Menanti
Sekali waktu, beberapa tahun lalu, saya pergi ke cenayang untuk menanyakan perjalanan asmara saya. Karena setelah menanti puluhan tahun lamanya, tak ada seorang pun yang kunjung datang.
Singkat cerita, saya pulang dengan sebuah nasihat yang diberikan oleh si cenayang untuk menanyakan persoalan asmara itu kepada Tuhan secara langsung.
Kesal
Sepulang dari tempat itu saya rada kecewa. Tetapi, di tengah kekecewaan itu, nasihatnya tergiang di telinga. Saya berusaha menjalani nasihat itu dengan ketekunan yang luar biasa. Tapi, sampai tulisan ini dibuat, saya masih berstatus lajang. Dan, ketekunan itu kemudian semakin luntur dan berakhir dengan tak pernah memintanya lagi.
Tentu sebagai manusia yang lemah, yang kekuatan dagingnya jauh lebih besar dari kekuatan imannya, saya kesalnya setengah mati. Kekesalan itu saya tumpahkan di akun media sosial saya dengan mengunggah foto berikut keterangan fotonya yang berbunyi begini. ”Apakah menanti itu tak punya batas waktu?”
Tulisan ini sesungguhnya terinspirasi dari khotbah seorang pendeta dengan tema soal ketaatan dalam sebuah penantian pada suatu hari Minggu. Selama khotbah berlangsung, saya lumayan dibuat kesal. Khotbahnya hanya membangkitkan ingatan akan penantian yang sudah lama sekali itu.
Padahal, seperti yang saya tuliskan di atas, saya sudah tak pernah meminta-minta lagi dalam doa. Harus saya akui, ketika saya menghentikan permintaan itu, saya menjadi manusia yang jauh lebih berbahagia. Ternyata, menyerah kalah dalam penantian mengundang ketenteraman itu muncul. Tapi, begitu mendengar khotbah itu, kekesalan lama tadi muncul kembali.
Mungkin saya ini tak sepenuhnya berbahagia. Mungkin saya masih menyimpan keinginan itu meski tak disebutkan lagi dalam doa yang saya panjatkan sehingga mirip sebuah penyakit yang tak tuntas diobati. Kelihatannya saja sehat, tetapi sejujurnya belum sehat betul.
Namun, di tengah kekesalan itu, saya harus berterima kasih kepada pak pendeta sebab gara-gara khotbah itu, saya mendapat ide untuk menulis kolom ini. Sebab, harus diakui, mendapatkan ide itu kadang sulitnya seperti sulitnya saya mendapatkan pasangan.
Oleh karena itu, kekesalan itu tak selamanya mendatangkan hal yang negatif, bahkan hal baik bisa juga datang dari sebuah kekesalan.
Legawa
Saya yakin cerita perjuangan penantian saya di atas hanya sebuah cerita ringan meski saya yang menjalani merasa lumayan berat dan menimbulkan keputusasaan. Mungkin beratnya kalau menantinya setahun dua tahun. Kalau sudah lebih dari setengah umur, itu akan jadi berbeda.
Saya yakin di luar kehidupan saya masih banyak orang yang menanti dengan situasi yang lebih pelik. Ada yang menanti kapan pasangannya akan berhenti memukulinya, kapan berhenti berselingkuh dan berhenti memilih punya banyak simpanan.
Saya yakin masih begitu banyak orang yang menanti kapan akan mendapat momongan setelah sekian tahun menikah. Bahkan, setelah mencoba dengan cara apa pun, dan setelah telinga terasa panas mendengar mulut orang lain yang tak bisa dibungkam, dan meneror dengan pertanyaan macam ”kok belum dapat momongan sampai sekarang”.
Saya juga yakin masih ada yang menanti kapan jawaban atas doa-doa mereka terkabul agar diri mereka atau salah satu anggota keluarga dapat disembuhkan dari sebuah penderitaan fisik maupun mental, yang membuat menjalani kehidupan setiap hari terasa begitu berat dan melelahkan, dan tak tahu entah kapan semua penderitaan ini akan berakhir.
Saya juga yakin bahwa ada orang yang menanti agar menantu atau anaknya dapat terbebas dari jerat narkoba setelah belasan tahun memanjatkan doa dan menasihati. Saya yakin masih ada orang yang menanti agar keadaan finansial dapat dipulihkan sehingga kehidupan dapat berjalan dengan normal kembali tanpa kesulitan tidur dan tak menjadi ketakutan karena bisa jadi tidak bisa lagi tidur di rumah sendiri.
Saya yakin masih ada banyak orang yang menanti kapan datang waktunya untuk mereka mendapat pekerjaan yang layak, keadilan yang semestinya, mendapat kesempatan untuk maju, dan menjalani apa yang mereka sukai tanpa dihakimi.
Saya yakin masih banyak orang yang berharap agar orang-orang yang mereka kasihi berhenti menjadi perampok, berhenti menjadi koruptor, dan berhenti jadi muncikari. Sebab, kematian tak pernah datang memberi tahu, dan mereka tak berkeinginan orang yang dikasihi mengakhiri hidup dalam sebuah keadaan yang tidak baik.
Saya sangat yakin bahwa menanti tanpa kepastian itu mengundang rasa lelah dan putus asa yang sangat dan berakhir dengan berpikir untuk menyerah kalah. Bahkan, saya pernah berpikir bahwa mungkin jalan satu-satunya membebaskan dari tekanan lahir dan batin ini adalah dengan tidak menanti lagi.
Kemudian saya berpikir. Mungkin, hanya mungkin, kalau saya ini sebaiknya tak perlu berharap lagi. Mungkin saya tinggal menjalankan saja kehidupan ini meski beban yang dipikul begitu berat dan mengesalkan.
Dengan demikian, bisa jadi saya tak akan lagi perlu bertanya apakah menanti tak punya batas waktu karena hidup ini dilakoni dengan kelegawaan yang sejati. Mungkin. Sungguh, saya tak tahu.