Hampir dua tahun krisis di Rakhine, Myanmar, menjadi sorotan dunia. Namun, tidak ada perbaikan signifikan. Krisis itu menjadi noda kemanusiaan di Asia Tenggara.
Beberapa wilayah di Rakhine, negara bagian di Myanmar di tepi pantai barat Teluk Benggala, tak ubahnya wilayah yang diisolasi dari dunia internasional. Tidak banyak orang, termasuk pejabat dan pekerja kemanusiaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bisa memasuki wilayah-wilayah itu. Bahkan, bantuan kemanusiaan pun tak bisa menembus wilayah-wilayah yang ditutup oleh otoritas Myanmar.
Keprihatinan tersebut dikemukakan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan Ursula Mueller. Sejak akhir pekan lalu, ia berada di Myanmar untuk membicarakan bantuan kemanusiaan bagi warga Rohingya. Dalam enam hari kunjungan itu, Mueller diberi akses mengunjungi kamp-kamp warga Rohingya di luar Sittwe, ibu kota Rakhine.
Di kamp-kamp tersebut, ribuan warga Rohingya tinggal sejak kekerasan melanda pada 2012. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki status kewarganegaraan, gerak mereka dibatasi, dan tidak mendapat pemenuhan kebutuhan dasar. ”Apabila bantuan, termasuk klinik-klinik berjalan, tak bisa menjangkau masyarakat, mereka tidak mempunyai akses pada layanan kesehatan, kebutuhannya tidak terpenuhi, dan sebagian orang bisa meninggal,” kata Mueller.
Kedatangan Mueller ke Myanmar untuk meretas akses ke lokasi warga korban kekerasan yang tak tersentuh bantuan kemanusiaan. Akses itu akan digunakan para pekerja kemanusiaan untuk menyalurkan bantuan bagi para korban.
Rakhine menjadi sorotan luas publik dunia sejak Agustus 2017 saat sekitar 730.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat pertempuran antara pasukan Pemerintah Myanmar dan kelompok militan. Beberapa upaya repatriasi telah dicanangkan, tetapi semua hanya tertuang di atas kertas kesepakatan. Memang saat itu ada kekhawatiran tentang nasib dan keselamatan mereka jika direpatriasi, padahal situasi keamanan di Rakhine belum pulih.
Yang ingin diupayakan Mueller dalam kunjungan ke Myanmar tak lebih dari akses yang ”jelas dan berkelanjutan” bagi para pekerja kemanusiaan PBB untuk menyalurkan bantuan bagi warga Rakhine. Namun, seperti ditegaskan dalam laporan misi tim pencari fakta dari PBB untuk Myanmar yang diketuai Marzuki Darusman, Selasa (14/5/2019), ”Tidak ada pergerakan menuju resolusi krisis. Situasinya masih mandek total.”
Hingga kini, berbagai tekanan internasional—termasuk dari PBB—belum mampu melunakkan Myanmar untuk memperbaiki situasi di Rakhine. ASEAN juga tak berkutik karena berbagai alasan, termasuk ”kredo suci” prinsip tanpa campur tangan (non-interference) yang dianut organisasi antarnegara Asia Tenggara itu. Walhasil, hingga saat ini, krisis di Rakhine menjadi noda kemanusiaan di Asia Tenggara. Tidak enak untuk didengar, tetapi itulah kenyataannya.