Ketika Kaum Terdidik Memilih Bungkam
The only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing.
Edmund Burke
Tampaknya, ungkapan Burke; negarawan, penulis, dan filsuf Irlandia itu; amat tepat untuk ”didengungkan” kembali di Indonesia saat ini. Secara sederhana, ungkapan itu bermakna: ”ketika orang baik tidak berbuat apa-apa, di saat itulah iblis (orang jahat) merayakan kemenangannya!” Terkait dengan sikap orang terpelajar atau kaum terdidik, analoginya adalah pikiran kaum picik, sesat, dungu, dan absurd yang memegang ”corong pengeras suara” akan mewarnai cakrawala berpikir khalayak atau masyarakat umum ketika kaum terdidik memilih diam atau bungkam.
Hari-hari ini cakrawala pikiran masyarakat Indonesia dicemari rupa-rupa kebohongan serta pikiran nir-etis, sesat, dan absurd. Pikiran khalayak dipaksa menerima hal itu sebagai hal yang wajar. Kebenaran seolah-olah tunduk kepada hukum opini mayoritas atau kelantaman corong pengeras suara itu.
Keluguan masyarakat dieksploitasi untuk mencapai tujuan sepihak. Ini kemunduran serius dalam peradaban, termasuk dalam berdemokrasi.
Tampaknya, di tahun politik 2019 ini, cara-cara seperti itu akan terus mengemuka. Demagogi berupa penghasutan terhadap orang banyak dengan kebohongan, janji palsu, dan klaim salah untuk membangkitkan emosi rakyat akan jadi senjata pamungkas bagi para tokoh politik untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat. Demagogi sebagai paradoks demokrasi akan menempati panggungnya di 2019, di tengah fanatisme sempit dan politik identitas yang kian merebak.
Kesesatan demi kesesatan berpikir saban hari akan berseliweran di cakrawala Indonesia. Absurditas mendapat tempat subur untuk tumbuh dan beranak pinak. Sedihnya, yang bicara di media adalah orang yang itu-itu juga.
Khalayak tak kalah sesatnya. Absurditas dan kesesatan berpikir itu disebarkan dari mulut ke mulut, dari mimbar ke mimbar, dan dari medsos satu ke medsos lain, sambung-menyambung. Yang lugu dan tak tahu-menahu pun latah menyebarkannya. Jadilah cakrawala berpikir kita ”dikaburkan” oleh rupa-rupa kekacauan dan kesesatan berpikir itu.
Celakanya, kebanyakan kaum terdidik memilih sikap bungkam. Ungkapan Burke pun, karenanya, menemukan tempat pembuktiannya.
Norma dan tanggung jawab sosial ilmuwan
Kaum terdidik, sebagai produk proses ilmiah, secara otomatis tergabung dalam komunitas ilmiah. Dengan demikian, mereka tunduk kepada norma komunitas ilmiah. Norma komunitas ilmiah melahirkan kode etik ilmuwan pada bidang keahlian dan profesinya.
Menurut Prof Robert K Merton, sosiolog Columbia University, ada empat norma komunitas ilmiah yang dikenal sebagai The Mertonian Norms of Scientific Community. Salah satunya disinterestedness (ketidakberpihakan). Sosiolog lain menambahkan satu norma lagi, honesty (kejujuran). Sosiolog Bernard Barber menambahkan satu norma lagi, netralitas etik (ethical neutrality). Sesuai sifat etika itu, yaitu universal, etika haruslah berlaku netral.
Ketidakberpihakan bermakna ketaatan ilmuwan pada kaidah dan justifikasi ilmiah, bukan kepada pertimbangan atau kepada pihak mana pun selain itu. Karena itu, ketidakberpihakan sebagai norma komunitas ilmiah bermakna keberpihakan ilmuwan kepada pertimbangan akademik dan ilmiah semata. Secara tak langsung, ketaatan pada kaidah dan pertimbangan ilmiah juga berarti menjunjung tinggi kejujuran.
Norma komunitas ilmiah harus menjadi roh bagi ilmuwan (misalnya ahli filsafat, ilmuwan politik, dokter, dosen, peneliti) dalam melakoni aktivitas ilmiahnya. Dengan kata lain, itu menjadi etos kerja dan jati diri ilmuwan. Ketaatasasan menjalankan norma komunitas ilmiah menghasilkan integritas ilmiah (scientific integrity), dan cara melakoninya dengan mengindahkan etika ilmiah (scientific ethic).
Mark Frankel, Direktur Tanggung Jawab Sosial, HAM, dan Program Hukum pada The American Association for the Advancement of Science (AAAS),berkata:”The communities in which you live and the communities much farther out… are ultimately affected by the work that you do.” Intinya, masyarakat yang di dalamnya ada ilmuwan, bahkan masyarakat yang jauh darinya, pada akhirnya dipengaruhi sikap dan perilaku ilmuwan. Inilah yang dikenal sebagai tanggung jawab sosial eksternal ilmuwan. Terkait norma komunitas ilmiah, ilmuwan berkewajiban secara moral dan sosial mencerdaskan masyarakat dan mencegah mereka dari kesesatan, kepicikan, dan absurditas berpikir. Karenanya, wahai kaum terdidik, janganlah bungkam! Bicaralah, sebelum kesesatan dan absurditas lebih jauh memasuki relung-relung pikiran anak bangsa!
Albiner Siagian Guru Besar Tetap Fakultas Kesehatan Masyarakat USU, Pengajar Filsafat Ilmu dan Etika Kesehatan