Huawei mengejutkan dengan teknologinya, seperti teknologi konektivitas 5G. Salah satu perusahaan tersohor China ini juga melejit pada penjualan telepon seluler dan semakin mendominasi pasaran dunia.
Oleh
Simon Saragih
·4 menit baca
Ditekan terus-menerus dan diam adalah pilihan untuk sekian lama. Hingga kini pun China relatif bersikap diam menghadapi tekanan Amerika Serikat. Hal seperti itu memang sudah diingatkan secara tak langsung oleh almarhum pemimpin China, Deng Xiaoping. Hubungan AS-China tidak pernah terlalu baik walau juga tidak terlalu buruk.
Namun, sikap diam China bukan berarti pasrah dan tidak bergiat. Diam, tetapi tekun dan menghasilkan karya yang mengejutkan. Ini juga merupakan garisan filosofis warisan Deng, diamlah saja, tetapi pada saatnya tunjukkan taring. Dan itulah Huawei, mengejutkan dengan teknologinya, seperti teknologi konektivitas 5G. Salah satu perusahaan tersohor China ini juga melejit pada penjualan telepon seluler dan semakin mendominasi pasaran dunia.
Sikap bertekun dalam diam itu juga disampaikan pendiri Huawei, Ren Zhengfei. ”AS telah menyerang Huawei dalam 10 tahun terakhir, apalagi jika ada masalah kecil sekalipun. Kami berupaya diam dan toleran. Akan tetapi, toleran tidak berarti pasrah. Diam bukan berarti pengecut,” kata Ren.
Kini, Huawei mengejutkan dengan teknologi konektivitas 5G dengan jaringan internet yang sangat kencang. Jaringan terbaru berkecepatan tinggi ini memungkinkan aliran data ekstra cepat. Teknologi ini bisa memuluskan segala urusan transaksional manusia asal China, dan teknologi ini kini diekspor.
Teknologi ini bisa memungkinkan melakukan tugas yang banyak pada saat bersamaan. Penggunanya bisa melacak arus transportasi, sekaligus berbelanja, hingga memperlancar pemantauan kegiatan di pabrik. Semuanya bisa dilakukan lewat jaringan internet di telepon genggam.
AS kini sedang mengatasi ketinggalan soal 5G sekaligus pusing dengan kemajuan teknologi Huawei. Oleh sebab itu, AS terus gencar berkampanye di seluruh dunia. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, Rabu (8/5/2019), di London, mengatakan, China menjadi ancaman ekonomi dan keamanan bagi dunia. Sebuah rezim otoriter telah terintegrasi secara ekonomi dengan Barat.
”China mencuri kekayaan intelektual untuk tujuan militer, ingin mendominasi kecerdasan buatan (artificial intelligence), teknologi ruang angkasa, rudal balistik, dan banyak lagi bidang lain,” kata Pompeo. Dia pun mengingatkan agar Inggris tidak memakai jaringan 5G milik Huawei dalam telekomunikasinya karena hal itu bisa berarti bocoran data otomatis dan gratis ke China.
Entahlah AS bisa berhasil menekan China dengan seruan-seruan seperti itu. Tekanan itu dilakukan seakan AS tidak pernah melakukan spionase di berbagai belahan dunia. AS bisa dikatakan berhasil dalam kampanye terkait pelarangan itu di beberapa negara Eropa, hingga Australia dan Jepang. Teknologi 5G Huawei dilarang dipakai di jaringan telekomunikasi negara-negara tersebut.
China dan Ren membantah teknologi Huawei adalah alat bagi militer China untuk memata-matai dunia, seperti tuduhan Kongres AS. Ren mengatakan, lebih baik menutup perusahaan ketimbang merugikan konsumen. AS juga tidak pernah memberikan bukti bahwa teknologi Huawei digunakan untuk kepentingan spionase.
