Mesir mengalami tiga revolusi. Revolusi pertama terjadi karena sejumlah besar pemuda Mesir yang sebagian besar non-Islam semakin muak terhadap pembatasan (termasuk kebebasan) mencekik era Hosni Mubarak.
Oleh
Trias Kuncahyono
·5 menit baca
Costa Caffee tak jauh dari istana. Kafe itu terletak sekitar 200 meter dari Ittihadiya(h) atau Kasr al-Ittihadiya, yang dikenal dengan sebutan Istana Arabia. Ittihadiya(h) dan Istana Arabia sama-sama memangku Jal El-Marghany. Namun, di tengah-tengah antara kafe dan istana dibangun tembok beton darurat setinggi sekitar 2 meter dan pagar kawat berduri untuk mencegah para demonstran mendekati istana.
Ketika kami masuk ke dalam kafe, terlihat sejumlah wartawan, baik cetak maupun televisi, tengah menikmati minuman panas. Ada yang minum kopi. Ada yang lebih suka teh. Ada pula yang memilih cokelat panas. Semua menunggu para demonstran, dari Kubu Tahrir, yakni kelompok liberal-sekuler, yang akan menggelar aksi mereka di sekitar istana.
Para demonstran menentang rancangan konstitusi baru yang mereka sebut sebagai konstitusinya Ikhwanul Muslimin. Karena, merekalah yang mendominasi Dewan Konstituante, yang beranggotakan 100 orang. Dewan ini bertugas menyusun konstitusi baru. Para demonstran juga menentang rencana referendum.
Rancangan konstitusi baru itu mereka anggap mengurangi kebebasan rakyat yang telah diperjuangkan lewat revolusi yang berakhir dengan tumbangnya Hosni Mubarak, 2011.
”Negeri ini milik rakyat. Rakyat yang berbagai macam, baik etnis maupun agamanya. Karena itu, konstitusinya pun harus melindungi seluruh rakyat Mesir, tidak boleh hanya menguntungkan salah satu pihak, satu kelompok. Saya seorang Muslim, tetapi saya memiliki banyak teman Koptik, di kantor dan di lingkungan saya tinggal. Tetangga saya seorang Koptik. Tidak menjadi masalah kata Muhammad, seorang pengunjung kafe yang akan ikut demonstrasi” (Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir, 2013).
Inilah awal dari jatuhnya Presiden Muhammad Mursi, 3 Juli 2013, presiden pertama setelah Revolusi Musim Semi, oleh militer. Padahal, Mursi memenangi referendum. Pada Rabu malam, 3 Juli, setelah berakhirnya tenggat ultimatum 48 jam yang diberikan kepada Mursi, Menteri Pertahanan Jenderal Abdel Fatah el-Sisi mengumumkan penggulingan Mursi.
Ketika itu, Sisi dengan hati-hati memastikan bahwa, ketika mengumumkan penyingkiran Mursi, dia dikelilingi oleh para tokoh antara lain Sheik al-Azhar Ahmed al-Tayeb, Paus Koptik Tawadros II, seorang wakil dari Front Keselamatan Nasional (NSF), termasuk Mohamed Elbaradei, dua perwakilan dari gerakan Tamarod, dan Ketua Partai al-Nour, yakni partai salafi, Younis Makhyoun.
Hal itu untuk memberi kesan bahwa pengumuman penggulingan presiden dan pembatalan konstitusi benar-benar merupakan kehendak nasional, kehendak rakyat, dan respons terhadap tuntutan pengunjuk rasa terhadap Mursi dukungan Ikhwanul Muslimin.
Mengomentari apa yang terjadi di Mesir ketika itu, Thomas L Friedman, dalam ”Egypt’s Three Revolutions” (The New York Times, 23 Juli 2013), menulis, antara 2011 dan 2013, Mesir mengalami tiga revolusi. Revolusi pertama terjadi karena sejumlah besar pemuda Mesir yang sebagian besar non-Islam semakin muak terhadap pembatasan (termasuk kebebasan) mencekik era Hosni Mubarak.
