Golput dan Oligarki
Tidak ada sistem dan prosedur demokrasi yang sempurna. Banyak orang yang menyalahkan electoral college system saat Hillary Clinton memenangi lebih dari 2,5 juta suara, tetapi tidak terpilih sebagai Presiden AS, padahal sistem itu juga yang memenangkan presiden-presiden dari Partai Demokrat sebelumnya.
Sebagian masyarakat Inggris juga mengkritik sistem referendum ketika harus memilih untuk tetap tinggal atau keluar dari Uni Eropa. Mereka yang menolak sistem referendum mengatakan, persoalan besar seperti itu tak bisa diserahkan lewat voting masyarakat biasa karena mereka tak sepenuhnya paham konsekuensinya. Masalah seperti itu harusnya diputuskan di parlemen melalui serangkaian diskusi dan debat yang akademis.
Fakta-fakta itu memberi tahu kita bahwa membayangkan ada kesempurnaan dalam demokrasi di dalam masyarakat yang plural secara kualitas dan banyak secara kuantitas adalah hal yang mustahil. Ketidaksempurnaan itu yang justru menjadi insentif bagi sains politik dan sosial untuk berkembang, termasuk para politisi yang masuk di arena politik.
Hal yang sama juga terjadi di dalam prosedur dan sistem pemilu yang kita lakukan pada Pemilu 2019 yang dilakukan secara serentak. Kita tak sekadar memilih di antara dua capres untuk periode mendatang, tetapi memilih parpol atau lebih khusus lagi memilih calon anggota legislatif yang bisa menyeimbangkan kekuasaan eksekutif. Pemilu saat ini diikuti oleh dua capres, 16 partai tingkat nasional, dan 4 partai lokal (Aceh).
Apabila preferensi politik Anda liberal dan suka dengan politik Barat di mana kekuasaan eksekutif dikontrol oleh oposisi di legislatif, Anda bisa memilih salah satu kandidat capres dan memilih anggota caleg DPR dan DPRD di luar partai pendukung capres tersebut.
Akan tetapi, apabila Anda setuju prinsip kekuasaan presidensial di mana eksekutif harus didukung oleh partai pendukung, Anda pilih salah satu kandidat capres dan memilih caleg dari partai pendukung capres. Pemilu 2019 menyediakan ”menu” 32 kombinasi pilihan yang bisa ditentukan oleh pemilih. Menu ini bertambah jika Anda ingin ada faktor check-balance berjenjang di mana pilihan presiden dan calon anggota legislatif DPR atau DPRD harus berbeda partai.
Ini artinya, dari sisi ketersediaan pilihan, pemilu kita sebetulnya jauh lebih demokratik dibandingkan dengan AS, Inggris, atau Australia dan jauh lebih demokratis ketimbang China. Saya dapat memahami jika Franz Magnis-Suseno (Kompas, 12/3/2019) menggunakan kata-kata keras ketika mengkritik golput yang tetap tak mau memilih karena pada kenyataannya ada banyak pilihan tersedia.
Namun, saya juga tak setuju dengan kesimpulan Romo Magnis yang menggolongkan mereka tak memiliki etika dan moral yang kuat. Saya mengetahui banyak dari mereka yang memilih golput justru bermoral kuat. Mereka terlibat dalam perjuangan HAM dan mengadvokasi masyarakat yang terpinggirkan. Saya juga tak setuju pendapat bahwa golput tak punya hak untuk mengkritik pemerintahan yang terbentuk nanti karena mereka tak memilih. Sebab, sebenarnya siapa pun yang telah membayar pajak dan melunasi kewajibannya sebagai warga negara boleh saja mengkritik pemerintahan.
Menyelesaikan masalah golput haruslah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh golput itu sendiri dan sayangnya memang sulit dijawab oleh partai-partai yang berkuasa saat ini. Golput meyakini bahwa sistem politik demokrasi dan kepartaian kita cenderung oligarki. Dalam model rational choice, golput adalah kelompok yang merasa bahwa keuntungan yang mereka dapatkan lebih kecil dari apa yang mereka investasikan dalam bentuk pencoblosan. Mereka berpendapat, mencoblos artinya melestarikan oligarki dan menyebabkan perjuangan mereka melawan korupsi dan pelanggaran HAM jadi mundur.
Solusi yang ditawarkan sejauh yang terungkap di media massa adalah menghilangkan syarat ambang batas suara (threshold) untuk mengusung presiden. Setiap orang boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai presiden tanpa ada syarat. Cara ini dianggap dapat menghilangkan oligarki karena seseorang dapat maju tanpa harus kompromi dengan pemilik partai yang sudah tersandera oligarki.