Hal seperti itu juga dikatakan Pemerintah Jerman. Duta Besar AS untuk Jerman Richard Grenell mengatakan, kerja sama intelijen akan dihentikan jika Jerman memakai jaringan 5G Huawei. Pihak intelijen Jerman menepis tekanan AS itu.
Kanselir Jerman Angela Merkel juga menepis tekanan AS. Jerman, kata Merkel, memiliki standar sendiri soal keamanan. ”Ada dua hal yang saya tidak bisa yakini. Pertama, mencuatkan isu keamanan yang sensitif secara publik, dan kedua, mengucilkan sebuah perusahaan hanya karena berasal dari negara tertentu,” kata Merkel. ”Jerman tidak naif soal isu keamanan dan solusi bersama Eropa terkait Huawei adalah pilihan,” ucapnya. Dengan kata lain, AS tidak perlu mendikte soal isu keamanan.
Tekanan AS ini tidak pelak lagi dikaitkan dengan perang soal dominasi global. Pada 6 Mei 2019, Jack Ablin, Direktur Investasi Cresset, mengatakan, pertarungan AS-China adalah pertarungan sesungguhnya tentang teknologi dan perdagangan. Ini adalah soal siapa yang dominan di dunia.
Asia tidak peduli
Asia tidak menolak terang-terangan tekanan AS, tetapi Asia bergeming. Asia tidak terdengar menolak, tetapi terus saja menerima teknologi Huawei. Ini hal yang masuk akal dengan dominasi investasi dan perdagangan Asia dengan China. Lebih dari itu, Asia memiliki persepsi yang berbeda tentang China.
Dengan kata lain, Asia tidak memandang China menakutkan seperti AS melihat China. Ini soal persepsi. ”Narasi sangat berbeda di Asia Tenggara karena persepsi ancaman berbeda di kawasan ini,” kata Michael Raska, Koordinator Program Transportasi Militer S Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Hal itu juga diutarakan pakar hubungan internasional David C Kang dari University of Southern California. AS akan gagal mengajak Asia memusuhi China. Asia tidak akan memilih AS atau China, Asia memilih berelasi dengan siapa saja. Asia mendalami hubungan luas dengan China, tidak hanya soal militer, tetapi juga ekonomi dan sosial. Hal itu juga pernah diutarakan Menteri Pertahanan Singapura Dr Ng Eng Hen bahwa Asia tidak memilih kekuatan yang satu atau kekuatan yang lain.
Soal ekonomi
Pada tingkat tertentu, ini juga soal proses pemakmuran warga. China memiliki kekuatan perdagangan, investasi, hingga teknologi yang sudah menyebar di Asia. Jika AS memojokkan China, adakah alternatif lain di dunia sekarang ini untuk proses percepatan pembangunan Asia?
Asia masih merupakan kawasan yang memerlukan pertumbuhan karena masih banyak warga miskin. Ketika pilihannya adalah soal ideologi AS dan ideologi China, Asia memilih percepatan pembangunan. Atas premis ini, teriakan AS akan hilang ditelan angin.
Siapa yang masih memerlukan dominasi AS di tengah kemakmuran dunia, khususnya Asia yang semakin melejit? Dalam konteks ini, Huawei tampaknya akan berjaya meski dengan risiko mengompromikan ketersediaan data yang pasti akan bisa dikumpulkan China.
Akan tetapi, biarlah waktu yang akan membuktikan apakah China menakutkan atau tidak. Hal yang jelas, AS kini lebih suka memojokkan ketimbang bekerja sama secara multilateral.
Vorasak Mahatthanobol, pejabat Pusat Studi China di Chulalongkorn University, mengatakan, peran AS di ASEAN telah menurun dan ASEAN lebih dependen pada China secara ekonomi. ”Asia tidak akan terpengaruh dan AS tidak akan sukses dalam kampanye pemblokiran Huawei,” kata Vorasak. (AP/AFP/REUTERS)