Pekerjaan Rumah dari Katowice
Setelah berhari-hari para negosiator begadang demi sebuah kesepakatan, sejumlah delegasi Indonesia menutup hari-hari konferensi dengan menari bersama di Pavilion Indonesia. Sekembali dari kota batubara, Katowice, Polandia, apa yang didapat di kantong, apa pekerjaan rumah yang harus segera digarap?
Secara umum, Konferensi Perubahan Iklim dengan puncaknya Konferensi Para Pihak Ke-24 (COP-24) hampir sama saja dengan konferensi-konferensi sebelumnya, terutama sejak era Protokol Kyoto. Begadang untuk menemukan konsensus, sejumlah anggota menjadi penghalang terbentuknya konsensus terbaik. Dan seterusnya. Demikianlah Katowice.
Ada pola-pola yang tak berubah dari waktu ke waktu dengan nada sedikit bergeser. Dikotomi negara maju dan negara berkembang, serta keengganan negara maju untuk berbuat lebih dibandingkan negara berkembang. Di Katowice, empat negara telah menjadi penghalang dalam menyikapi secara serius krisis iklim global.
Amerika Serikat, Rusia, Kuwait, dan Arab Saudi menolak pernyataan sains tentang dampak kenaikan rata-rata suhu global 1,5 derajat celsius di atas era pra-industri.
Amerika Serikat, Rusia, Kuwait, dan Arab Saudi menolak pernyataan sains tentang dampak kenaikan rata-rata suhu global 1,5 derajat celsius di atas era pra-industri. Mereka minta itu hanya dijadikan catatan. Setelah pergulatan berhari-hari, akhirnya pernyataan itu diakui meski tak berdampak pada kekuatan panduan.
Panduan Kesepakatan Paris menjadi target utama. Panduan berlaku seiring berlakunya Kesepakatan Paris pada 2020. Panduan muncul dengan kesepakatan minimal: semua pihak harus bersikap transparan, melaporkan, panduan pengukuran emisi, sistem pengukuran dampak yang bisa dibandingkan dengan rekomendasi sains.
Semua pihak pun diminta memperkuat komitmen dengan penurunan emisi yang lebih tajam. Beruntung, kali ini tak lagi ada pernyataan tentang utang iklim negara maju yang melepas emisi gas rumah kaca (GRK) sejak era industri. Negara berkembang diberi keleluasaan waktu, kapan menandatangani ”Buku Panduan” tersebut.
Pelaporan dan transparansi menjadi poin penting. Negara-negara berkembang yang tidak melaporkan akan didesak dan dilakukan pencarian informasi (inkuiri). Tentu akan memalukan jika sebuah negara berlama-lama menutup informasi. Di Indonesia, misalnya, hingga sekarang informasi tentang sistem pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) tetap belum didapatkan. Padahal, MRV disyaratkan untuk mendapatkan pengakuan akan penurunan emisi yang dilakukan suatu negara.
Secara umum negosiasi masih berkutat dengan pergulatan lama. Masalah ketidaksiapan negara berkembang adalah karena kapasitas. Sementara panduan atau kesepakatan seperti konferensi iklim yang lalu-lalu juga berkiblat pada usulan negara maju. Demi pengakuan global, semua berkiblat pada metodologi yang diakui negara maju. Negara berkembang pada akhirnya akan bergantung pada negara-negara maju. Ada tiga hal yang terus menjadi ”ganjalan” antara negara berkembang dan negara maju: masalah kapasitas, transfer teknologi, dan pendanaan.
Pada isu ”kerugian dan kerusakan” (lost and damage), yang diajukan oleh negara berkembang, yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, misalnya. Pergulatan berkutat pada apa yang dimaksud dengan kedua kata itu dan bagaimana menetapkan bahwa keduanya adalah akibat dari perubahan iklim. Perkara-perkara teknis menjadi penghalang, di saat yang bersamaan sudah jutaan orang di negara-negara berkembang yang rentan dampak perubahan iklim sudah harus menanggung akibatnya.
Puluhan ribu orang dari Asia Selatan harus mengungsi karena banjir bandang yang tak pernah dialami sebelumnya. Ribuan orang sudah terusir dari lokasi pesisir karena permukaan air laut di negara-negara kepulauan kecil di Pasifik.
Mantan Presiden Maladewa Mohamed Nasheed yang kini jadi ketua tim negosiasi, mengatakan, ”Hampir 10 tahun sejak saya ikuti negosiasi iklim, saya katakan, tidak ada yang berubah. Kita masih menggunakan bahasa yang tua, kuno (bahasa dinosaurus). Masih mengatakan kata-kata usang yang sama. Masih membahas poin-poin lama,” katanya.
Nasheed benar. Kejadian mampetnya negosiasi karena tingkah empat negara dan ditambah Brasil yang mengundurkan diri sebagai tuan rumah COP-25 mendatang. COP-24 bagaimanapun hanya mencapai konsensus yang belum rigid. Brasil pun mengatakan akan menggunakan hutannya untuk pertumbuhan ekonomi dalam negerinya. Brasil seakan menafikan pentingnya hutan tropis untuk mengatasi perubahan iklim.
