingatkan revisi hukum ekstradisi akan membuat hubungan AS dengan Hong Kong ditinjau ulang. Sebaliknya, Beijing mengingatkan AS agar tak mencampuri urusan Hong Kong yang tak lain sepenuhnya urusan dalam negeri China.
Seandainya nanti revisi undang-undang ekstradisi itu berlaku, tak ada alasan bagi terduga pelaku untuk tidak menjalani proses hukum, meskipun kejahatan terjadi di luar Hong Kong. Namun, di sisi lain, kekhawatiran warga Hong Kong terhadap dampak tak diinginkan dari penerapan ekstradisi itu perlu menjadi perhatian. Prinsip kebebasan yang selama ini terjamin jangan sampai terkikis.