”Hantu” Fergie Vs ”Malaikat” Solskjaer
Pencipta logo Manchester United rupanya sangat visioner. Figur iblis membawa trisula bergagang panjang yang dirancang pada tahun 1960-an tersebut ternyata menembus batas waktu berpuluh tahun kemudian saat klub paling sukses di kancah domestik Inggris itu mempunyai manajer Alexander Chapman Ferguson.
Pria Skotlandia temperamental yang akrab dengan panggilan Fergie itu tidak hanya menghantui lawan-lawannya, tapi juga pemain, seluruh kru Old Trafford dan Carrington, wasit, bahkan para manajer yang mengganti posisinya setelah dia pensiun! Termasuk manajer ad interim saat ini, Ole Gunnar Solskjaer.
Lambang klub Manchester United—klub yang berdiri pada 1878—memang telah beberapa kali berevolusi. Namun, logo yang dikenal jutaan penggemarnya di seluruh dunia adalah logo terakhir yang pada 1960 dirancang atas pandangan pelatih legendaris Sir Matt Busby dan bertahan sampai sekarang.
Busby terpesona oleh klub rugbi Salford yang melakukan tur ke Perancis pada 1930 dan mengenakan kostum berwarna merah serta kemudian mendapat julukan ”Setan merah”. Figur ”setan” atau ”iblis”, apalagi memegang senjata trisula—sering digambarkan sebagai figur para penjaga neraka—menurut Sir Busby sangat mengintimidasi lawan. Sir Busby tidak salah!
Fergie menjadi manajer paling sukses dalam sejarah sepak bola modern Inggris.
Datang ke Old Trafford pada 1986, Fergie memang baru mempersembahkan gelar Liga Primer pada 1993. Namun, sepanjang karier manajerialnya yang gemilang, lelaki kelahiran Glasgow, 31 Desember 1941, itu total mengisi daftar suksesnya di Old Trafford dengan 13 gelar Liga Inggris, 2 gelar Liga Champions, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, Piala UEFA, Piala Super UEFA, Piala Intercontinental, Piala Dunia Klub FIFA, dan 10 piala Community Shields. Fergie menjadi manajer paling sukses dalam sejarah sepak bola modern Inggris.
Pada level klub, karier gemilang Fergie bahkan melampaui pesaing sejawatnya dalam rentang dua dekade. Sebut saja Arsene Wenger, Louis van Gaal, Fabio Capello, Carlo Ancelotti, Jose Mourinho, bahkan Pep Guardiola.
Kecuali barangkali Pep, para manajer pesaingnya ini menggerakkan klub berdasarkan basis musim per musim, berdasarkan siklus pendek para pemainnya setiap tahun, dan harus melakukan adaptasi setiap musim berganti. Fergie tidak! Dia menggerakkan roda klub dengan basis jangka panjang berdasarkan siklus empat sampai lima tahun dan mempertahankan posisi elite Manchester United dalam dua dekade lebih tanpa putus.
Tentu keberhasilan Fergie tak lepas dari ”mukjizat” yang diperoleh United dengan lahirnya ”Kelas 92”, saat akademi mereka yang terkenal dalam satu periode melahirkan satu generasi emas yang kemudian menjadi tulang punggung pasukan Fergie.
Ditambah sejumlah bintang berpengalaman dan taktik cerdas sang pelatih, salah satu puncak pencapaian Fergie adalah pada 1999 saat United meraih treble winner, gelar unik dengan merebut tiga piala sekaligus, Liga Inggris, Piala FA, dan Liga Champions Eropa.
Sangat menghibur
Tiga gelar itu bukan saja unik dan spesial, tetapi sekaligus menancapkan cetak biru gaya permainan United. Skuad Fergie pada musim 1998-1999 adalah sekumpulan pemain yang sangat progesif, penuh petualangan pada tiap departemen, dan memainkan sepak bola menyerang yang sangat menghibur.
Dipimpin gelandang penuh energi yang dominan di setiap posisi, Roy Keane yang berpartner dengan petarung dan ball winner serta master passing Paul Scholes, lini tengah United saat itu adalah yang terbaik di dunia. Kombinasi pemain sayap yang diisi Ryan Giggs di kiri serta David Beckham di kanan menjadikan sayap-sayap United salah satu yang paling ofensif dan mematikan dalam sejarah kompetisi Eropa.
Lini belakang tak kalah mewahnya. Di bawah mistar berdiri dengan kokohnya ”The Great Dane” Peter Schmeichel yang dikawal bek-bek kelas dunia, Jaap Stam, Dennis Irwin, dan Gary Neville. Sementara barisan pemukul mereka begitu mobil, cepat, dan tajam, Dwight Yorke dan Andrew Cole.
