Mengingatkan Dunia yang Tidak Visioner
Miliaran penduduk dunia memerlukan pertumbuhan ekonomi untuk kehidupan alias lepas dari jerat kemiskinan dan meraih kemakmuran. Inovasi akan menjadi bagian terpenting sebagai pendorong pertumbuhan.
Di sisi lain, kelestarian lingkungan hidup mutlak dipertahankan karena ekonomi membutuhkan lingkungan yang lestari. Semua itu hanya bisa dicapai lewat kolaborasi global.
Itulah pesan yang tertangkap dari pengumuman penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2018 di Stockholm, Swedia, Senin (8/10/2018), seperti diutarakan Ketua Komite Nobel Akademi Sains Kerajaan Swedia Per Stromberg. Sekjen Akademi Sains Kerajaan Swedia Goran K Hanson mengumumkan dua nama penerima nobel ekonomi ke-50 untuk mengenang Alfred Nobel.
Faktanya kini dunia dicekoki dengan isu pemanasan global dan peningkatan emisi karbon dioksida.
William D Nordhaus (77) profesor dari Yale University (AS) dihadiahi atas jasanya yang mengaitkan perekonomian dengan kelestarian lingkungan hidup. Paul M Romer (62), profesor dari New York University dihargai atas jasanya yang mengaitkan perekonomian dengan inovasi.
Penghargaan pada dua ekonom AS ini merujuk pada penelitian mereka sejak dekade 1970-an hingga 1990-an. Nordhaus menjadi ekonom peneliti saat polusi menjadi masalah akut. Dia menciptakan model yang jadi dasar bagi PBB dan pemerintah Inggris untuk memajaki negara “perusak” lingkungan hidup.
Faktanya kini dunia dicekoki dengan isu pemanasan global dan peningkatan emisi karbon dioksida. Hal ini dipandang sebagai penyebab pertumbuhan ekonomi yang tidak akan berkesinambungan di dalam jangka panjang. Polusi lingkungan hidup di China sekarang ini misalnya telah menjadi ancaman bagi kehidupan warga.
Nordhaus mengatakan perubahan iklim harus dipandang sebagai masalah bersama. Hal itu harus dipelihara seperti dunia memerlukan pentingnya pemeliharaan kesehatan publik dan juga sistem perdagangan internasional. Ini harus ditata saksama dan sifatnya harus berskala global.
Kemakmuran bersama
Paul M Romer pada dekade 1990 menunjukkan ekonomi Chad (sebuah negara di Afrika) tidak tumbuh tetapi terkontraksi 2 persen per tahun selama periode 1960-1981. Ini kontras dengan ekonomi Singapura yang setiap tahun tumbuh 8 persen per tahun periode yang sama.
Romer menemukan jawaban bahwa di balik perbedaan pertumbuhan ini adalah kemajuan teknologi dalam kehidupan sehari-hari dan perekonomian. Perbedaan ini memunculkan masalah pemerataan kemakmuran global dimana Singapura maju karena teknologi.
Teknologi, kata Romer, tidak terlalu menjadi perhatian sebab kemajuan dianggap sebagai “manna” atau sebuah rezeki yang diturunkan Tuhan.
Teknologi, kata Romer, tidak terlalu menjadi perhatian sebab kemajuan dianggap sebagai “manna” atau sebuah rezeki yang diturunkan Tuhan. Romer menekankan teknologi adalah sesuatu yang bisa diraih dan ada dalam kemampuan manusia.
Untuk itu, kata Romer, hal yang perlu dilakukan adalah pentingnya pencegahan monopoli sehingga memunculkan persaingan, yang sekaligus melahirkan ide dan inovasi. Akan tetapi, Romer menekankan bahwa temuan baru seperti produk farmasi, jangan menjadi monopoli sepihak. Segala temuan harus menjadi berkat bagi seluruh warga dunia.
“Saya tidak terlalu memikirkan soal negara mana yang menemukan sebuah produk baru atau inovasi baru tetapi bagaimana hal itu bisa dibagikan kepada seluruh dunia demi kemakmuran seantero dunia,” kata Romer. Goran K Hanson menegaskan riset dua ekonom AS itu juga sangat bermanfaat bagi kepentingan negara berkembang.
Sindiran pada Trump
Anggota Komite Nobel dari Akademi Sains Kerajaan Swedia, Per Krusell, menyebutkan dua ekonom peraih hadiah nobel tersebut tidak memberikan jawaban pasti tentang temuan-temuan mereka. Hanya saja, Krusels mengatakan riset dua ekonom ini terus menjadi bahan pendalaman demi kesinambungan ekonomi dalam jangka panjang.
Dua ekonom penerima Nobel itu tidak berbicara tentang makna Nobel kali ini terkait masalah ekonomi global. Akademi Nobel tersebut juga tidak secara eksplisit menyatakan bahwa hadiah Nobel kali ini merupakan peringatan bagi perkembangan terkini.
Hanya saja media di AS, US News, langsung menembak Presiden AS Donald Trump. Masalahnya Trump telah menyatakan bahwa pemanasan global adalah isu “hoax”, berita bohong dan tidak berdasar dan ini didukung Kongres AS dari kubu Republikan. Trump membawa AS keluar dari perjanjian global tentang kelestarian lingkungan hidup.
Trump juga ditembak dengan argumentasinya bahwa negara-negara di dunia telah merampas lapangan kerja di AS, padahal masalah utama adalah kelambatan inovasi di AS. Di sisi lain, China kini adalah satu-satunya negara yang sedang menggeliat soal inovasi, seperti dikatakan ekonom AS Edmund Phelps, penerima Hadian Nobel Ekonomi 2016.
Tyler Cowen, profesor ekonomi dari George Mason University (AS), juga tidak luput menyebut Trump. Ini karena Trump menyebutkan bahwa dia telah berperan menaikkan pertumbuhan ekonomi AS.
Tidak benar bahwa Trump melakukan itu. Pertumbuhan ekonomi AS lebih disebabkan pengucuran anggaran yang didasarkan pada penggunaan utang negara, bukan hasil inovasi.
Pesan Hadiah Nobel Ekonomi 2018 ini sangat bermakna di tengah isu proteksionisme dan retaknya tatatan dunia global termasuk rezim perdagangan. Tyler Cowen menilai pengumuman hadiah nobel ekonomi kali ini sangat signifikan, punya momentum.
Ekonom dari Harvard University, Gernot Wagner, juga mengatakan dua ekonom penerima penghargaan ini mengingatkan pada dua isu urgen, yakni lingkungan hidup dan juga inovasi. Ini penting dalam kaitannya dengan peraturan pemerintah perangsang inovasi.
Hal lain yang menjadi pesan dari Komite Nobel Akademi Sains Kerajaan Swedia, seperti dikatakan Krussell, makna pengumuman mengingatkan bahwa ekonomi itu bersifat jangka panjang dan berkesinambungan. Hal ini sekaligus menjadi peringatan bagi para pengkritik ekonomi di mana saja, yang menekankan bahaya jangka pendek atau mengutamakan keuntungan jangka pendek dan cenderung melupakan potensi jangka panjang.
Tentu pesan lain adalah dunia ini tidak sedang menekankan pembahasan soal inovasi dan kelestarian lingkungan. Dua isu ini begitu urgen di tengah dunia dengan keberadaan para pemimpin yang tidak visioner. Urgensi atau debat global tentang inovasi dan kelestarian lingkungan hidup redup atau tenggelam dengan isu geopolitik, kepentingan politik partisan serta proteksionisme.
Ada bahaya bagi dunia karena kolaborasi global tidak dalam bentuknya yang prima. Tentu hal ini juga menjadi peringatan implisit bagi Indonesia untuk memikirkan bersama kepentingan jangka panjang perekonomian ketimbang menghabiskan energi untuk hal tak penting. (AFP/AP/REUTERS)