Majalah Der Spiegel Jerman, Rabu lalu, memecat wartawannya, Claas Relotius (33). Padahal, Relotius tahun ini menerima penghargaan dari Asosiasi Wartawan Jerman.
Relotius bergabung dengan media yang bermarkas di Hamburg itu tahun 2011, dan terakhir menjadi editor. Ia menulis sekitar 60 artikel. Namun, laporannya tentang kelompok preman di perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko, ”Jaegers Grenze”, November lalu, menimbulkan pertanyaan dari rekan kerjanya. Seorang sumber, Janet, juga mempertanyakan melalui surat elektronik.
Dari konfrontasi yang dilakukan editor senior atasannya di Der Spiegel, terbukti Relotius berbohong. Terungkap ia melakukan penipuan jurnalistik di sejumlah artikel lain, meski diakui ada artikel yang dibuatnya secara akurat.
Setidaknya ada 14 artikel karya Relotius yang tidak memenuhi standar jurnalistik. Der Spiegel meminta maaf kepada masyarakat. Insiden itu menjadi titik terendah dalam 70 tahun sejarahnya sebagai media massa.
Relotius, peraih sejumlah penghargaan, termasuk ”Journalist of the Year” versi CNN dan masuk daftar ”30 Under 30-Europe: Media” dari majalah Forbes, akhirnya dipecat. Asosiasi Wartawan Jerman terkejut dan marah. (Kompas, 21/12/2018) Manajemen Der Spiegel terguncang dengan kasus itu.
Tindakan Relotius juga mengingkari pesan pendiri majalah tersebut, Rudolf Augstein, yang mengatakan, ”Tell it like it is.” Katakanlah seperti apa adanya. Statuta Der Spiegel juga menegaskan, semua fakta, informasi, dan berita diproses secara akurat.
Relotius melakukan kebohongan karena ingin sukses. Ia takut gagal. Di dunia media massa, perkara semacam ini bukanlah yang pertama. Pada 2003, wartawan The New York Times, Jayson Blair, berhenti karena melakukan sejumlah kebohongan. Editor surat kabar AS itu dirombak, selain minta maaf kepada masyarakat.
Tahun 1981, The Washington Post pun memberhentikan wartawan peraih Pulitzer, Janet Leslie Cook, karena melakukan manipulasi fakta mengenai anak kulit hitam yang kecanduan heroin, berjudul ”Jimmy’s World”, yang dimuat pada 29 September 1980. Di negeri ini, sejumlah wartawan diberhentikan karena terbukti membuat berita bohong.
Insiden Relotius tak hanya mengguncang Der Spiegel, tetapi juga media massa arus utama di seluruh dunia, yang kini tengah memerangi hoaks, berita bohong, yang bertebaran di media sosial.
Kebohongan seorang wartawan bisa meruntuhkan kepercayaan pada media massa, yang seharusnya memberikan konfirmasi mengenai kebenaran informasi yang beredar. Wartawan seharusnya menjadi pencerah warga.
Guru jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menegaskan, tanggung jawab jurnalisme adalah kebenaran. Loyalitas wartawan adalah pada kebenaran. Sikap ini diperlihatkan Gary Webb, wartawan The San Jose Mercury News (AS), yang pada 1996 melaporkan konspirasi Pemerintah AS dan gerilyawan Nikaragua melalui perdagangan gelap narkotika.
Meski dia dipaksa menarik tulisannya dan narasumbernya ”mundur”, Webb kukuh. Ia tak pernah terbukti salah membuat laporan itu hingga ditemukan meninggal tahun 2004 dengan luka di kepalanya. Kebenaran sepantasnya tetap menjadi yang utama di media massa.