Pembangunan Rendah Karbon dan Pekerjaan Rumahnya

Brigitta Isworo Laksmi,Wartawan Senior Kompas
Jalur pembangunan rendah karbon bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Pendekatan ini bersifat win-win-win untuk perekonomian Indonesia, untuk rakyatnya, dan lingkungan lokal dan global. Lebih khusus lagi, dapat mengarah kepada: pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Alinea di atas adalah kutipan verbatim – kata demi kata dari Ringkasan bagi Pembuat Kebijakan dari dokumen Pembangunan Rendah Karbon: Pergeseran Paradigma Menuju Ekonomi Hijau di Indonesia (hal. 8). Dokumen ini diluncurkan pada 26 Maret 2019 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta.
Data dan fakta yang ada menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi akan terhambat apabila sektor lingkungan dan sosial tidak diberi perhatian yang setara dengan perhatian pada sektor ekonomi. Hanya memberi fokus pada pertumbuhan ekonomi saja, pada suatu titik pertumbuhan tersebut akan sampai pada kondisi stagnan dan selanjutnya turun, apabila paradigma pembangunan tidak berubah. Selama ini Indonesia mendasarkan pertumbuhan ekonominya dari kekayaan sumber daya alam.

Bekas lubang tambang batubara yang ditinggalkan dan tidak direklamasi di Desa Makroman, Samarinda, Kalimantan Timur, Minggu (18/11/2018). Sebagian areal yang dicaplok dan air tambang yang mengairi desa ini telah menghancurkan persawahan dan perikanan yang dimiliki petani.
Eksploitasi SDA dan pengabaian dalam menjaga lingkungan hidup telah menyebabkan perubahan iklim, penghilangan secara masif sumber daya keanekaragaman hayati, polusi yang meracuni manusia, degradasi lahan yang bisa berujung pada terganggunya ketersediaan pangan, kelangkaan air bersih, dan pencemaran lautan.
Praktik eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang minim pemulihan, bahkan beberapa di antaranya tidak terpulihkan, seperti galian C serta lahan tambang, telah mengancam keberlangsungan hidup manusia. Itu dinyatakan dalam Sidang PBB tentang Lingkungan Hidup pada pertengahan Maret lalu.
Baca juga:
Pembangunan Rendah Karbon Diperkenalkan
Laporan kondisi lingkungan oleh lembaga Lingkungan PBB (UN Environment) dalam Global Environment Outlook 6 tahun ini disebutkan, kematian prematur bayi mencapai 6-7 juta jiwa akibat polusi, dunia kehilangan sekitar enam triliun dollar AS per tahun. Sekitar 25 persen penyakit global disebabkan oleh kondisi lingkungan yang buruk dan menyebabkan kematian sembilan juta manusia.
Pertumbuhan ekonomi telah dibayar dengan berbagai isu sosial. Konflik meletus di berbagai lokasi terutama terjadi pada sektor agraria seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir-kelautan yang dialami oleh petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin kota dan aktivis pejuang lingkungan. Konflik terkadang berujung pada kriminalisasi bahkan penghilangan nyawa seperti kasus Salim Kancil, 2015.

Perkebunan sawit mulai mengepung Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Foto diambil pada pertengah tahun 2017 lalu. Saat ini tanaman sawit semakin dekat dengan bibir danau.
Alih fungsi hutan dan lahan gambut untuk perkebunan dan pertambangan telah meningkatkan emisi dan meningkatkan kerentanan terhadap ancaman kebakaran. Kebakaran hutan tahun 2015 menyebabkan kerugian senilai Rp 221 triliun.
Kehancuran lingkungan Indonesia bisa menjadi pintu masuk kehancuran di tingkat global. Sebab, Indonesia adalah negara tropis di sabuk katulistiwa yang terbesar. Indonesia merupakan satu dari tiga negara dengan hutan terluas. Di berbagai forum disebut-sebut bahwa hutan Papua merupakan the last frontier – batas pertahanan terakhir mencegah memburuknya pemanasan global dan perubahan iklim.
Dengan lahirnya dokumen pembangunan rendah karbon (PRK) dari Bappenas, muncul harapan baru. Semua pihak, dari luar dan dalam negeri menyambut gembira. Dengan kondisi tersebut, untuk keanekaragaman hayati, selain memiliki jumlah kehati yang besar, Indonesia juga memiliki kekayaan tumbuhan dan hewan paling beragam di dunia karena mempunyai dua biogeografi: Oriental dan Australia (Supriatna, 2018).
Dokumen akan tetap tinggal sebagai dokumen apabila tak segera ditindaklanjuti. Sebab, tantangannya amat besar. Prinsip dasar PRK cukup berat untuk dipenuhi karena itu sama dengan harus membongkar kebiasaan yang telah berurat berakar. Prinsip-prinsip tersebut yaitu menggunakan daya dukung dan daya tampung lingkungan sebagai dasar perencanaan, berbasis sains, pelibatan aktif semua pemangku kepentingan termasuk masyarakat sipil, dan menerapkan prinsip HITS (holistic, integrated, thematic, spatial--holistik, terintegrasi, tematis, dan berbasis ruang wilayah).

Hamparan hutan dengan beragam jenis rapatan pohon di pesisir selatan papua, Kabupaten Asmat, Papua, Jumat (2/2). Bagi masyaraat tradisional seperti Asmat, hutan sebagai gantungan hidup dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Di awal peluncuran dokumen, Provinsi Sulawesi Selatan dan Jawa Tengah telah menandatangani nota kesepahaman dengan Bappenas. Lantas disusul oleh Papua dan Papua Barat yang tertarik dan beberapa provinsi Kalimantan akan menyusul. Saat ini Bappenas telah aktif melakukan rapat koordinasi teknis untuk perencanaan pembangunan di daerah. Namun, perencanaan tersebut masih berbasis pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Sementara, PRK akan menjadi nafas dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Jika menjadi sebuah keharusan, penandatanganan Nota Kesepahaman bisa jadi akan membuang-buang waktu yang seharusnya berharga untuk membuat perencanaan sesuai dengan prinsip PRK. Alasan yang mendasar yaitu RPJMN yang akan disahkan masih harus “dinegosiasikan” dengan pemerintah yang terbentuk setelah Pilpres, Rabu (17/4/2019). Pemerintah akan memilih skenario perbaikan, yaitu skenario pertama, kedua, ketiga, atau keempat-berurut dari yang tidak berubah, paling rendah perubahannya, hingga yang paling ekstrem-dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 43 persen.
Pebisnislah yang harus segera disadarkan bahwa keserakahan mencari keuntungan tidak akan menguntungkan mereka pada akhirnya.
Akan lebih efisien dan lebih cepat diberlakukan apabila Bappenas menggiatkan sosialisasi dan mendiskusikannya dengan semua pemangku kepentingan: kementerian/lembaga, pemerintah daerah, akademisi, masyarakat sipil, dan kelompok bisnis. Untuk semua perubahan paradigma tersebut, ada tiga hal utama yang harus disiapkan yaitu: perubahan kebijakan, kesiapan pendanaan, perubahan mental, dan kesiapan perubahan mental dalam tata kelola terutama tata kelola hutan dan lahan. Semua semata disiapkan untuk memenuhi prinsip-prinsip HITS.
Persiapan awal dibutuhkan agar saat pemerintah memiliki kebijakan, maka semua pemerintah daerah telah siap menyesuaikan diri. Agar HITS tercapai dibutuhkan keselarasan dan pengintegrasian regulasi, proses perencanaan dan pelaksanaan yang tidak terkotak-kotak antarlembaga dan antarkementerian, inventarisasi pengetahuan baik lokal maupun global, serta menggunakan pendekatan lanskap. Sosialisasi dan pendampingan persiapan amat penting dan krusial, sebab saat ini belum diketahui jalur mana yang bakal ditempuh pemerintah pusat nantinya.

Warga Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat, Rabu (20//2/2019) menarikan tarian aklen untuk menyambut tamu yang datang ke kampung tersebut. Daerah ini mengembangkan pariwisata yang berpegang pada adat. Mereka ingin melindungi hutan dan laut wilayah adatnya dari kerusakan agar tetap memberi kehidupan.
Rangkaian persiapan bisa menjadi latihan sebelum pelaksanaan dijalankan secara nasional--bukankah ini keharusan (seperti kutipan di alinea pertama)? Maka adanya MoU seakan menafikan keharusan sebab yang muncul adalah kata-kata “diharapkan daerah lain segera menyusul”. Jika tak serentak dilakukan oleh semua daerah, pendekatan lanskap akan terancam diabaikan.
Jalan menuju implementasi PRK tidak terlalu panjang apabila proses negosiasi dengan pemerintah mendatang berjalan lancar. Akan lebih cepat lagi apabila daerah mulai terasah dan mulai terbiasa dengan paradigma baru pembangunan sesuai jiwa PRK. Daerah-daerah akan dengan cepat bekerja serentak memenuhi prinsip HITS. Hutan belukarnya ada pada regulasi yang tumpang tindih, cara kerja silo-eksklusif setiap kementerian dan lembaga, dan pada pelibatan sains. Badan legislatif tidak bisa “tidur” lagi. Mereka harus aktif membuat perubahan agar regulasi semakin efektif. Untuk percepatan bisa jadi bentuk regulasi tak harus undang-undang, namun itu rentan berubah sesuai dengan perubahan rezim pemerintah.
Di luar itu, pebisnislah yang harus segera disadarkan bahwa keserakahan mencari keuntungan tidak akan menguntungkan mereka pada akhirnya. Keserakahan mewujud pada banyaknya penghindaran pajak pada bisnis-bisnis besar berbasis lahan.
Sementara, “Tingkat keuntungan (menjalankan PRK) ini tentu saja akan tergantung pada efektivitas dan seberapa cepat kebijakan tersebut diberlakukan” (ringkasan dokumen PPRK hal. 15). Jangan lupa penekanan bahwa perubahan paradigma ini menjadi sebuah “keharusan”. Dan untuk mendapat keuntungan terbesar, ditentukan oleh persiapan dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah, sehingga ketika pemerintah mendatang telah menetapkan RPJMN 2020-2024, semua sudah siap “tinggal landas”. Jika tidak demikian, akan berisiko: (lagi-lagi) dokumen masuk ke laci. Semoga kali ini berbeda…