Kata-kata Presiden Joko Widodo di ajang World Economic Forum di Hanoi, Rabu (12/9/2018), menghangatkan hati. ”Sumber daya untuk manusia tidak terbatas,” kata Jokowi, ”Perkembangan teknologi… telah menghasilkan efisiensi, memberikan kita kemampuan untuk memperbanyak sumber daya kita lebih dari sebelumnya.”
Apalagi optimisme itu dikumandangkan bersamaan dengan peluncuran Go-Viet. Wah, betapa bangga kita. Namun, bagaimana kalau Bapak Presiden salah, bagaimana kalau sanjungan Bapak terhadap kehebatan teknologi keliru. Jangan-jangan kebanggaan itu menutup mata kita terhadap mahabahaya ekologi yang mengintai kita. Tidak mustahil apabila para ekolog yang mengkhawatirkan pemusnahan umat manusia dalam beberapa ratus tahun saja adalah rasional dan obyektif. Seandainya pun terdapat hanya 10 persen kemungkinan bahwa manusia akan menghancurkan alamnya sendiri, apakah 10 persen kemungkinan itu harus diterima sebagai risiko wajar? Ya—dan maafkan saya—saya tahu logika berpikir para penyanjung teknologi! Untuk apa meributkan pemanasan global? Es dari kutub akan mencair.
Lalu, apa? Kalau berkunjung ke Belanda akan lebih panas, lebih enak. Dan, manusia tidak bodoh, ia akan berhasil membangun bendungan besar, justru, ala Belanda, agar 70 juta orang Bangladesh dan beberapa juta orang Jakarta tidak terlalu terganggu oleh kenaikan permukaan air laut. Adapun penduduk negeri-negeri kecil di Pasifik yang akan tersapu dari peta tidak banyak. Memang tak mustahil sungai es dari Himalaya akan mencair dan, dengan itu, volume air dari Sungai Indus, Gangga, Brahmaputra, Mekong, Hoang Ho, Yang Tse Kiang, dan lain-lain akan berkurang. Akan tetapi, tidak apa-apa. Selama kita masih bisa mengubah air laut menjadi air minum dengan teknik baru dari China, akan ada solusi. Maka, tidak usah terlalu repot. Indonesia akan tetap beriklim tak terlalu panas dan Gojek akan semakin laris di pinggiran Kalkuta.
Ya, maaf, Bapak Jokowi, tetapi saya sekarang serius. Seandainya pun kita berhasil membatasi kenaikan kepanasan global pada 2 derajat sampai akhir abad ini dan mampu meminimalkan fenomena-fenomena di atas, ada bahaya lain yang mengintai kita. Bapak pasti, seperti kami, merindukan kunang-kunang di malam hari.
Masih terlihatkah kunang-kunang oleh Bapak di malam hari? Kini jadi sangat eksotis, kan? Namun, bukan hanya kunang-kunang yang menghilang, serangga juga. Di Jerman, sudah 75 persen di antaranya telah menghilang dalam 30 tahun terakhir.
Lalu, bagaimana di Indonesia, di mana pestisida dipakai tanpa kontrol dan baterai dibuang di mana saja. Bukankah serangga mengurai dan, dengan demikian, menghidupkan tanah? Adapun laut, lihatlah: dengan jutaan ton plastik dan limbah kimia yang dibuang setiap tahun di dalamnya, komposisinya berubah dan, berikutnya, seluruh proses genetika tumbuhan bumi. Lebih jauh lagi, zat kimia yang kian hadir di mana-mana sudah bercokol di bangunan genetis tubuh kita!
Kita bisa membuat anak in vitro! Hebat. Namun, volume spermatozoid pria ternyata semakin sedikit. Saya tahu, tidak mengurangi kenikmatan, tetapi apa guna nikmat jika untuk menyaksikan kehancuran landasan hidup bagi cucu-buyut kita. Ya!
Tahukah, Bapak, ketika para ekolog berkata, There is no planet B, mereka benar.
Mengapa saya berkata demikian, Bapak Presiden, bahkan dengan nada sarkastik. Oleh karena Bapak justru berpeluang menjadi pembawa kesadaran baru. Lihat rekan-rakan Bapak di dunia. Terlalu banyak yang bodoh, kalau tidak jahat. Trump tidak hanya bermain dengan tweet, dia juga menarik Amerika dari traktat-traktat internasionalnya. sementara Putin sibuk memperebutkan beberapa jengkal tanah, dan Xi Jinping ikut berebut pulau-pulau tak bertuan.
Mereka seolah-olah masih berada di abad-abad lalu, siap berdarah-darah apabila merasa dihina. Lupa bumi yang diinjak mereka dalam bahaya. Bahaya karena situasi ekologi, ya!
Bahaya juga karena sistem tawar-menawar institusional yang telah dibangun dengan susah payah sejak 1945, yaitu PBB, UNESCO, WTO, ICC, dan lain-lain, mereka robek atau lucuti keampuhannya. Bahkan, Paris Agreement 2015 tentang ekologi pun mereka tidak hiraukan.
Tidak mungkin Bapak tak bergerak. Okelah, Bapak seorang nasionalis! Akan tetapi, bacalah Pancasila dengan benar. Asas kemanusiaan ada di situ juga, kan? Asas kedua. Maka, Bapak wajib menegur pemimpin-pemimpin dunia yang lupa daratan. Bapak wajib menomordepankan ekologi.
Mau tidak mau, sang Pertiwi, bumi ini bukan sekadar Indonesia. Tanah Air Indonesia begitu indah, tetapi bagaimana apabila justru tanah dan air rusak untuk selamanya.