Selayaknya kita meruwat kewarasan, terutama setelah beberapa waktu belakangan kita mengabaikan daya kerja otak, menukarnya dengan sentimen perasaan, yang dalam hal ini izinkan saya menyebutnya dengan istilah ”emosionalisme”. Revolusi digital ditambah situasi politik dengan diseminasi kebohongan telah mengondisikan otak kita untuk menganggap informasi yang benar adalah yang sesuai dengan apa yang ingin kita dengar. Di luar itu salah belaka.
Jadilah beberapa hari ini kita melihat tontonan, individu ataupun kelompok bertingkah laku seperti wong edan. Mereka mencibir premis-premis akademis, menolak penjelasan metodologis, menyangkal konsekuensi-konsekuensi algoritmis. Pokoknya mboten.
Ini yang oleh sejumlah orang disebut sebagai era ”Post-Truth”, kosakata sangat populer yang oleh Oxford Dictionaries dinobatkan sebagai ”word of the year” pada tahun 2016. Era ini ditandai dengan diguncangnya status quo institusi-institusi serta demokrasi ortodoks oleh populisme yang bersemangat pokoknya bilang tidak, dalam bahasa Jawa disebut waton sulaya. Runtuh sudah menara gading.
Bersamaan dengan runtuhnya menara gading pengetahuan, truth atau kebenaran merosot nilai tukarnya. Data, fakta, akurasi, kurang dibutuhkan. Ada dagangan baru yang kian digemari orang, yakni hoax, informasi palsu, kebohongan. Siapa saja tak terkecuali institusi politik, sosial, agama, ambil bagian sebagai produsen, agen, distributor, sekaligus merangkap konsumen bagi sirkulasi kebohongan.
Kebohongan, terlebih dalam praktik politik kekuasaan, tentulah bukan hal baru. Pembaca karya Machiavelli pasti sangat paham mengenai hal ini. Socrates dikenang Plato dengan pemikirannya mengenai kebohongan agung (noble lie)—berupa katakanlah mitos yang menginspirasi bagi terciptanya harmoni dan kepatuhan sosial. Dalam sejarah kekuasaan kuno di Indonesia, orang bisa menengok risalah Amangkurat, Mangir, Trunajaya, dan lain-lain.
Dibanding masa lalu, yang berbeda sekarang ini adalah tanggapan orang terhadap kebohongan. Matthew D’Ancona dalam bukunya berjudul Post Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (Ebury Press, 2017) mengulas secara ringkas dan padat mengenai kebohongan di era digital. Menyangkut sesuatu yang berhubungan dengan sikap politik dan perilaku sosial, ia merujuk istilah ”deep story” dari sosiolog Arlie Russell Hockschild.
Deep story adalah kisah, cerita, narasi, yang didasarkan perasaan semata. Fakta tidak penting, bahkan bisa ditiadakan sama sekali. Yang utama adalah bagaimana orang merasakannya.
Praktiknya kurang lebih seperti bisa dilihat pada berbagai narasi di media sosial. Pada grup Whatsapp dengan anggota terdiri dari para individu yang terbilang berpendidikan sekalipun, isinya umumnya adalah narasi-narasi yang mengedepankan emosi daripada otak.
Respons emosi lebih cepat dari respons otak. Emosionalisme menggantikan rasionalisme. Kaum terpelajar dan kurang terpelajar tak ada bedanya.
Kaum terpelajar dan kurang terpelajar tak ada bedanya.
Banyak studi mengenai respons manusia dalam dunia digital, termasuk yang menghubungkannya dengan cara kerja saraf dan otak. Istilahnya: neuroscience. Sifat intensif dan adiktif peranti digital menjadikan orang percaya pada ilusi diri sendiri. Setiap individu merasa dirinya legenda.
Bagi yang menggeluti krida tubuh, pikiran (otak), dan spirit, terasa bagaimana revolusi digital ini memang mengubah respons kita terhadap apa saja termasuk apa yang kita pahami sebagai ”kenyataan”. Otak yang terus menerus teperdaya oleh kebohongan, pada akhirnya menjadi sakit. Ia memanipulasi dirinya sendiri.
Pada masyarakat Jawa, dikenal kosakata ”waras”. Setiap kali pulang kampung dan bertemu sanak saudara seperti ketika tengah di Salatiga sekarang ini, orang-orang lama masih bertanya: waras? Waras pengertiannya bukan hanya sehat fisik, tetapi juga otak, pikiran. Waraskah kita?
Ah, pada era digital ini agaknya kita perlu meruwat otak. Data, fakta, tidak ada gunanya bagi individu atau kelompok yang mengalami sakit otak. Mereka harus disembuhkan terlebih dahulu. Kalau tidak waras, bagaimana bisa diajak omong....