Para jenderal yang menggantikan Mubarak terbukti sangat tidak kompeten dalam memerintah sehingga banyak orang Mesir liberal lebih memilih Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin ketimbang seorang mantan jenderal dari era Mubarak dalam pemilu Juni 2012 (ini revolusi kedua).
Akan tetapi, setelah menjadi presiden, Mursi terbukti lebih tertarik untuk mengonsolidasikan cengkeraman Ikhwanul Muslimin atas kekuasaan daripada agendanya sendiri sebagai presiden, yang berpuncak pada turunnya jutaan orang ke jalan pada 30 Juni 2013, meminta militer untuk menggulingkan Mursi. Inilah yang oleh Friedman disebut sebagai revolusi ketiga.
Revolusi ketiga ini memakan banyak korban jiwa. Penguasa baru dukungan militer yang mengambil alih kekuasaan setelah menyingkirkan Mursi menindak tegas pada pendukung Ikhwanul Muslimin, menangkapinya (sekitar 20.000 orang dipenjara dan ribuan lainnya dikejar), mengadili para pemimpinnya, dan membubarkan secara paksa demonstrasi yang dilakukan para pendukung.
Pada 14 Agustus, aparat keamanan secara paksa membubarkan para pendukung Ikhwanul Muslimin dan pro-Mursi yang menduduki Masjid Rabaa al-Adawiya, Nasr City, Kairo bagian timur, dan Alun-alun Al-Nahda, Giza. Dalam pembersihan itu, tercatat hampir 1.000 orang tewas. Human Rights Watch memberikan angka 817 orang tewas (The Rab’a Massacre and Mass Killings of Protesters in Egypt, 2014).
Menurut EgyptAshraf El-Sherif (The Muslim Brotherhood and The Future of Political Islam in Egypt Part2, Oktober 2014) apa yang terjadi di Rabaa al-Adawiya dan Al-Nahda mencerminkan kegagalan total strategi Ihkwanul Muslimin pasca-Mursi, dan kekalahannya dalam perebutan kekuasaan dengan pemerintah dukungan militer yang mengambil kendali setelah penyingkiran Mursi. Tiga tahun kemudian, mereka belum pulih dan organisasi itu tidak lagi menjadi pemain penting di lapangan.
Penggulingan Mursi mengejutkan Ikhwanul Muslimin. Ketika jutaan orang turun ke jalan pada 30 Juni 2013 untuk memprotes pemerintahan Mursi yang otokratis dan kegagalan pemimpin Ikhwanul Muslimin, para pemimpin Ikhwanul Muslimin mengatakan kepada anggotanya bahwa militer berdiri teguh mendukung Mursi. Bahkan, mereka tetap yakin meskipun militer pada 1 Juli memperingatkan Mursi bahwa militer akan campur tangan, jika Mursi gagal menanggapi tuntutan para pemrotes dalam waktu 48 jam.
Itulah akhir revolusi ketiga, yang sebenarnya ”baunya” sudah mulai tercium di antara harum bau kopi di Costa Caffee. Namun, bagi mereka yang sedang berkuasa ketika itu, bau kekuasaan jauh lebih kuat ketimbang teriakan rakyat dan bau harum kopi.
Tiga hari kemudian, Kamis, 4 Juli 2013, pukul 03.00 WIB, Musthafa Abd Rahman, wartawan Kompas di Kairo, mengirim SMS, ”Mesir panas sekali, Pak”.
”Ya, Mas, panas sekali. Musim Semi telah beralih ke Musim Panas”, jawab saya lewat SMS pula. Saya tambahkan dalam SMS kedua, ”Sepertinya, Musim Panas akan berjalan sangat panjang, Mas”. Dan, benar yang terjadi.
Ketika tengah mengenang peristiwa enam tahun silam, tiba-tiba muncul pertanyaan: Musim apa di negeri ini, sekarang? Sebenarnya musim semi. Hanya saja, ternyata kuasa kegelapan berusaha menutupi seluruh bunga yang sedang bermekaran di segala penjuru, dengan segala macam cara. Tetapi, ”Bukroh hatitla’ el-Syams binuriha el-gamil, (semoga mentari akan bersinar lebih terang lagi), Pak”, tulis Kadarisman, teman lama di Kairo, lewat WA semalam, dari Malang. ***