Bencana tsunami di Banten dan Lampung, 22 Desember 2018, kian meneguhkan bahwa Indonesia memang berada di lokasi yang rentan bencana.
Setidaknya 222 korban tewas dan banyak yang belum ditemukan. Ratusan orang luka-luka. Sejumlah bangunan runtuh. Bencana itu datang saat libur Natal dan Tahun Baru.
Dalam semangat kebatinan bencana akhir tahun serta menjelang tahun politik 2019 itulah Natal, 25 Desember, akan dirayakan umat Kristiani. Saatnya, kita bersama menggalang solidaritas sosial untuk membantu sesama anak bangsa yang menderita.
Perayaan Natal tak perlu berlebihan sebagai wujud berbela rasa terhadap korban bencana. Kemanusiaan harus menjadi pusat perhatian kita bersama.
Natal 2018 dirayakan dalam situasi gamang jelang tahun politik 2019 yang terekam dalam perjalanan republik. Kegalauan itu disebabkan kerasnya kontestasi politik antarkandidat dan pendukungnya di media sosial. Mencermati percakapan media sosial menampilkan kesan bangsa ini terbelah secara virtual.
Mesin algoritma di media sosial kian mempertajam pembelahan itu. Mesin algoritma memilah dan memilih informasi yang sejalan dengan kebiasaan kebutuhan informasi pengguna.
Oleh karena itulah, dua kubu berseberangan akan betul-betul terbelah secara virtual. Pasokan informasi sejenis akan memperkuat polarisasi di masyarakat. Kebenaran ditentukan oleh keyakinan, bukan oleh data dan fakta yang rasional.
Dalam suasana kontestasi politik seperti itulah Natal 2018 dirayakan. Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mengangkat tema, ”Yesus Kristus Hikmat bagi Kita”. Secara khusus pesan Natal itu menyoroti situasi hak asasi manusia.
Perayaan Natal tidak hanya dimaknai dengan doa dan nyanyian, tetapi bagaimana sebagai warga bangsa, umat Kristiani ikut mewujudkan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang lebih menghormati hak asasi manusia seperti amanat konstitusi .
Presiden Joko Widodo telah berupaya memenuhi hak asasi masyarakat melalui berbagai kartu, apakah itu Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Indonesia Sehat.
Namun, persoalan HAM masih ada. Pelanggaran HAM masa lalu tak kunjung terselesaikan. Ini membuat bangsa tersandera masa lalu. Hak beribadah, meski dijamin konstitusi, kadang masih menemui hambatan.
Pada sisi lain, eksploitasi alam yang berlebihan membuat alam kian rusak. Kehancuran ekologis akan menjadi ancaman besar bagi manusia. Pemimpin korup juga menjadi beban bangsa.
Kesadaran akan lingkungan dan kesadaran bahwa Indonesia berada di zona cincin api harus dipahami pemimpin daerah maupun nasional.
Meskipun ada perasaan galau, kita harus tetap optimistis memasuki tahun politik 2019. Indonesia telah membuktikan bangsa ini bangsa yang kenyal.
Bangsa ini membutuhkan pemimpin dan anggota DPR yang penuh dengan hikmat. Itu sejalan dengan sila keempat Pancasila, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Selamat Natal 2018 bagi yang merayakannya.