Bukan hanya para pilar di atas, lapisan kedua skuad Fergie juga diisi sejumlah pemain dengan kualitas setara yang memungkinkan rotasi mulus. Mereka antara lain Teddy Sheringham, Solskjaer, Nicky Butt, Henning Berg, Phil Neville, dan David May.
Solskjaer yang populer dengan julukan ”Super Sub” karena selalu dimainkan dari bangku cadangan, tetapi sering menjadi penentu kemenangan, bahkan menjadi figur kunci saat United mengalahkan raksasa Jerman, Bayern Muenchen, pada final Liga Champions di Camp Nou 1999.
Meski demikian, Fergie bukanlah tipe manajer kaku yang hanya mengandalkan satu gaya permainan. Prinsip sepak bola menyerang memang menjadi ciri khasnya, tetapi ada masanya dia juga menekankan keseimbangan pada pertahanan kokoh dan kreativitas membangun serangan.
Pada era 1990-an, saat Giggs mulai muncul sebagai salah satu penyerang sayap dengan teknik giring bola brilian dan cepat, gaya permainan Fergie memang sangat ofensif dengan sisi-sisi sayap sebagai motor utama. Giggs semula mendapat partner Andrei Kanchelskis, kemudian Beckham dengan tugas utama membuat peluang dari sayap dan mencetak gol.
Meski punya semua aset untuk bermain menyerang, Fergie tidak melakukannya secara frontal saat berhadapan dengan Arsenal yang sama bertipe ofensif di bawah kendali Wenger dan Chelsea yang oportunis di tangan Mourinho pada awal-awal 2000-an.
Saat Fergie merebut Liga Champions yang kedua pada 2008, timnya berbasis pada gaya permainan seimbang dengan struktur pertahanan solid dan kreativitas serangan lewat pemain andalan Cristiano Ronaldo dan Wayne Rooney.
Ketika Fergie meninggalkan Old Trafford pada 2013, gaya permainan dengan penekanan pertahanan solid serta serangan kreatif coba dipertahankan penerusnya, David Moyes. Namun, upaya itu gagal total akibat tidak adanya insting kepemimpinan pada diri mantan manajer Everton tersebut.
Kehilangan ”mentalitas menang”
Namun, masalah Moyes bukan melulu ketidakmampuannya sebagai pemimpin yang menangani sejumlah besar pemain bintang dengan ego kelas dunia. Moyes sangat menderita karena Fergie terus membayang-bayangi timnya, bahkan tanpa kehadirannya secara fisik sekalipun.
Saat MU bertanding, terutama di Old Trafford, Fergie selalu hadir di owner box. Mantan bintang MU yang kini melatih, Mark Hughes, suatu kali mengatakan, jika United di bawah Moyes ingin mendekati 30 persen saja kemampuan terbaiknya, Fergie harus menyingkir total dari Old Trafford.
Analis ESPN, Mark Ogden, bahkan menulis dengan keras, ”Fergie seharusnya menikmati masa pensiunnya, minum anggur sepuasnya, naik kuda dan tamasya,” papar Ogden selepas kekalahan United di tangan Sunderland pada semifinal Capital One Cup di Stadium of Light. Fergie hadir di tribune VIP pada laga tersebut. ”Fergie justru terus memilih menjadi awan gelap yang menggantung di atas kepala Moyes,” lanjut Ogden.
Meski ada benarnya, banyak analis mengatakan, faktor menurunnya secara umum kualitas United sepeninggal Fergie adalah tim ini kehilangan kultur dan mentalitas untuk menang. Moyes secara kemampuan pribadi sebenarnya figur yang mampu berbuat banyak, tetapi rekornya menghadapi tim-tim papan atas sangat buruk, lagi pula dia tak punya banyak pengalaman di level Eropa.
Kedatangan Van Gaal, kemudian Mourinho, tak banyak menolong mengatrol posisi United kembali ke level elite Eropa.
Kedatangan Van Gaal, kemudian Mourinho, tak banyak menolong mengatrol posisi United kembali ke level elite Eropa. Mourinho barangkali figur yang punya kemampuan manajerial dan strategi lebih baik daripada Moyes, bahkan Van Gaal. Namun, karakternya yang selalu konfrontatif, bahkan dengan para bintangnya sendiri, membuat suasana ruang ganti menjadi muram. Dia berseteru dengan Paul Pogba, dengan kru media, dan sering mengkritik pemainnya sendiri secara terbuka.
Mourinho, pada sisi yang lain, sesungguhnya tipe manajer yang mampu membangun standar mentalitas yang sama dengan yang dilakukan Fergie. Dua gelarnya dalam dua setengah musim (termasuk gelar cukup bergengsi Liga Europa) membuktikan kapabilitasnya. Namun, gaya permainan Mourinho yang sangat oportunis bukanlah DNA United. Pria Portugal ini juga mengabaikan talenta-talenta muda hasil godokan akademi, sebuah basis yang sangat teguh dipegang Ferguson.
Datangnya ”malaikat” Solskjaer
Mengawali musim 2018-2019 dengan buruk, Mourinho tinggal menghitung hari-harinya di Old Trafford. Setelah kekalahan memalukan dari Tottenham, disusul dengan kekalahan ”yang tidak dapat diterima” dari Liverpool, Mourinho dipecat.
Manajemen kemudian menunjuk Solskjaer sebagai pelatih sementara. Sebagai salah satu legenda di Old Trafford (14 tahun sebagai pemain), Solskjaer tidak terlalu butuh banyak waktu untuk membuat suasana ruang ganti menjadi kembali ceria. Namun, tidak hanya itu, Solskjaer telah mengembalikan mentalitas menang yang lama hilang sepeninggal Fergie. Lebih dari itu, Solskjaer telah menghilangkan ”atmosfer beracun” yang ditinggalkan Mourinho di Old Trafford.
Laman BBC dengan bagus menuliskan laporannya tentang dampak luar biasa kedatangan kembali Solskjaer ke Old Trafford. Selama menjadi pemain, secara rutin Solskjaer selalu membawa permen cokelat saat kembali dari liburannya di Norwegia. Pria yang sangat ramah ini membagi-bagikan permen cokelat itu kepada seluruh staf Old Trafford dan Carrington (kamp latihan United), sekumpulan pahlawan yang bahkan tak pernah terlihat publik.
Saat Solskjaer kembali pada 20 Desember lalu, dia juga membawa permen cokelat. Orang pertama yang menerima oleh-oleh itu adalah Kath Phipps, seorang resepsionis yang setengah abad lebih mengabdikan dirinya di Old Trafford.
Solskjaer juga menyempatkan diri mengunjungi akademi United dan berfoto bersama sebanyak mungkin orang tua. ”Kalau ada orang paling manis di sepak bola, saya baru saja bertemu dengan dia,” papar salah satu orang tua tentang sosok Solskjaer yang baru saja berswafoto dengan dirinya.
Pendekatan cinta yang dilakukan Solskjaer langsung membawa hasil positif. United memenangi 10 dari 11 laga pertama bersama Solskjaer yang dibantu dua asisten, Michael Carrick dan Mike Phelan, dua figur penting di balik sukses Fergie bertahun lalu.
Sayangnya, rekor gemilang Solskjaer terhenti di tangan juara Perancis, Paris St Germain, di ajang Liga Champions, Selasa lalu. United yang tampil menawan pada babak pertama kebobolan dua gol di Old Trafford sebelum menyerah 0-2 pada kelincahan Presnel Kimpembe dan kecepatan Kylian Mbappe.
Tentu kekalahan dari PSG tidaklah menggambarkan hasil kerja Solskjaer secara umum. Pada momen ini, barangkali United pun menyadari betapa masih banyak kekurangan dan lubang yang harus diperbaiki dan ditambal Solskjaer setelah era Mourinho yang nyaris luluh lantak. Lagi pula, sudah agak lama United tidak bermain pada level setinggi ini di kancah Eropa sehingga tampak kehilangan keseimbangan setelah gagal mencetak gol di babak pertama meski bermain apik.
Solskjaer sendiri mengatakan, jauh hari sebelum kekalahan melawan PSG, United butuh tiga atau empat tahun untuk kembali ke level tertinggi seperti yang pernah mereka capai di era Ferguson.
Tentu, Solskjaer tak punya Roy Keane, Giggs, Scholes Beckham, Yorke, Cole, atau Schmeichel, sebuah kesatuan kualitas yang dia butuhkan untuk kembali ke level tertinggi Eropa. Sebuah skuad yang dibangun Fergie selama bertahun-tahun. Ini pasti bukan pekerjaan mudah bagi Solskjaer untuk mewujudkannya dengan pasukan yang dia punyai saat ini.
Namun bagaimanapun, optimisme dan terutama kegembiraan sepak bola telah kembali ke Old Trafford. Semangat dan mentalitas menang ala Fergie paling tidak sudah tampak cikal bakalnya di level domestik, meski di level Eropa adalah problem yang berbeda.
Bagi Ed Woodward dan koleganya di jajaran manajemen tertinggi United, optimisme yang dibawa Solskjaer tentulah belum cukup, terlebih setelah kekalahan melawan PSG yang bahkan tidak diperkuat dua bintangnya, Neymar Jr dan Edinson Cavani.
Woodward masih punya cukup waktu untuk menentukan apakah Solskjaer yang layaknya sosok ”malaikat” saat kembali ke Old Trafford layak dipermanenkan ataukah United segera mendatangkan manajer high level untuk menjadi nakhoda baru. Mereka tentu tak ingin mengulang lagi kesalahan seperti kala mendatangkan Mourinho dan Van Gaal.