Peserta Pemilu dan Partisipasi Pemilih
Komisi Pemilihan Umum baru saja menetapkan jumlah pemilih terdaftar untuk Pemilu 2019 sebanyak 192.838.520 orang. Dengan demikian, apabila penduduk Indonesia pada 2018 diperkirakan mencapai 260 juta, jumlah pemilih Indonesia dalam daftar pemilih tetap (DPT) 2019 adalah sebanyak 74 persen dari jumlah penduduk.
Sudah barang tentu persentase ini sungguh sangat besar sehingga jumlah warga negara yang berhak memilih tetapi tidak terdaftar menjadi sangat kecil. Berapa banyak dari pemilih terdaftar ini akan menggunakan hak pilihnya pada 17 April 2019 yang akan datang? Sebagai perbandingan dapat dikemukakan data partisipasi pemilih (voting turnout) berikut: 92,99 persen pada Pemilu 1999, 84,07 persen pada Pemilu 2004, 70,99 persen pada Pemilu 2009, dan 74,66 persen pada Pemilu 2014.
Apakah partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 akan mencapai 77 persen seperti yang ditargetkan KPU? Pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya masih sangat besar: 7,01 persen pada Pemilu 1999, 15,93 persen pada Pemilu 2004, 29,01 persen pada Pemilu 2009, dan 25,34 persen pada Pemilu 2014. Siapakah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya?
Penelitian yang saksama dan menyeluruh tentang fenomena ini belum pernah dilakukan. Yang dapat diungkapkan sementara ini adalah kategorisasi berdasarkan kemungkinan faktor penyebabnya. Yang pertama, pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus yang tidak difasilitasi oleh KPU, seperti kelompok pemilih difabel, mahasiswa yang terdaftar di daerah asal, tetapi tengah menempuh pendidikan di kota besar; pekerja yang terdaftar di daerah asal, tetapi tengah bekerja di kota besar; pasien yang tengah dirawat inap di rumah sakit, mereka yang pada hari pemungutan suara tengah menjalankan tugas sehingga tidak dapat menggunakan hak pilih, dan mereka yang di hari pemungutan suara harus bepergian ke tempat lain. Jumlah kelompok pertama diduga cukup besar.
Kedua, mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih karena tidak percaya terhadap peserta pemilu, sistem pemilu, ataupun penyelenggara pemilu. Kelompok pemilih inilah yang pada masa Orde Baru disebut ”golongan putih” (golput). Pemilih kelompok kedua ini tampaknya makin kecil jumlahnya pada Pemilu 1999 dan 2004, tetapi makin meningkat pada Pemilu 2009 dan 2014.
Ketiga, mereka yang tidak tertarik pada pemilu karena tak ada peserta pemilu ataupun calon yang mampu meyakinkan mereka bahwa apa yang dilakukan dan akan dilakukan peserta pemilu dan calon semata-mata demi para pemilih. Jumlah pemilih kelompok ketiga ini makin lama makin besar sebagaimana tampak pada persentase persepsi tentang parpol yang makin buruk.
Keempat, mereka yang apatis terhadap apa yang terjadi pada lingkungan mereka atau mereka yang memandang pemilu bukan urusan mereka. Jumlahnya masih cukup signifikan. Hal ini terjadi terutama karena budaya politik parokial.
Peran tiga pihak
Tiga pihak berperan besar dalam peningkatan partisipasi pemilih dalam pemilu. Pertama, organisasi masyarakat sipil (OMS), khususnya yang bergerak di bidang pendidikan pemilih (voters’ education). Kedua, jajaran KPU sebagai penyelenggara pemilu. Ketiga, peserta pemilu, baik berupa parpol peserta pemilu, pasangan calon presiden dan wakil presiden, maupun perseorangan calon anggota DPD. Ketiganya pada dasarnya bertujuan sama: mengajak setiap warga negara yang berhak memilih memastikan diri terdaftar dalam DPT dan mengajak pemilih terdaftar menggunakan hak pilihnya. Akan tetapi, ketiga pihak ini memiliki dimensi peran (substansi informasi dan metode) berbeda, sesuai fungsi masing-masing.
OMS memberikan informasi kepada warga tak hanya tentang apa, tetapi juga mengapa: tak hanya apa itu pemilu dan pendaftaran pemilih, tetapi juga mengapa terdaftar sebagai pemilih itu penting dan mengapa perlu berpartisipasi dalam pemilu. OMS dapat berperan untuk keempat kelompok pemilih terdaftar, tetapi jumlah ormas yang berkiprah di bidang pendidikan pemilih sudah sangat sedikit karena tak tersedia anggaran yang memadai.
Perbedaan lain antara OMS dengan penyelenggara pemilu dan peserta pemilu adalah OMS dapat mengatakan kepada pemilih terdaftar untuk tak menggunakan hak pilih jika menurut penilaian mereka peserta pemilu, sistem pemilu, atau penyelenggara pemilu tak berpihak ke pemilih. KPU juga memberikan informasi tentang apa, kapan, di mana dan bagaimana. KPU diberi tugas UU untuk melaksanakan sosialisasi pemilu, tidak hanya sosialisasi tentang apa, kapan, dan di mana, tetapi juga bagaimana tata cara setiap tahapan pemilu. KPU terutama dapat berperan memfasilitasi pelayanan bagi kelompok pemilih terdaftar yang memiliki kebutuhan khusus.