Ide ini baik secara teoretis, tetapi secara politik praktis dapat menjadi masalah karena dalam masyarakat yang masih timpang di mana 1 persen orang kaya menguasai 46,6 persen kesejahteraan masyarakat lainnya (Global Wealth Report, 2018), maka pilihan ini hanya menguntungkan yang 1 persen. Kita tak dapat mengasumsikan bahwa ide-ide yang baik dapat secara langsung mengarahkan perilaku politik politisi menjadi baik. Ide ini dapat dilaksanakan apabila kekuatan non-elektoral, yaitu gerakan masyarakat sipil, sudah menguat, dan terorganisasi menjadi kekuatan organisasi politik dan bekerja sama dengan kekuatan elektoral yang progresif di parlemen dan eksekutif.
Kerja sama itu harus mengondisikan dulu struktur politik dan ekonomi yang dapat membatasi kekuasaan 1 persen agar tak mengambil manfaat dari liberalisasi politik yang ditawarkan. Hal itu, misalnya, menaikkan pajak orang kaya, mewajibkan mereka mendeklarasikan pajak yang dibayar dan ide-ide kreatif lain. Apabila tak ada struktur yang membatasi kekuasaan 1 persen, bisa jadi ide menghilangkan syarat batas pencalonan hanya akan semakin menguntungkan posisi mereka.
Argumentasi di atas ingin mengatakan, menjadi golput karena keyakinan bahwa sistem politik kita masih oligarki adalah pemikiran yang kurang tepat. Oligarki tak dapat lenyap hanya karena mengubah syarat atau prosedur politik pemilihan. Oligarki hanya dapat diselesaikan justru dari interaksi antara kekuatan-kekuatan elektoral dan non-elektoral yang progresif dan maju secara pemikiran dan komitmen. Kekuatan elektoral adalah mereka yang duduk di eksekutif/legislatif dan kekuatan non-elektoral adalah kelompok masyarakat sipil yang bergerak sesuai tema-tema perjuangan masing- masing, seperti kelompok buruh, nelayan, perempuan, dan lingkungan hidup.
Pentingnya memilih
Kekuatan elektoral dibutuhkan untuk mengubah struktur dan sistem secara formal. UU atau peraturan yang melanggengkan oligarki tak bisa berubah sendiri hanya karena ada gerakan protes dari kekuatan non-elektoral. Perubahan membutuhkan kelompok individu di dalam sistem yang akan menulis dan mengubah perangkat hukum yang mendukung kekuatan oligarki. Kita perlu memahami bahwa di dalam parlemen juga ada rivalitas ide dan kekuasaan antara mereka yang mendukung dan menolak oligarki.
Sebaliknya, menjadi golput justru membiarkan kekuatan elektoral yang pro-oligarki terus berkuasa. Hal ini disebabkan karena mereka telah menguasai sumber-sumber daya yang diperlukan untuk memengaruhi pemilih. Sumber daya itu, seperti kekuatan finansial, kekuasaan jaringan politik, akses terhadap media massa atau kekuatan agama. Sikap golput ini yang mungkin dimaksud Romo Magnis sebagai pihak yang tak bertanggung jawab atas demokrasi.
Pemilu 2019 sudah menyediakan kepada pemilih 32 kombinasi pilihan, tetapi para golput tak memanfaatkan pilihan itu sehingga membuat sistem oligarkis justru kian berpotensi menguat. Secara matematis atau probabilitas, mencoblos tidak merugikan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan HAM. Sebaliknya, golput yang tidak mencoblos akan lebih memperbesar kemungkinan kekuatan oligarkis untuk kembali dibandingkan dengan mereka yang mencoblos. Mencoblos juga bisa mengembalikan kekuatan oligarki apabila dilakukan dengan sembarangan, tetapi hal itu dapat dikurangi apabila ada motivasi untuk menyeleksi pilihan dengan benar.
Mereka yang mencoblos dan memilih salah satu kombinasi pilihan yang terbaik dari 32 kombinasi pilihan akan berpeluang mengurangi keterpilihan kekuatan elektoral yang pro-oligarki untuk kembali lagi. Apakah kemudian sistem ini dapat dikatakan sempurna? Tidak juga, tetapi setidaknya kita membuka peluang perubahan itu terjadi. Itu pentingnya kita menggunakan suara kita demi Indonesia yang lebih baik.
Dinna Wisnu Praktisi dan Pengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara