OPM, ”Cargo-Cult”, dan Ras Melanesia
Kabar duka kembali terdengar dari ujung timur. Belasan pekerja PT Istaka Karya yang sedang mengerjakan proyek jembatan Yigi di Kabupaten Nduga, Papua, menjadi korban pembantaian Kelompok Kriminal Bersenjata atau KKB, 2 Desember 2018, sehari setelah tanggal yang diperingati sebagai hari kemerdekaan Papua oleh kalangan tertentu.
Meskipun disebut kelompok kriminal, mereka tak bisa dilepaskan sebagai kelompok yang mengangkat senjata menuntut kemerdekaan Papua. Buktinya pelaku penembakan adalah kelompok Egianus Kogoya, sempalan kelompok Kelly Kwalik—komandan sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang tewas pada 2009.
OPM adalah cerita lama. Timbul tenggelam. Beroperasi di hutan-hutan, terutama di sepanjang Pegunungan Tengah. Markas mereka kerap disebut Victoria di perbatasan dengan Papua Niugini (PNG). Mereka berkali-kali melakukan penyerangan dan kontak senjata dengan TNI. Akan tetapi, suaranya nyaring di luar, dari Auckland hingga London dan New York.
Isu Papua memang ”seksi”. Ada semacam ”solidaritas tetangga” sesama orang Melanesia. Pengelana Perancis, Jules Dumont d’Urville (1832), menyebut Melanesia (Pulau Hitam) untuk kawasan Samudra Pasifik bagian selatan yang penduduknya berkulit hitam dan berambut keriting di Papua, PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Fiji.
Negara-negara Melanesia ramai-ramai mendukung Papua, seperti Vanuatu, Palau, Kepulauan Solomon, bahkan kawasan Mikronesia-Polinesia seperti Kepulauan Marshall, Tonga, Tuvalu, dan Nauru. Solidaritas tetangga itu pun menjadi batu sandungan.
Tak heran, Indonesia cepat-cepat menoleh ke tetangga di timur itu: membangun kerja sama ekonomi, bahkan aktif memberi bantuan kemanusiaan. Pada Februari 2018, sepulang dari lawatan ke beberapa negara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan, mereka takkan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Untuk itu, penting pula membangun kekuatan tetangga di timur (Indonesia-Melanesia), tak hanya dengan tetangga sebelah barat (ASEAN).
Penting pula membangun kekuatan tetangga di timur (Indonesia-Melanesia), tak hanya dengan tetangga sebelah barat (ASEAN).
Kepercayaan ”cargo-cult”
Gerakan bersenjata di Papua mungkin akan terus beregenerasi. Dalam sejarahnya, gerakan perlawanan di Papua tak bisa dilepaskan dari akar gerakan yang marak terjadi di kawasan Melanesia. Namanya kultus kargo (cargo-cult).
Sejak abad ke-19, kapal-kapal bangsa-bangsa Barat (kolonial) berdatangan ke pulau-pulau Melanesia membawa kargo. Selama Perang Dunia II (1939-1945), pengiriman kargo meningkat drastis, terutama kapal Amerika Serikat dan Jepang. Kargo berisi barang berlimpah. Namun, sejak berakhirnya Perang Dunia II, kargo pun berkurang.
Cargo-cult adalah kepercayaan penduduk setempat bahwa suatu saat akan datang kapal yang ditumpangi nenek moyang yang membawa kekayaan milik orang Barat untuk mereka. Cargo-cult adalah praktik religius suatu masyarakat pra-industri setelah berinteraksi dengan peradaban masyarakat industri.
Penduduk Melanesia percaya bahwa barang-barang dalam kargo itu akan datang dibawa nenek moyang mereka. Caranya lewat praktik ritual. Inilah gerakan milenarianisme, yaitu kepercayaan akan perubahan besar dalam siklus seribu tahun. Boleh dikata semacam gerakan ”Ratu Adil”.
Worsley (1974) mendata beberapa gerakan cargo-cult, antara lain Gerakan Tuka di Fiji (1877) dan marak di PNG, seperti Gerakan Tokerna (1893), Gerakan Baigowa (1912), Gerakan Taro (1919), serta Gerakan Vailala dan Mambu (1937). Di Papua muncul Gerakan Koreri di Kepulauan Biak-Numfoor pada 1938-1942.
Gerakan Koreri, yang awalnya merupakan gerakan pembebasan orang-orang Biak dan Papua dari pengaruh kebudayaan asing, pada tahap berikutnya menjadi gerakan politik-religius karena menentang Belanda, Jepang, dan agama Kristen yang dianggap sebagai pembawa penderitaan masyarakat (Mansoben, 1980).
Gerakan Koreri yang tipikal cargo-cult menjadi pintu masuk dalam konteks etno-nasionalisme orang Papua. Pada peristiwa Koreri melawan Jepang tahun 1942 bahkan sudah dilakukan proklamasi dan pengibaran bendera. Tumbuhnya nasionalisme Papua tak lepas dari didikan Residen JP van Eechoud yang dikenal sebagai ”Bapak Orang Papua” agar orang Papua setia kepada Belanda (Djopari, 1993). Melalui sekolah polisi dan sekolah pamongpraja di Hollandia (Jayapura), lahirlah kelompok elite terpelajar Papua.
Inilah gerakan milenarianisme, yaitu kepercayaan akan perubahan besar dalam siklus seribu tahun. Boleh dikata semacam gerakan ’Ratu Adil’.
Pro kemerdekaan Indonesia
Pada 1946, Silas Papare bersama kawan-kawan mendirikan Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII). Ini juga tak lepas dari binaan Dr Sam Ratulangi selama pengasingan di Serui.
Pada 17 Agustus 1947, Silas memimpin upacara pengibaran bendera Merah-Putih di Manokwari, dihadiri Johans Ariks, Albert Karubuy, Lodewijk dan Barent Mandacan, Samuel Damianus Kawab, serta Franz Joseph Djopari. Akibatnya, mereka semua dikurung Belanda selama tiga bulan.
Bergabung pula Frans Kaisiepo yang pada Juli 1946 di Konferensi Malino memperkenalkan nama ”Irian” bagi Papua Barat. Johans Ariks lalu anti-Indonesia saat tahu Papua hendak diintegrasikan ke pangkuan RI.
Gerakan pro-Indonesia juga dilakukan Soegoro Admoprasodjo, direktur sekolah pamong praja. Begitu ketahuan Belanda, Soegoro dipecat dan dikirim balik ke Jakarta.
Masih ada Komite Indonesia Merdeka (KIM) yang diinisiasi Ratulangi dengan para pemimpinnya orang-orang Papua, seperti Marten Indey, Nicolaas Jouwe, dan Korinus Krey. Jouwe kemudian menjadi pentolan anti-Indonesia dan tinggal di Belanda selama 46 tahun sebelum kembali ke Papua pada 2009.
Meskipun ia pernah bersumpah untuk tidak kembali kampung halamann selama Papua di bawah Indonesia, ia akhirnya kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 2010 setelah menyaksikan kondisi terkini negeri ini.
Sejak awal, Belanda memantik kekisruhan. Dalam proses dekolonisasi, Papua ingin dijadikan seperti Suriname. Ada juga upaya membentuk Persatuan Melanesia (Melanesische Unie), meliputi wilayah Nieuw Guinea (seluruh Papua), Bismarck, dan Kepulauan Solomon.
Gagasan itu dibahas dalam konferensi pejabat Belanda dan Australia pada Oktober 1958. Bahkan ada gagasan satu negara Nieuw Guinea (wilayah Belanda dan wilayah Australia) pada 1959.
Namun, sebaliknya, Indonesia terus menuntut pengembalian wilayah Papua ke pangkuan Ibu Pertiwi. Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dicetuskan Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 tegas-tegas ”gagalkan pembentukan negara Papua bentukan kolonial Belanda”.
Dalam proses dekolonisasi, Papua ingin dijadikan seperti Suriname.
Pepera dan OPM
Lewat forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Belanda akhirnya menandatangani Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang mendorong diserahkannya Papua ke badan PBB United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Mei 1963. Penentuan nasib sendiri (act of free choice) masyarakat Papua lewat musyawarah dilakukan pada 1969, disaksikan utusan PBB, Dr Fernando Ortiz-Sanz (Duta Besar Bolivia di PBB), juga Duta Besar Thailand, Belanda, Australia, Jerman, Selandia Baru, dan Myanmar.
Walaupun diwarnai protes, penentuan pendapat rakyat (Pepera) itu memutuskan secara aklamasi Papua berintegrasi ke pangkuan Ibu Pertiwi. Jadilah Indonesia benar-benar yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Namun, ketidakpuasan sebagian masyarakat Papua ditunjukkan dengan gerakan bawah tanah. Inilah yang menjadi cikal bakal gerakan Papua merdeka. Ada dua faksi.
Pertama, Aser Demotekay, mantan Kepala Distrik Demta Kabupaten Jayapura membentuk Gerakan Menuju Kemerdekaan Papua Barat tahun 1963. Faksi ini muncul pada dekade 1970-an pasca-Pepera. Faksi ini moderat, lebih merupakan gerakan agama/spiritual. Inilah gerakan cargo-cult.
Faksi lain adalah Organisasi dan Perjuangan Menuju Kemerdekaan Papua Barat yang terbongkar setelah para pentolannya, di bawah Terianus Aronggear, ditangkap di Manokwari pada 1964. Setelah itu, Ferry Awom melancarkan serangan di sejumlah tempat di Manokwari pada 1965.
Pada 1971, basis OPM di Markas Victoria, perbatasan dengan PNG, memproklamasikan kemerdekaan Papua Barat yang dipimpin Seth Rumkorem, mantan tentara di Kodam Diponegoro.
Faksi inilah yang kemudian dilabelkan sebagai OPM. Di zaman Orde Baru, mereka disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) atau Gerakan Pengacau Liar (GPL) karena sering menimbulkan gangguan keamanan.
Papua menjadi semacam ”daerah operasi militer”. Pihak militer terus melakukan operasi pembersihan. Tak heran ”kisah Indonesia” di Papua adalah kisah kekerasan, kekejaman ,dan pelanggaran HAM. Inilah yang terus dipersoalkan hingga sekarang.
Akan tetapi, pendekatan keamanan (security approach) yang menonjol di era Orde Baru sudah makin berubah dengan strategi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Presiden Joko Widodo terus fokus untuk pembangunan terutama infrastruktur, termasuk proyek jembatan di Yigi, lokasi korban penembakan KKB, pekan lalu.
Meskipun aksi-aksi ”pemberontakan” itu mungkin tidak mudah sirna, setidaknya pendekatan kemanusiaan dan memajukan orang Papua dapat mengurangi suara-suara ketidakpuasan masyarakat yang bisa ”bertemu” dengan kepentingan KKB. Dan, aksi-aksi bersenjata yang mernimbulkan korban jiwa, seperti kasus di Nduga, mesti ditangani sesuai hukum.
Pendekatan keamanan (’security approach’) yang menonjol di era Orde Baru sudah makin berubah dengan strategi pendekatan kesejahteraan (’prosperity approach’).
Negeri kita bersama
Apalagi, sejak era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2000, identitas orang Papua sudah kembali berkibar. Dan sejak 2001 telah mendapat privilese dan perhatian lebih banyak sebagai daerah otonom khusus.
Sayangnya uang triliunan rupiah itu belum mampu menyejahterakan orang Papua dan memajukan daerah Papua. Di masa otonomi daerah, orang Papua juga sudah menjadi pemimpin di daerah masing-masing, seperti daerah lain di negeri ini. Namun, isu Papua selalu panas. Mungkin mirip bisul. Bisa membuat demam republik ini ketika ia membesar.
Anehnya, orang Papua dan Indonesia selalu dipertentangkan secara fisik. Misalnya, orang Papua itu ras Melanesia (berkulit hitam, berambut keriting), sedangkan Indonesia ras Mongoloid (berkulit kuning atau coklat, berambut lurus).
Padahal, menurut filsuf Ernest Renan (1882), sebuah bangsa (nation) itu terbentuk karena kesamaan sejarah, nasib, untuk hidup bersama (le desir de vivre ensemble). Sama-sama menderita dijajah Belanda. Bangsa itu kesadaran moral (conscience morale), sebuah kondisi subyektif. Bagi Renan, kondisi obyektif seperti ras, budaya, bahasa, dan agama bukan faktor pembentuk bangsa, tetapi cuma faktor pendorong kemunculan bangsa.
Dan, kalau membaca sejarah, sejak lama Papua dalam lintasan imperium Nusantara sejak Sriwijaya (abad VII-XII). Kemudian Mpu Prapanca dalam Negarakertagama (1365) mencatat wilayah Kerajaan Majapahit sampai semenanjung Wanin (Fakfak dan sekitar Kepala Burung).
Artinya, jalinan hubungan dan kebersamaan itu sudah merupakan sejarah Indonesia. Kini, mungkin saatnya orang Papua lebih intens memikirkan juga Indonesia seperti pendahulunya dulu, bukan cuma Papua. Sebab, Indonesia adalah negeri kita bersama.
Palmerah, 12 Desember 2018
Mungkin saatnya orang Papua lebih intens memikirkan juga Indonesia seperti pendahulunya dulu, bukan cuma Papua.