Awal Oktober lalu, menjelang pernyataan dari IPCC tentang kenaikan 1,5 derajat celsius rata-rata global, 40 ilmuwan dari negara-negara Kanada, AS, Brasil, Inggris, dan Austria menyatakan, ada lima alasan iklim bumi bergantung pada hutan. Alasan tersebut antara lain hutan menyimpan gas CO2 lebih banyak daripada yang dieksplorasi dari minyak, gas, dan batubara; hutan menyerap seperempat emisi GRK, untuk mempertahankan kenaikan di batas 1,5 derajat celsius dibutuhkan restorasi hutan; bioenergi bukanlah solusi; hutan berfungsi mendinginkan planet dan menyebabkan hujan di sekitarnya. Ironis memang.
Sementara AS sebagai negara besar tetap menyatakan keluar dari Kesepakatan Paris, yang mulai berlaku pada 2020 menjelang kesepakatan dijalankan. Banyak negara bagian di AS berkomitmen menurunkan emisi dan berbuat untuk meredam dampak perubahan iklim, dan itu adalah lebih baik daripada tidak (melakukan) sama sekali.
Kesadaran akan krisis
Bagi Indonesia, adakah hasil dari Paris akan memengaruhi kebijakan selanjutnya dari pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama yang efektif tak akan sampai setahun lagi? Kebijakan pengembalian pengelolaan hutan kepada masyarakat melalui skema perhutanan sosial baru sekitar 16 persen tercapai. Sementara kerusakan hutan akibat praktik buruk korporasi di industri perkebunan dan kehutanan tak juga dievaluasi, baik secara administratif, apalagi evaluasi di lapangan. Jauh panggang dari api. Janji awal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di awal masa jabatannya belum terwujud sampai sekarang.
Belum lagi kebijakan pembangkit tenaga listrik berbasis batubara yang dianut Pemerintah Indonesia. Kebijakan yang jelas-jelas berlawanan dengan arus global yang menyerukan penghentian penggunaan bahan bakar fosil. Batubara hanya menambah emisi GRK, sedangkan di lapangan pun telah banyak memakan korban. Dari mereka yang mati karena masuk ke lubang tambang—mencapai 32 jiwa, hancurnya lingkungan yang merusak kesehatan warga sekitarnya, hingga hancurnya hutan sebagai ekosistem rumah kehati dan penyerap karbon. Setelah Katowice, adakah yang berubah pada wajah kebijakan Indonesia?
Meskipun saat ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) telah menyusun Perencanaan Pembangunan Rendah Karbon (PPRK) 2020-2024, jalan masih panjang untuk mewujudkannya. Sebab, pelaku-pelaku pertambangan dan perkebunan telah sedemikian dalam berkelindan dengan dunia politik lokal dan pusat. Seperti sering diutarakan Guru Besar Kehutanan IPB, Hariadi Kartodiharjo, di sana terdapat pseudo-legal (institusi hibrida antara legal dan para-legal), terdapat pula state-capture (kebijakan negara yang dipengaruhi pelaku swasta). Hal-hal itu biasanya dipicu oleh kebutuhan biaya pemilihan kepala daerah atau lembaga legislatif di semua tingkatan.
Di sisi lain, Indonesia telah memiliki berbagai kebijakan yang bagus dan dipuji oleh sejumlah negara. Menteri LHK Siti Nurbaya di Katowice mengatakan, untuk memantau kemajuan (penurunan emisi), telah dibangun Sistem Registrasi Nasional (SRN) yang memantau semua aksi iklim dan sumber daya. Pakar adaptasi dari program APIK (Adaptasi Perubahan Iklim dan Ketangguhan) USAID, Ari Mochamad dan Fabby Tumiwa dari Institute for Essensial Services Reform (IESR), memberikan catatan.
Di sisi adaptasi, alat ukur capaian adaptasi harus segera diselesaikan. Misalnya seperti indeks ketahanan yang sedang disusun Bappenas. Dari sisi mitigasi, catatan Fabby, verifikasi dan validasi SRN harus ketat, dan itu dibutuhkan untuk pelaku-pelaku ekonomi sumber emisi. Menurut dia, target komitmen nasional kontribusi penurunan emisi (NDC) harus dibagi-bagi kepada pelaku-pelaku tersebut.
Penting dicatat, para ilmuwan Amerika yang peduli perubahan iklim mengatakan, banyak negara telah memiliki peraturan bagus, tetapi implementasinya lemah sehingga hasil akhir dari sebuah kebijakan tak sesuai dengan tujuan kebijakan. Poin tersebut telah menjadi salah satu celah yang menyebabkan adanya kesenjangan antara janji penurunan emisi dan hasil akhir.
Indonesia pun tak beda jauh. Untuk mencapai target NDC, tak boleh ada kebocoran. Di satu sisi melakukan penurunan emisi secara keras dan ketat, di sisi lain justru muncul kebijakan yang mendorong emisi, seperti kebijakan penggunaan energi fosil dan karut-marut perizinan dan tata kelola pertambangan dan alih fungsi lahan. Tugas tak hanya di KLHK. Soal pertambangan ada di tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan, yang bertugas mengawasi pemasukan pajak dari para pelaku ekonomi berbasis lahan dan hutan.
Pekerjaan rumah yang tak mudah, yang membutuhkan kemauan politik keras dan kesadaran akan keadaan krisis. Krisis itu tak hanya ada di level global, tetapi juga nasional dan lokal. (*)