Peserta pemilu memberikan kesadaran kepada setiap pemilih tidak hanya tentang pentingnya menggunakan hak pilih, tetapi terutama mengapa harus memilih mereka. Kesadaran dan minat itu diciptakan setiap peserta pemilu melalui kampanye pemilu yang berisi: rekam jejak mereka pada masa lalu, baik berupa integritas dan kinerja kader maupun rencana kebijakan publik yang telah diperjuangkan, serta integritas dan kapasitas calon yang diajukan juga pola dan arah rencana kebijakan publik yang ditawarkan untuk Pemilu 2019. Peserta pemilu dapat dan seharusnya berfokus pada upaya membangkitkan kesadaran dan minat (motivasi) pemilih terdaftar akan pentingnya berpartisipasi pada Pemilu 2019.
Dari tiga pihak tersebut, peran peserta pemilu menempati posisi paling menentukan partisipasi pemilih terdaftar dalam menggunakan hak pilih. KPU dapat saja memfasilitasi kebutuhan khusus kelompok pemilih yang pertama, tetapi jika tidak memiliki motivasi berpartisipasi dalam pemilu, mereka tidak akan menggunakan hak pilihnya. KPU beserta seluruh jajarannya dapat saja memberikan informasi tentang apa, kapan, di mana, dan bagaimana tentang pemilu; tetapi kalau pemilih terdaftar tak melihat relevansi pemilu dengan kehidupan mereka, maka mereka tidak akan memakai hak pilihnya.
Sebaliknya, OMS dapat saja menyarankan kepada pemilih agar tidak menggunakan hak pilih apabila berdasarkan penilaian mereka atas peserta pemilu, sistem pemilu, atau penyelenggara pemilu tak menyangkut aspirasi dan kepentingan pemilih. Penyelenggara pemilu dan OMS dapat saja memberikan informasi tentang apa, kapan, di mana, bagaimana dan mengapa tentang pemilu, tetapi apakah pemilih akan menggunakan hak pilih atau tidak sangat tergantung penilaian pemilih terhadap ketiga hal tersebut, khususnya peserta pemilu.
Perhatian pemilih terhadap pemilu presiden (pilpres) biasanya jauh lebih besar dari pemilu anggota badan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD). Perhatian semua pemilih (dari segala strata sosial) juga lebih besar kepada pilpres daripada pemilu anggota badan legislatif. Hal ini terutama karena jumlah pasangan capres/cawapres lebih sedikit (dua sampai dengan empat pasangan calon) yang melakukan kampanye pemilu di hampir semua wilayah Indonesia dan program yang ditawarkan relatif lebih jelas.
Kampanye pragmatis
Pemilu anggota badan legislatif kurang dapat perhatian karena: jumlah parpol peserta pemilu lebih banyak (16 untuk Pemilu 2019), daerah pemilihannya pun banyak (80 dapil untuk DPR, 34 dapil untuk DPD, 272 dapil untuk 34 DPRD provinsi, dan 2.206 dapil untuk 514 DPRD kabupaten/kota). Jumlah calon pun sangat banyak (3-10 setiap dapil untuk DPR, 3-12 calon setiap dapil DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota). Namun, rencana kebijakan publik atau program yang ditawarkan sangat tidak jelas.
Para pemilih akan tertarik kepada peserta pemilu jika menyajikan dua hal secara jujur dan menarik melalui berbagai bentuk kampanye pemilu: (a) rekam jejak partai dan calon, baik perihal rencana kebijakan yang sudah diperjuangkan maupun kinerja dan integritas kader partai pada periode yang lalu dan (b) integritas dan kapasitas para calon yang ditawarkan untuk Pemilu 2019 dan rencana kebijakan publik yang akan diperjuangkan pada periode berikutnya. Iklan kampanye pemilu yang akan ditawarkan setiap parpol peserta pemilu pada Maret yang akan datang (dengan fasilitasi KPU/APBN) hendaknya mampu menarik perhatian secara substansial dari setiap pemilih. Kampanye pemilu yang dilakukan setiap calon di setiap dapil hendaknya mampu menjabarkan secara konkret dan menarik pesan yang disampaikan oleh partai.
Hasil suatu penelitian menunjukkan betapa pemilih cenderung menerima tawaran uang dan/atau bahan kebutuhan pokok dari calon apabila menilai calon itu tak menawarkan bukti (rekam jejak pada periode sebelumnya), tetapi hanya menawarkan janji belaka yang tak pernah disertai bukti konkret. Kalau penilaian ini benar, calon yang menawarkan uang dan/atau bahan kebutuhan pokok untuk mendapatkan suara tak lain merupakan calon yang hanya berbekal janji belaka. Yang dilakukan di pemerintahan jika terpilih bukan memenuhi janji kepada pemilih, melainkan mencari uang dan fasilitas untuk mengembalikan uang dan bahan kebutuhan pokok yang dibagikan dan dikeluarkan pada pemilu.
Penggunaan metode kampanye yang pragmatis (baca: memakai uang dan/atau bahan kebutuhan pokok) mungkin berhasil mengajak pemilih menggunakan hak pilih, mungkin pula berhasil mendapatkan suara. Akan tetapi, hal itu dilakukan secara tidak terhormat karena merendahkan martabat pemilih dari yang berdaulat menjadi yang dapat dibeli.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia