Tak dapat dimungkiri, salah satu latar belakang mengapa Indonesia mengakomodasi pemilu serentak adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Dengan hadirnya pemilu serentak, diharapkan konstituen (pemilih) akan menentukan pilihan calon anggota legislatif yang berasal dari partai yang sama dengan capres atau paling tidak partai yang paling menunjukkan dukungan penuh kepada capres.
Pilihan atas penguatan sistem presidensial dengan menyederhanakan kepartaian ini setidaknya mengacu pada tiga hal. Pertama, memperkuat sistem presidensial merupakan roh dari UUD, bahkan satu dari lima batasan dalam melakukan amendemen UUD pada 1999- 2002 adalah memperkuat sistem presidensial, artinya memperkuat sistem presidensial adalah niat awal (original intent) amendemen konstitusi.
Kedua, hasil penelitian Scott Mainwaring, sistem presidensial tak cocok disandingkan dengan sistem multipartai karena terlalu dinamisnya suara atau arah kebijakan di parlemen akan menyulitkan presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan. Di banyak negara, hal ini menghasilkan kebuntuan antara presiden dan parlemen.
Ketiga, pengalaman empirik Indonesia pasca-reformasi seolah membenarkan hasil penelitian Mainwaring. Kita masih ingat pasca-Pemilu 2014, mayoritas suara di parlemen adalah partai yang tak mendukung Jokowi dalam pilpres.
Setelah ”menguasai” struktur parlemen, baik DPR maupun MPR, mereka yang menamakan diri oposisi ini kemudian mengancam akan ”menjegal” semua program dari pemerintahan Jokowi, bahkan menurunkan Jokowi di tengah jalan. Beruntung, di pertengahan jalan beberapa parpol kemudian mengubah arah dukungan dan merapat ke pemerintahan Jokowi, diawali oleh Golkar, lalu PPP. Kian kuatnya dukungan partai koalisi ini makin memudahkan pula Presiden Jokowi mendapatkan dukungan di parlemen.
Pasca-Pemilu 2004 dan 2009, SBY juga merasakan sulitnya mendapatkan dukungan dari parlemen. Namun, gaya kepemimpinan SBY yang sangat soft dengan mudah mengubah arah dukungan politik. Bahkan, di periode pertama dan kedua, pemerintahan SBY menguasai lebih dari 70 persen kursi DPR hingga dapat julukan ”Koalisi Gemuk”. Ini dapat dipahami mengingat Presiden butuh suara mayoritas di parlemen.
Koalisi besar masa pemerintahan Jokowi dan SBY ini apakah berhasil ”mengamankan” kabinet? Rupanya tidak, banyaknya jumlah partai di parlemen lagi-lagi menjadikan arah kebijakan partai sangat dinamis. Hal ini diperparah pula dengan landasan koalisi partai yang tak ideologis sehingga dengan mudah berubah-ubah. Masa pemerintahan SBY, alih- alih melembagakan pemerintahan yang efektif, koalisi gemuk partai pendukung justru menjadi perangkap sekaligus ”penjara” bagi SBY sendiri.
Betapa tidak, selama periode 2004-2009 SBY harus melayani sekurang-kurangnya 14 usulan hak interpelasi dan 9 usulan hak angket yang diajukan DPR. Ironisnya, sebagian usulan dilakukan atas inisiatif parpol-parpol pendukung pemerintah di parlemen (Syamsuddin Haris; 2014, 104). Begitu pula dengan Jokowi yang harus menghadapi beberapa kali hak angket dan interpelasi, bahkan beberapa kebijakannya dapat penolakan dari partai pendukung di parlemen.
Harapan pasca-pemilu
Menarik menunggu hasil pemilu serentak 17 April 2019. Apakah akan benar-benar dapat merampingkan jumlah partai di parlemen sehingga memperkuat sistem presidensialisme?
Survei Litbang Kompas terakhir (22/3) menunjukkan, hanya empat dari 16 parpol peserta Pemilu 2019 di tingkat nasional yang bisa dipastikan lolos PT. Jika ini berhasil, menarik pula untuk melihat apakah perampingan sistem kepartaian akan berdampak positif bagi sistem presidensial? Terlebih secara substantif, apakah juga berdampak positif ke pelembagaan demokrasi substantif bagi rakyat.
Despan Heryansyah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta